Bank Dunia: Harga Minyak Bisa Redam Pertumbuhan di Indonesia
9 Maret 2022
Perang di Ukraina terjadi pada saat yang tidak menguntungkan bagi perekonomian dunia. Baru saja Indonesia berusaha menangani pandemi Covid-19, sekarang harga minyak dan pangan melonjak naik.
Iklan
Harga minyak yang terus meninggi didorong oleh invasi Rusia ke Ukraina bisa memangkas harapan pertumbuhan ekonomi, terutama di negara pengimpor besar seperti Cina, Indonesia, Afrika Selatan dan Turki, kata pejabat Bank Dunia Indermit Gill hari Selasa (8/3).
Wakil Presiden Bank Dunia yang menangani bidang pemerataan pertumbuhan, keuangan dan institusi itu mengatakan dalam sebuah tulisan untuk tangki pemikir Brooking Institute, perang di Ukraina akan menyebabkan kemunduran lebih lanjut terhadap pertumbuhan untuk pasar negara-negara berkembang yang memang sudah terpukul oleh pandemi COVID-19 dan berjuang menghadapi ketidakpastian pembengkakan utang dan inflasi.
"Perang ini telah memperburuk ketidakpastian itu dengan cara yang akan berdampak di seluruh dunia, dan merugikan orang-orang yang paling rentan di tempat-tempat yang paling rapuh," kata Gill dan menambahkan, masih "terlalu dini untuk mengatakan sejauh mana konflik ini akan mengubah prospek ekonomi global."
Kenaikan harga pangan dan energi
Seperti pandemi corona, krisis terbaru ini muncul secara tidak terduga, baik dalam skala dan keganasannya, maupun dalam respons global terhadapnya. Selanjutnya ia menulis, banyak yang akan tergantung pada apa yang terjadi selanjutnya. Namun sudah jelas bahwa harga pangan dan energi yang lebih tinggi—bersama dengan kelangkaan pasokan—akan menjadi penyebab langsung penderitaan bagi ekonomi berpenghasilan rendah dan menengah.
Iklan
Beberapa negara di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika dan Eropa sangat bergantung pada Rusia dan Ukraina untuk bahan pangan, karena Rusia dan Ukraina bersama-sama memasok lebih dari 20% ekspor gandum global.
Bahkan beberapa negara berkembang sangat bergantung pada pasokan gandum dari Rusia dan Ukraina, karena lebih dari 75 persen gandumnya diimpor dari kawasan konflik itu. Untuk negara-negara berpenghasilan rendah, gangguan pasokan serta kenaikan harga dapat menyebabkan peningkatan bahaya kelaparan dan kerawanan pangan.
Rusia dan Ukraina: Kronik Perang yang Tidak Dideklarasikan
Akar konflik antara Rusia dan Ukraina sangat dalam. Semuanya diyakini bermuara pada keengganan Rusia untuk menerima kemerdekaan Ukraina.
Foto: Maxar Technologies via REUTERS
Berkaitan, tetapi tak sama
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina memiliki sejarah sejak Abad Pertengahan. Kedua negara memiliki akar yang sama, pembentukan negara-negara Slavia Timur. Inilah sebabnya mengapa Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut kedua negara itu sebagai "satu orang". Namun, sebenarnya jalan kedua negara telah terbagi selama berabad-abad, sehingga memunculkan dua bahasa dan budaya — erat, tapi cukup berbeda.
Foto: AP /picture alliance
1990-an, Rusia melepaskan Ukraina
Ukraina, Rusia, dan Belarus menandatangani perjanjian yang secara efektif membubarkan Uni Soviet pada Desember 1991. Moskow sangat ingin mempertahankan pengaruhnya di kawasan itu dan melihat Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) yang baru dibentuk sebagai alat untuk melakukannya. Sementara Rusia dan Belarus membentuk aliansi yang erat, Ukraina semakin berpaling ke Barat.
Foto: Sergei Kharpukhin/AP Photo/picture alliance
Sebuah perjanjian besar
Pada tahun 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani Treaty on Friendship, Cooperation and Partnership, yang juga dikenal sebagai "Perjanjian Besar". Dengan perjanjian ini, Moskow mengakui perbatasan resmi Ukraina, termasuk semenanjung Krimea,kawasan hunian bagi mayoritas etnis-Rusia di Ukraina.
Krisis diplomatik besar pertama antara kedua belah pihak terjadi, saat Vladimir Putin jadi Presiden Rusia masa jabatan pertama. Pada musim gugur 2003, Rusia secara tak terduga mulai membangun bendungan di Selat Kerch dekat Pulau Tuzla Ukraina. Kiev melihat ini sebagai upaya Moskow untuk menetapkan ulang perbatasan nasional. Konflik diselesaikan usai kedua presiden bertemu.
Foto: Kremlin Pool Photo/Sputnik/AP Photo/picture alliance
Revolusi Oranye
Ketegangan meningkat selama pemilihan presiden 2004 di Ukraina, dengan Moskow menyuarakan dukungannya di belakang kandidat pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Namun, pemilihan itu dinilai curang. Akibatnya massa melakukan Revolusi Oranye atau demonstrasi besar-besaran selama 10 hari dan mendesak diadakannya pemilihan presiden ulang.
Foto: Sergey Dolzhenko/dpa/picture alliance
Dorongan bergabung dengan NATO
Pada tahun 2008, Presiden AS saat itu George W. Bush mendorong Ukraina dan Georgia untuk memulai proses bergabung dengan NATO, meskipun ada protes dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Jerman dan Prancis kemudian menggagalkan rencana Bush. Pada pertemuan puncak NATO di Bucharest, Rumania, akses dibahas, tetapi tidak ada tenggat waktu untuk memulai proses keanggotaan.
Foto: John Thys/AFP/Getty Images
Tekanan ekonomi dari Moskow
Pendekatan ke NATO tidak mulus, Ukraina melakukan upaya lain untuk meningkatkan hubungannya dengan Barat. Namun, musim panas 2013, beberapa bulan sebelum penandatanganan perjanjian asosiasi tersebut, Moskow memberikan tekanan ekonomi besar-besaran pada Kiev, yang memaksa pemerintah Presiden Yanukovych saat itu membekukan perjanjian. Aksi protes marak dan Yanukovych kabur ke Rusia.
Foto: DW
Aneksasi Krimea menandai titik balik
Saat kekuasaan di Kiev kosong, Kremlin mencaplok Krimea pada Maret 2014, menandai awal dari perang yang tidak dideklarasikan antara kedua belah pihak. Pada saat yang sama, pasukan paramiliter Rusia mulai memobilisasi pemberontakan di Donbas, Ukraina timur, dan melembagakan "Republik Rakyat" di Donetsk dan Luhansk. Setelah pilpres Mei 2014, Ukraina melancarkan serangan militer besar-besaran.
Gesekan di Donbass terus berlanjut. Pada awal 2015, separatis melakukan serangan sekali lagi. Kiev menuding pasukan Rusia terlibat, tetapi Moskow membantahnya. Pasukan Ukraina menderita kekalahan kedua, kali ini di dekat kota Debaltseve. Mediasi Barat menghasilkan Protokol Minsk, sebuah kesepakatan dasar bagi upaya perdamaian, yang tetap belum tercapai hingga sekarang.
Foto: Kisileva Svetlana/ABACA/picture alliance
Upaya terakhir di tahun 2019
KTT Normandia di Paris pada Desember 2019 adalah pertemuan langsung terakhir kalinya antara Rusia dan Ukraina. Presiden Vladimir Putin tidak tertarik untuk bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy. Rusia menyerukan pengakuan internasional atas Krimea sebagai bagian dari wilayahnya, menuntut diakhirinya tawaran keanggotaan NATO bagi Ukraina dan penghentian pengiriman senjata ke sana. (ha/as)
Foto: Jacques Witt/Maxppp/dpa/picture alliance
10 foto1 | 10
Pemerintah harus bertindak cepat dan cermat
Gill Indermit mengatakan, Bank Dunia memperkirakan akan terjadi kenaikan harga minyak yang bertahan selama beberapa tahun dan dapat memotong pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang pengimpor minyak dan gas.
Selama enam bukan terakhir, harga minyak di pasar dunia telah naik lebih dari dua kali lipat. "Jika ini berlangsung, (harga) minyak bisa memangkas persentase pertumbuhan dari importir minyak seperti Cina, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki," katanya.
"Sebelum perang pecah, Afrika Selatan diperkirakan akan tumbuh sekitar 2% pada 2022 dan 2023, Turki sebesar 2-3%, dan Cina dan Indonesia sebesar 5%.”
Dengan adanya krisis yang baru, pemerintah di negara berkembang harus bergerak cepat untuk meredam risiko ekonomi dan melakukan koreksi arah yang cermat, kata Wakil Ketua Bank Dunia Indermit Gill. Mereka juga harus memperkuat jaring pengaman sosial yang dibutuhkan untuk melindungi warga mereka yang paling rentan di saat krisis.
Pandemi virus corona adalah pelajaran penting tentang kemampuan para pembuat kebijakan untuk merespons bencana secara efektif. "Pemerintah di negara berkembang harus bertindak bijaksana, dan bertindak sekarang," kata Indermit Gill.