Banyak anak dan remaja pengungsi alami pengalaman ngeri saat larikan diri. Biasanya mereka tidak ungkapkan trauma psikis itu. Jerman kini berupaya bantu konsultasi psikologi.
Iklan
"Saya sangat ketakutan saat naik perahu. Saya pegang erat adik saya, juga ketika kami jatuh ke air. Saya hana bisa menangis, dan mengira akan mati karam. Maut begitu dekat saat itu". Begitu pemaparan Farah yang berusia 10 tahun saat mengungsi bersama keluarganya dari ajang perang di Suriah menuju Eropa.
Namir yang berusai 12 tahun punya cerita berbeda, tetapi sama traumatisnya. Saat melarikan diri dari Suriah menuju Jerman, di sebuah hutan ia kehilangan sepatunya, kakinya berdarah dan bengkak karena dipaksa terus berjalan. "Kami kehausan dan kelaparan", ujar dia. keluarganxya terdampar 5 bulan di Bulgaria dan mengalami perlakuan buruk.
Cerita dari dua orang anak pengungsi itu, menjadi semacam curahan perasaan dari anak-anak lain yang juga mengalami trauma psiksi mengerikan saat mengungsi. Catatan menunjukan, dari sekitar 600.000 pengungsi yang masuk Jerman hingga akhir bulan September silam, sepertiganya adalah anak-anak dan remaja. Organisasi pelindung anak-anak dan remaja "Save the Children" menyebutkan, banyak diantara anak pengungsi derita trauma berat, tapi tak mampu ungkapkan penderitaan psikis itu. Seperti laporan majalah berita Der Spiegel mengenai anak-anak yang ´dapat diselamatkan dari bahaya mati karam ini:
Pakar psikologi Andreas Mattenschlager yang memimpin proyek dukungan psikoterpi bagi anak-anak yang derita trauma di kota Ulm mengatakan, ia mendengar banyak pengalaman mengerikan yang diceritakan anak pengungsi. Mereka juga ingin merasa aman, sama seperti anak-anak lainnya. "Dengan mengungsi, keluarga mereka terlepas dari kekerasan dan situasi buruk di negaranya. Tapi situasi kehidupan mereka tetap memprihatinkan, tambah Mattenschlager.
Konsultasi psikologi gratis
Banyak anak pengungsi menderita trauma pasca pengalaman buruk serta kesulitan beradaptasi. "Mereka harus segera mendapat bantuan psikoterapi, agar secepatnya bisa diintegrasikan ke taman kanak-kanak atau sekolah", ujar Volker Mall, Direktur pusat pedagogis sosial anak-anak di München. Juga menteri keluarga dan anak-anak Jerman Manuela Schwesig menuntut aturan lebih baik untuk melindungi anak-anak pengungsi dari traauma psikologis dan tindak kekerasan.
Untuk menyiasati kendala birokrasi, menyangkut anak-anak pengungsi dan pemohon suakam Andreas Mattenschlager dan timnya menawarkan konsultasi prikologi gratis seminggu sekali di kamp penampungan pengungsi kota Ulm. Tapi diakui, menjalin saling kepercayaan masih sulit. Banyak keluarga yang mulanya memandang skeptis. Mereka takut isi pembicaraan saar konsultasi diteruskan ke kementrian luar negeri dan mempengaruhi permohonan suaka mereka. Walau begitu, pelahan tapi pasti makin banyak anak yang mengalami trauma psikis datang untuk berkonsultasi di ruangan yang terlindung dan aman.
Belajar untuk Hidup Selanjutnya
Di Eropa anak-anak bersekolah. Di Libanon anak pengungsi tidak punya kesempatan. Trauma, tidak punya kesibukan, rentan karena hidup di jalanan. Beberapa sekolah sementara jadi tempat mengenal sedikit normalitas hidup.
Foto: Amy Leang
Terapi
Murid-murid pengungsi Suriah bernyanyi bersama di sekolah Karam Zeitoun di Beirut. Aktivitas kreatif jadi terapi bagi sebagian anak. "Mereka dengarkan cerita dari orang tua. Mereka berbicara tentang perang, sulitnya hidup jika tidak punya uang." Ketika pergi ke sekolah, mereka tetap anak-anak lengkap dengan ciri khas anak-anak, kata Charlotte Bertal, pendiri NGO Perancis yang jalankan sekolah.
Foto: Amy Leang
'Hidup Ke Dua'
Seorang murid membalik-balik halaman buku latihan bahasa Inggris di Karam Zeitoun School di Beirut. Tujuan jangka panjangnya adalah mempersiapkan anak-anak agar bisa masuk sekolah umum Lebanon jika mungkin secara finansial dan logistik. "Ini hidup ke dua," kata Susanne (14) yang ingin jadi bintang film. "Tanpa sekolah, hidup saya akan terasa tak berguna."
Foto: Amy Leang
Belajar Berhitung
Diana (11) berusaha mengikuti pelajaran matematika di Karam Zeitoun School di Beirut. "Secara umum, kesulitan yang dihadapi murid adalah, keluarga tidak bisa mendukung atau mengajari mereka di rumah. Mereka hanya belajar di sekolah," kata guru mereka Nasser Al-Issa, yang juga pengungsi.
Foto: Amy Leang
Makanan Bergizi
Anak-anak makan polong-polongan di halaman sekolah. "Sewa kamar di sekitar sini harganya sekitar empat sampai enam juta Rupiah per bulan," kata Andrew Salameh, pendeta di gereja Nazarene Church. Gereja itu, dalam kerja sama dengan NGO Yalla Pour Les Enfants Syriens, menjalankan sekolah yang bersifat nonreligius dan nonpolitis. Jika harus bayar sebanyak itu, tidak ada lagi uang untuk makanan."
Foto: Amy Leang
Rumah dalam Rumah
Gedung apartemen tampak dari ruang kelas Karam Zeitoun School. "Keluarga-keluarga tinggal di sekitar sini," kata Pendeta Andrew Salameh. "Sebagian ruangan ada di bawah tangga atau di atas atap."
Foto: Amy Leang
Menyalurkan Secara Kreatif
Ashta (12) menatap ke luar jendela dalam pelajaran menulis kreatif di Karam Zeitoun School di Beirut. "Latihan menulis dan aktivitas kreatif memberi kami kesempatan untuk menilai kebutuhan psikologis murid, dan menyalurkan anak ke spesialis jika diperlukan," kata Charlotte Bertal, salah satu pendiri Yalla Pour Les Enfants Syriens.
Foto: Amy Leang
Generasi Yang Hilang
Berkumpul dan menyelesaikan bersama pekerjaan rumah matematika. Orang tua Haider dan Leila (bukan nama sebenarnya) duduk bersama anak-anak mereka di ruang sewaan di Beirut. "Saya membawa mereka ke sini, karena khawatir mereka tidak akan bisa belajar. Saya ingin mereka berpendidikan," kata Haider yang jadi petani di Suriah, dan sekarang bekerja tidak tetap di Beirut.
Foto: Amy Leang
Isi Waktu Luang
Simon (3) adalah pengungsi Suriah-Armenia. Ia bermain di apartemen kecil yang juga dihuni 10 anggota keluarganya. Pengungsi yang tidak bersekolah atau mengikuti pendidikan kerap melewati waktu di rumah dengan menonton televisi atau bermain. "Ada 400.000 anak-anak," kata Charlotte Bertal, "tapi hanya 90.000 bersekolah. Ini masalah besar yang harus ditangani PBB dan NGO.
Foto: Amy Leang
Sekolah bagi Pengungsi
Mohammad dan Ahmed mencoba mencari uang dengan membersihkan sepatu. Sejak 2011 mereka tidak bersekolah. "Tentu kami rindu sekolah," kata Ahmed. "Di sekolah ini, jika kami mendaftar sebagai pengungsi, kami akan diterima. Tapi ayah saya sakit, dan harus kembali ke Suriah untuk berobat. Jika mendaftarkan diri, ia bisa ditangkap rezim di perbatasan. Karena itu kami tidak bisa bersekolah."
Foto: Amy Leang
Hidup di Jalanan
Nariman (7) mencoba menjual kertas tisu di pintu sebuah resotran di Beirut. Nariman sudah kelas dua, ketika harus lari dengan keluarganya dari Suriah ke Beirut. Ia mendapat paket kertas tisu dari pamannya, dan harus membawa pulang sekitar 93.000 Rupiah per hari sebelum jam enam sore. Ia hampir selalu melewati hari-harinya tanpa orang tua di jalanan.
Foto: Amy Leang
Kehilangan Fokus
Seorang anak melamun saat pelajaran berlangsung, di sekolah yang baru didirikan oleh oganisasi non pemerintah SAWA for Development & Aid, dekat perbatasan dengan Suriah di Bar Elias, Lebanon. "Anak-anak sudah melewati ketakutan dan stres sehingga tidak peduli lagi," kata guru Shams Ibrahim, yang juga pengungsi. "Mereka tidak punya batas takut lagi," katanya.