1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Banksy, Seni Jalanan dan Lukisan Susilo Bambang Yudhoyono

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Nadya Karima Melati
28 Agustus 2021

Pemerintah selama masa pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Indonesia, menghapus beberapa mural dan grafiti. Hal itu mengingatkan pengamat sosial Nadya Karima Melati akan fenomena Banksy. Simak opininya.

Salah satu ilustrasi Banksy di BethlehemFoto: Getty Images/AFP/A. Gharabli

Pada tahun 2018 di London, telah terjual sebuah lukisan berikut dengan bingkainya seharga 1,04 juta poundsterling atau sekitar 21 miliar rupiah Indonesia. Dalam lukisan tersebut digambarkan sesosok anak perempuan yang nampaknya kehilangan balon hati berwarna merah. Karya tersebut adalah kopi dari sebuah grafiti jalanan berjudul "Girl with Baloon". Baik grafiti dan karya mahal tersebut dibuat oleh Banksy, pekerja seni anonimus yang karya grafitinya tersebar di seluruh Britania raya. Jika kita renungkan lebih dalam, ada sebuah ironi tentang sebuah karya lukisan yang terjual jutaan poundsterling (walau pada akhirnya juga dirusak) dengan sebuah mural/grafiti tentang kritik sosial yang dua-duanya dilakukan oleh subjek yang sama, Banksy.

Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: Nadya Karima Melati

Mengutip buku Banksy's Bristol: Home Sweet Home (2007), Banksy sudah melakukan seni melukis dinding tembok sejak tahun 1994-1999 dan karyanya tersebar di seluruh Kota Bristol. Pada awal 2000 dia mengubah teknik melukis dinding dari grafiti menjadi stencilling atau teknik sablon karena sebagai seniman jalanan dia harus main kucing-kucingan dengan polisi dalam membuat seni jalanan. Karya-karyanya menjadi populer dan mengena di masyarakat sebab berisi kritik sosial dengan balutan humor, sarkas dan ironi. Subjek-subjek dalam lukisan sablonnya kebanyakan terdiri dari tikus, monyet, polisi, tentara, anak-anak dan orang dewasa. Banksy menyampaikan pesan-pesan antikapitalisme, antiperang, dan menolak otoritarianisme.

Represi Seni Jalanan Selama Pandemi

Karya seni Banksy oleh para kritikus dimasukan dalam kategori street art, di mana penikmatnya terdiri dari berbagai kalangan mulai dari orang bisa hingga selebriti. Selain itu, ada pesan dan emosi yang disampaikan melalui tiap semprotan cat ke dinding. Karya seni jalanan memang membuat seni tidak lagi dibatasi oleh kelas sosial. Setiap orang bisa menikmatinya tanpa harus bayar tiket masuk, atau belajar teori seni yang njelimet. Seni mural dan grafiti jalanan, adalah seni yang menggugah emosi, mempunyai pesan untuk disampaikan, menangkap sejarah zaman dan bisa dilihat oleh semua kalangan.

Mungkin karena betapa kuatnya seni visual jalanan terhadap pergerakan hati manusia, penguasa cenderung melarang karya seni jenis ini. Banksy sendiri harus terus berlindung dalam anonimitas sebab karya grafitinya dianggap melanggar undang-undang Inggris tentang vandalisme. Setali tiga uang, pemerintah berkuasa di Indonesia juga selama masa pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Indonesia, menghapus beberapa mural dan grafiti dengan paksa.

Mural dan grafiti yang dihapus spesifik yang bertema kritik terhadap pemerintah dalam menangani pandemi virus corona. Tidak hanya karya yang dihapus, para pelukisnya pun dilacak dan diintimidasi oleh kepolisian. Beberapa karya tersebut adalah gambar Jokowi 404 not found (Tangerang) , Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit (Pasuruan), Tuhan, Kami Lapar (Tangerang) hingga baru-baru ini Wabah Sebenarnya adalah Kelaparan (Banjarmasin). Mural dan grafiti ini mungkin menjadi alternatif untuk berekspresi dan didengar pemerintah, sebab hari ini menyampaikan kritik melalui media sosial tidak mungkin lagi sejak berlakunya UU ITE 2007.

SBY dan Seni dari ala Penguasa

Di tengah-tengah pandemi dan pembatasan sosial, Susilo Bambang Yudhoyono, mantan presiden Indonesia sebelum Jokowi, juga merilis hasil lukisan-lukisan yang beliau gambar. Hampir semua lukisannya bertema pemandangan. Kedua karya seni tersebut, karya seni grafiti dan lukisan SBY, populer pada pekan yang hampir bersamaan dan keduanya sama-sama mengekspresikan perasaan sebagai penduduk Indonesia di tengah ketimpangan dan krisis kesehatan dunia. Lukisan SBY mendapat respon berbeda dengan grafiti jalanan, mungkin sebab temanya pemandangan atau pelukisnya mantan presiden yang cenderung kebal hukum. Perilaku mendua pemerintah ini menimbulkan tanda tanya tentang seni, apakah karya seni harus yang bersifat menenangkan di tengah kondisi kelaparan?

Tren melukis pemandangan ini mungkin bisa dibilang warisan pendidikan seni warisan kolonial. Lukisan pemandangan semacam ini dikenal dengan aliran Mooi Indie (Hindia Cantik) yang populer di abad ke-19. Mooi Indie menggambarkan keindahan bentang alam nusantara dengan objek penduduknya yang cenderung submisif. Mooi Indie identik dengan colonial gaze (tatapan penjajah), karena enggan menggambarkan penderitaan dan pergolakan penduduk bumiputra selama dijajah dan cenderung menggambarkan pemandangan tentang keindahan alam atau pribumi eksotis. Padahal, pada periodisasi yang sama ketika tren lukisan seperti ini meledak, terjadi pula kebangkitan pergerakan kaum Bumi Putera melawan penjajahan Belanda.

Konsep seni Mooi Indie diaplikasikan dalam pendidikan seni di Indonesia di mana anak-anak usia dini diajarkan melukis sekadar pemandangan. Dua buah gunung yang kanan-kirinya diapit oleh sawah. Sebuah pemandangan yang sesunguhnya langka untuk ditemukan pada bentang alam yang penuh eksploitasi tambang hari ini. Dengan diintimidasinya pelukis mural bertema kritik sosial, pemerintah Indonesia sedang menerapkan seni penjajahan kepada penduduknya. Sebab pemerintah hanya memperbolehkan ekspresi seni yang sebatas pandangan penguasa, yang tidak mengalami kelaparan atau kesusahan ekonomi yang dialami oleh rakyat jelata.

Dampak represi seni jalanan

Strategi represi seni jalanan ini sebenarnya tidak pernah menguntungkan pemerintah, baik dalam di Inggris atau di Indonesia. Dalam kasus Banksy di Inggris misalnya, walau dalam anonimitas dan beberapa karya sablon dinding berkali-kali dihapus, nama Banksy terus menjulang dan menjadi salah satu seniman kontemporer yang karyanya paling dihargai seluruh dunia. Berapa kali pun karya grafiti kritik sosial dihapus, ide dan pesan perlawanan akan terus menyebar secara digital ataupun direplikasi di tempat lain. Hal ini sudah terjadi di mana penghapusan mural Jokowi 404 not-found justru diadaptasi ke sablon kaos dan membuat beberapa perlawanan dari kelompok seniman.

Saya tidak bermaksud memberikan nilai bahwa karya seni jalanan kontemporer lebih baik daripada lukisan SBY, tapi kita bisa melihat bagaimana ekspresi dua kelas: kelas penguasa dan kelas rakyat dalam menghadapi pandemi. Apabila SBY bisa berekspresi dengan melukis sesuatu yang menenangkan dan apolitis, sebab mungkin dia tidak merasakan penderitaan kelompok marjinal. Sementara rakyat yang kelaparan dan berusaha berkomunikasi dengan penguasa lewat berbagai cara termasuk seni. Dari keduanya, seni jalanan yang paling cepat populer karena banyak orang mengalami hal yang sama. Seni jalanan menjadi sebuah kritik sosial yang sayangnya tidak disukai oleh pemerintah. Kini, di tengah-tengah krisis kesehatan dan ekonomi, rakyat Indonesia harus juga berhadapan dengan krisis berekspresi. Padahal kalau kita belajar dari Banksy, seni populer tidak pernah datang dari kelas penguasa, melainkan pesan dan suara-suara dari kelas bawah.

 

@Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait