Bank Dunia Memperingatkan Stagflasi Ancam Ekonomi Global
8 Juni 2022
Risiko stagflasi seperti pada 1970-an diprediksi akan terjadi pada tahun-tahun mendatang di tengah melonjaknya harga komoditas. Negara-negara berkembang diperkirakan menjadi beberapa yang paling terdampak.
Iklan
Bank Dunia pada Selasa (07/06) memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2022 lebih dari satu poin persentase. Organisasi tersebut menyuarakan keprihatinan seputar risiko "stagflasi", campuran antara inflasi yang tinggi dan pertumbuhan yang lamban.
"Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari," kata Presiden Bank Dunia David Malpass.
Apa prediksi Bank Dunia?
Bank Dunia memangkas pertumbuhan menjadi 2,9% tahun ini. Sebelumnya pada Januari, lembaga itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi global berada di angka 4,1% untuk 2022.
Badan tersebut juga memperkirakan pertumbuhan hanya 3% untuk tahun 2023 dan 2024.
Lebih lanjut, Bank Dunia memproyeksi harga minyak akan melonjak 42% tahun ini, sementara harga komoditas non-energi diprediksi akan naik sebesar 18%.
Bank Dunia membandingkan kenaikan harga saat ini dengan guncangan minyak tahun 1970-an.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Global, Bank Dunia menyebut perang di Ukraina telah memperbesar perlambatan ekonomi global, yang sekarang memasuki "periode pertumbuhan yang lemah dan inflasi yang berlarut-larut."
Bagaimana Perang Putin Mempengaruhi Ekonomi Dunia
Efek perang Rusia terhadap Ukraina dirasakan di seluruh dunia. Harga makanan dan bahan bakar meningkat di mana-mana. Di beberapa negara kerusuhan pecah akibat naiknya harga barang kebutuhan utama.
Foto: Dong Jianghui/dpa/XinHua/picture alliance
Belanja Semakin Mahal di Jerman
Konsumen di Jerman merasakan kenaikan biaya hidup. Konsekuensi dari perang di Ukraina dan sanksi terhadap Rusia mulai terasa. Pada bulan Maret, tingkat inflasi Jerman mencapai level tertinggi sejak 1981. Pemerintah Jerman ingin segera mengembargo batubara Rusia, tetapi masih memperdebatkan pelarangan impor gas dan minyak dari Rusia.
Foto: Moritz Frankenberg/dpa/picture alliance
Antrian Mengisi Bahan Bakar di Kenya
Antrian panjang mobil di SPBU Nairobi. Di Kenya, warga juga merasakan dampak perang di Ukraina. Bahan bakar kian mahal, dan pasokannya terbatas, belum lagi krisis pangan. Duta Besar Kenya untuk PBB Martin Kimani dalam sidang Dewan Keamanan menyatakan keprihatinannya, dan membandingkan situasi di Ukraina timur dengan perubahan yang terjadi di Afrika setelah berakhirnya era kolonial.
Foto: SIMON MAINA/AFP via Getty Images
Siapa Amankan Suplai Gandum ke Turki?
Rusia adalah produsen gandum terbesar di dunia. Karena larangan ekspor dari Rusia, harga roti sekarang naik di banyak tempat, termasuk di Turki. Sanksi internasional telah mengganggu rantai pasokan. Ukraina juga merupakan salah satu dari lima pengekspor gandum terbesar di dunia, tetapi perang dengan Rusia membuat mereka tidak dapat mengirimkan barang dari pelabuhannya di Laut Hitam.
Foto: Burak Kara/Getty Images
Harga Gandum Melonjak di Irak
Seorang pekerja tengah menumpuk karung-karung tepung tergu di pasar Jamila, pasar grosir terpopuler di Baghdad. Harga gandum telah meroket di Irak sejak Rusia menginvasi Ukraina, karena kedua negara tersebut menyumbang setidaknya 30% dari perdagangan gandum dunia. Irak tetap netral sejauh ini, tetapi poster-poster pro-Putin sekarang telah dilarang di negara itu.
Foto: Ameer Al Mohammedaw/dpa/picture alliance
Unjuk Rasa di Peru
Para demonstran bentrok dengan polisi di ibukota Peru, Lima. Mereka memprotes kenaikan harga pangan, satu di antara rangkaian kenaikan harga. Krisis semakin diperburuk dengan adanya perang di Ukraina. Presiden Peru, Pedro Castillo memberlakukan jam malam dan keadaan darurat untuk sementara. Tapi jika peraturan tersebut dicabut, protes akan terus berlanjut.
Foto: ERNESTO BENAVIDES/AFP via Getty Images
Keadaan Darurat di Sri Lanka
Di Sri Lanka, warga turun ke jalan untuk mengekspresikan kemarahan mereka. Beberapa hari lalu, ada yang mencoba menyerbu kediaman pribadi Presiden Gotabaya Rajapaksa. Memuncaknya protes terhadap kenaikan biaya hidup, kekurangan bahan bakar, dan pemadaman listrik, mendorong presiden mengumumkan keadaan darurat nasional, sekaligus meminta bantuan pengadaan sumber daya dari India dan Cina.
Warga di Skotlandia juga memprotes kenaikan harga makanan dan energi. Di seluruh Inggris, serikat pekerja telah mengorganisir demonstrasi untuk memprotes kenaikan biaya hidup. Brexit telah mengakibatkan kenaikan harga di banyak area kehidupan, dan perang di Ukraina makin memperburuk keadaan.
Foto: Jeff J Mitchell/Getty Images
Harga Ikan Goreng di Inggris Melonjak
Warga Inggris punya alasan untuk khawatir terkait hidangan nasional tercinta mereka "fish and chips". Sekitar 380 juta porsi goreng ikan dan kentang dikonsumsi di Inggris setiap tahun. Tetapi sanksi keras saat ini, berarti harga ikan putih dari Rusia, minyak goreng dan energi, semuanya melonjak naik. Pada Februari 2022, tingkat inflasi Inggris mencapai 6,2%.
Foto: ADRIAN DENNIS/AFP via Getty Images
Peluang Ekonomi bagi Nigeria?
Seorang pedagang di Ibafo, Nigeria, tengah mengemas tepung untuk dijual kembali. Nigeria telah lama ingin mengurangi ketergantungannya pada makanan impor, dan membuat ekonominya lebih tangguh lagi. Orang terkaya di Nigeria Aliko Dangot, baru-baru ini membuka pabrik pupuk terbesar di negara itu, dan berharap memiliki banyak pembeli. Apakah itu sebuah peluang? (kp/as)
Foto: PIUS UTOMI EKPEI/AFP via Getty Images
9 foto1 | 9
Badan tersebut juga memperingatkan prospek masih bisa menjadi lebih buruk lagi. "Pertumbuhan yang lemah kemungkinan akan bertahan sepanjang dekade karena investasi yang lemah di sebagian besar dunia," kata Malpass.
"Dengan inflasi yang sekarang berjalan pada level tertinggi selama beberapa dekade di banyak negara dan pasokan diperkirakan tumbuh lambat, ada risiko inflasi akan tetap lebih tinggi lebih lama."
Apa penyebab stagflasi?
Malpass mengatakan bahwa pertumbuhan global dipengaruhi oleh perang di Ukraina, pembatasan kegiatan masyarakat akibat COVID-19 di Cina, dan gangguan rantai pasokan.
Harga komoditas telah melonjak, mengancam keterjangkauan di negara-negara berkembang. "Ada risiko parah kekurangan gizi dan kelaparan yang semakin dalam dan bahkan kelaparan," kata Malpass.