1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bangkit Kembali, Gerakan Pro Demokrasi Birma

26 September 2007

Darah kembali genangi Birma. Korban jiwa dalam aksi unjuk rasa sebulan lebih tak terelakan.

Foto: AP

Rezim militer Myanmar agi-lagi mengambil jalan kekerasan. Namun senjata dan ancaman kekerasan yang dilontarkan militer selama ini tak menghentikan doa-doa para biksu, yang memprotes kebijakan Junta Militer. Kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM yang gila-gilaan bulan lalu, menjadi pemicunya. Akhirnya aksi para pendeta Budha itu berkembang, menjadi saluran mengungkapkan berbagai kekecewaan dan rasa tertekan rakyat Birma. Tuntutan memuncak pada demokratisasi. Bahkan tak sedikit yang terang-terangan menyuarakan pembebasan dari rezim militer represif yang menguasai mereka selama ini.

Akumulasi Tekanan

Sepuluh ribuan biksu yang dengan jubah oranye, kuning berpadu merah, berjalan kaki, sambil melantunkan doa damai, bukan pemandangan biasa. Apalagi kali ini para biksu menggenggam mangkuk secara terbalik. Ini adalah pernyataan politik: mereka tak mau menerima sedekah dari penguasa. Padahal bagi umat Buddha, sedekah atau derma merupakan kewajiban yang harus dipenuhi untuk mencapai Nirwana.

Tak berapa lama kemudian, ratusan ribu orang menggabungkan diri dengan para biksu berjalan kaki. Panjang arak-arakan hingga mencapai sepuluh kilometer. Inilah yang terjadi di Myanmar, awal pekan kemarin, yang menjadikan peristiwa ini sebagai aksi demonstrasi terbesar di Myanmar dalam tempo dua puluh tahun. Bukan hanya terjadi di bekas ibukota Yangon, di kota Mandalay, basis biara-biara biksu, aksi ini juga digelar.

Di Yangon, mereka juga berhimpun di Pagoda Shwedagon. Demonstrasi yang makin melibatkan ratusan ribu warga biasa itu membuat Junta Militer tak lagi menahan diri. Rabu kemarin, Pagoda itu menjadi saksi bisu saat aksi demonstrasi dihalau dengan kekerasan oleh polisi dan militer. Korban tewas tidak terelakan, yang terluka pun tidak sedikit.

Kenaikan harga bahan bakar minyak BBM hingga 500 persen, menjadi pemicunya. Kebijakan yang diambil oleh Pemerintahan Junta Militer Myanmar ini, menyebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Aksi protes sebenarnya sudah berlangsung sejak lebih dari sebulan lalu. Beberapa aktivis pro demokrasi bahkan sempat ditahan karenanya. Namun belakangan kaum biksu turun tangan.

Sudah sepekan lebih mereka melakukan long march dalam aksi damai. Kini masalahnya bukan persoalan kenaikan harga BBM semata. Melainkan sudah tertuju pada penentangan langsung terhadap pemerintahan tangan besi Junta Militer.

Anggota Parlemen Eropa yang juga anggota delegasi untuk ASEAN Frithjof Schmidt: "Penyebabnya adalah krisis ekonomi. Rezim militer lewat kebijakan politiknya di tahun-tahun terakhir telah membuat manuver yang menyebabkan perekonomian mandek. Kenaikan harga bahan bakar minyak menyebabkan harga kebutuhan pokok lainnya jadi semakin mahal. Ini kemudian bermuara pada ketidakpuasan masyarakat terhadap represi bertahun-tahun. Maka munculah gelombang perlawanan massa.“

Aksi demonstrasi ini merupakan yang terbesar sejak dua dekade terakhir. Mungkin anda masih ingat. Tahun 1988 juga terjadi aksi serupa. Gerakan pro demokrasi dibabat oleh Junta Militer dengan kekerasan bersenjata, yang menewaskan ribuan orang.

Penggantian Nama Menjadi Myanmar

Dewan Penguasa Militer mengganti nama Birma menjadi Myanmar. Perubahan nama tersebut sengaja dilakukan oleh rezim militer Birma untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional kalau ada negara baru yang bernama Myanmar, dan sengaja menggusur sejarah demokrasi rakyat Birma. Beberapa negara di Uni Eropa dan Amerika Serikat, hingga kini tetap menyebut Myanmar sebagai Birma, sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat berikut kalangan pro demokrasi di Birma dan kritik terhadap tindakan otoriter Junta Militer.

Aung San Suu Kyi Sebagai Simbol Perlawanan

Kenangan pahit sejarah demokrasi Birma, juga ditandai dengan tidak diakuinya kemenangan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi, pada pemilihan umum tahun 1990. Pemimpin partai yang juga merupakan pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, selama belasan tahun dipenjara dalam rumah tahanan.

Akhir pekan lalu, rombongan biksu sengaja melewati rumah Aung San Suu Kyi. Tentara segera membangun pagar betis. Namun Suu Kyi berkesempatan ke luar pagar, melambaikan tangan dan menyambut rombongon biksu dengan doa, dan linangan air mata. Aung San Suu Kyi menjadi simbol pelawanan kalangan pro demokrasi.

Kecaman Mengalir Kembali

Meski begitu keras kecaman disuarakan masyarakat internasional, tak tergoyahkan sikap keras Junta Militer Myanmar terhadap tokoh oposisi itu. Mulai dari dorongan Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara ASEAN, hingga desakan dari Perserikatan Bangsa-bangsa, tak sanggup melunakan perlakuan junta militer. Namun memanasnya kembali situasi politik di Birma, kembali membuat masyarakat internasional kembali menoleh pada Birma. Kini kritikan tajam meluncur kembali.

Perkara Myanmar bahkan menjadi salah satu bahasan utama Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa yang kini berlangsung di New York. Tak kurang Amerika Serikat, kembali menyuarakan perlunya sanksi PBB yang lebih berat terhadap Junta Militer Myanmar. Presiden Amerika Serikat George W. Bush dalam pidatonya di depan Sidang Umum PBB bahkan menyatakan kegusarannya.

Kecaman juga datang dari PBB dan negara-negara Uni Eropa. Masyarakat internasional mulai kembali bereaksi. Dulu, Desember 2003, Myanmar menyatakan akan mulai membuat peta jalan menuju demokrasi. Ia berjanji akan mengajak para oposan termasuk etnis minoritas dan partai NLD untuk berunding. ASEAN bahkan sibuk membujuk-bujuk agar pemerintah Myanmar memulai peta jalan itu. Namun hingga kini peta jalan menuju demokrasi masih jadi janji muluk rezim bertangan besi itu. Suu Kyi masih dibiarkan mendekam di tahanan rumah.

Seluruh dunia kini menoleh kembali ke Myanmar. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, mengatakan: “Seluruh dunia mengamati Birma dan rezim militer yang tidak sah seharusnya tahu bahwa seluruh dunia akan mengingat peristiwa itu. Impunitas serta pelanggaran HAM berakhir. Saya ingin menyampaikan hormat saya atas semangat dan keberanian rakyat Birma dan Aung San Suu Kyi.”

Terlepas dari janji-janji Junta Militer, maupun kecaman internasional, rakyat Birma dan para biksu tetap bergerak. Gebukan tongkat kayu, peluru tembakan, dan ancaman hukuman 10 tahun penjara bagi demonstran tak membuat para pengunjuk rasa gentar. Kepahitan selama dua dekade cukup bagi kami. Demikian ujar mereka.

Para biksu sekalipun menyuarakan tetap terus berunjuk rasa, hingga rezim militer ambruk. Mereka berharap : Birma yang demokratis, bukan lagi sekedar impian. Harapan Aung San Suu Kyi: "Saya mengharapkan perubahan terjadi secepatnya, karena banyak yang harus dilakukan. Saya tidak yakin bahwa kita masih mampu menunggu, tidak satu haripun. Sebab setiap hari, kita harus menunggu perubahan, maka kehilangan lagi satu hari, untuk membangun kembali negara kita, Birma.“