Banyak Penguasa Otoriter Arab Senang Kalau Trump Menang Lagi
Lewis Sanders IV | Tom Allinson
23 September 2020
Dari Mesir hingga Arab Saudi, para pemimpin otoriter Arab mendapat dukungan besar dari Gedung Putih sejak Donald Trump jadi presiden. Kemenangan Trump dalam pemilu November mendatang akan membuat mereka gembira.
Iklan
"Di mana diktator favorit saya?" kata Donald Trump dalam KTT G7 tahun lalu ketika mencari pimpinan Mesir, mantan jenderal Abdel-Fattah al-Sisi, di antara para tamu yang hadir. Trump memang sering berbicara positif tentang para otokrat dan diktator dunia. Dia pernah menggambarkan pimpinan Korea Utara Kim Jong Un sebagai "pemimpin hebat", menyebut pemimpin Rusia Vladimir Putin sebagai "orang yang lebih baik daripada saya." Para pemimpin otoriter di Arab juga mendapat kehormatan semacam itu.
"Para pemimpin Arab seperti al-Sisi sangat senang ketika mereka melihat kekuatan adidaya dunia seperti AS dipimpin oleh seorang presiden yang secara terbuka menyerang pers, mengabaikan hak asasi manusia, dan memerintah dengan agenda populis," kata Amr Magdi dari Human Rights Watch. "Tidak mengherankan jika banyak pemerintah Arab mendukung Trump pada 2016, dan mereka juga mendukungnya sekarang."
Bagi Mesir, naiknya Donald Trump ke kursi kepresidenan di Washington adalah sebuah keberuntungan, karena Kairo akhirnya memiliki seorang pendukung kuat di Gedung Putih.
Penguasa otoriter sekutu setia Presiden Trump
Di bawah pendahulunya, Barack Obama, AS telah menangguhkan bantuan militer langsung kepada Mesir setelah kudeta pada 2013. Pemerintahan Obama juga memblokir pengiriman helikopter serbu Apache, jet tempur F-16, dan membekukan lebih dari USD 250 juta dana bantuan.
Begitu menjabat presiden, Donald Trump langsung bergerak untuk meningkatkan bantuan langsung ke Mesir, dan sekarang merencanakan bantuan USD 1,4 miliar pada 2021, sebagian besar untuk sektor militer dan keamanan.
"Singkatnya, (kemenangan) Trump berarti kemenangan bagi para pemimpin otokratis seperti al-Sisi, dan lebih banyak ruang untuk menghancurkan hak asasi manusia," kata pegiat HAM Magdi lebih lanjut. Tapi Abdel-Fattah al-Sisi bukan satu-satunya otokrat Arab yang menikmati perubahan mendadak itu.
Iklan
Amerika pertama, Arab Saudi kedua
Trump mengisyaratkan perubahan dramatis dari era Obama, dengan menjadikan Arab Saudi sebagai tujuan kunjungan luar negeri pertamanya setelah dilantik menjadi presiden pada 2016. Ketika banyak negara barat menjauhkan diri dari Arab Saudi setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018, pemerintahan Trump justru melindungi putra mahkota Mohammad bin Salman, yang diyakini akan mewarisi tahta kerajaan.
Bayang-bayang Gelap Raja Salman
Kunjungan Raja Salman di Indonesia ikut menebar pesona monarki Arab Saudi. Namun kenapa masa lalu penguasa berusia senja itu dikaitkan dengan geliat terorisme di Afghanistan dan Bosnia? Inilah kisahnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Bantuan Sipil Menuai Teror
Sebelum berkuasa, Salman ibn Abd al-Aziz Al Saud, sering dipercaya mengelola dana sumbangan Arab Saudi. Namun berulangkali aliran dana dari Riyadh mendarat di kantung kelompok teror seperti Al-Qaida. Salman mengaku bertindak dengan tulus dan bersikeras "bukan tanggungjawab kerajaaan, jika pihak lain menyalahgunakan dana donasi Arab Saudi buat terorisme."
Foto: Getty Images/AFP/S.Loeb
Menghadang Soviet di Hindukush
Tudingan terhadap Salman pertamakali dilayangkan oleh bekas perwira Dinas Rahasia AS CIA, Bruce Riedel. Dia yang kini juga penasehat pemerintah buat urusan Timur Tengah mengklaim Salman ikut mengumpulkan dana untuk Mujahiddin Afghanistan saat invasi Uni Sovyet di dekade 1980an. Selain itu ia juga menyuplai dana buat mempersenjatai kelompok muslim dalam perang Kosovo.
Foto: picture-alliance/dpa
Duit buat Mujahiddin
Persinggungan Salman dengan terorisme berawal dari perintah Raja Khalid mengumpulkan donasi untuk Mujahidin Afghanistan. Menurut Riedel, sumbangan pribadi dari kerajaan untuk kelompok perlawanan di Afghanistan mencapai 25 juta Dollar AS per bulan. Pengamat Timur Tengah AS, Rachel Bronson, pernah menulis Salman membantu merekrut gerilayawan buat kelompok Abdul Rasul Sayyaf, mentor Osama bin Laden
Foto: picture-alliance/dpa
Simpati buat Bosnia
Tahun 1992 Salman diangkat oleh Raja Fahd untuk mengepalai lembaga bantuan Saudi High Commission for Relief for Bosnia and Herzegovina (SHC). Melalui lembaga tersebut ia mengumpulkan donasi untuk membantu warga muslim Bosnia, hingga ditutup tahun 2011. Pada 2001 SHC telah mengumpulkan dana kemanusiaan senilai 600 juta Dollar AS. Namun sebagian ditengarai disalahgunakan buat persenjataan.
Foto: picture-alliance/dpa/Barukcic
Razia Sarajevo
Pada 2001 NATO mencurigai adanya aliran dana Saudi yang digunakan buat membeli senjata dan merazia kantor cabang SHC di Sarajevo. Di sana mereka menemukan berbagai dokumen teror, termasuk foto sebelum dan sesudah serangan Al-Qaida, instruksi buat memalsukan lencana Kementerian Luar Negeri AS dan peta gedung-gedung pemerintahan di Washington.
Foto: picture alliance/ZB/B. Pedersen
Donasi Kompori Perang
Razia Sarajevo merupakan bukti pertama aktivitas gelap SHC di luar bantuan kemanusiaan. Antara 1992 dan 1995, Uni Eropa melacak jejak donasi dari akun pribadi Salman senilai 120 juta dari SHC ke organisasi bantuan bernama Third World Relief Agency (TWRA). Data CIA menyebut TWRA menghabiskan sebagian besar dana sumbangan untuk mempersenjatai gerilayawan dalam perang di Balkan.
Foto: Sebastian Bolesch
Kesaksian Sang Pembelot
2015 silam, Zacarias Moussaoui, pembelot Al-Qaida memberi kesaksian di PBB yang menyebut SHC dan TWRA merupakan sumber dana terbesar buat Al-Qaida di Bosnia, termasuk untuk membiayai pembentukan sayap militer berkekuatan 107 orang. Menurutnya SHC "membiayai dan menyokong operasi Al-Qaida di Bosnia."
Foto: AP
Hingga ke Somalia
Sebab itu Amerika Serikat memasukkan SHC dalam daftar hitam terorisme. Dinas Rahasia Pertahanan (DIA) juga pernah menuding SHC mengirimkan senjata kepada Mohamed Farrah Aidid, gembong teror Somalia yang dikenal lewat film Black Hawk Down. Padahal saat itu Somalia mengalami embargo senjata PBB sejak Januari 1992.
Foto: John Moore/Getty Images
Bumerang Teror
Aktivitas kemanusiaan Salman yang secara tidak langsung menghidupi Al-Qaida justru menjadi bumerang. Pada 2003 Arab Saudi mengalami gelombang terorisme oleh bekas gerilayawan yang pulang dari medan Jihad. Saat itu Salman mengumumkan di media bahwa para bekas Mujahiddin itu "didukung oleh ekstrimis Zionisme yang bertujuan menghancurkan Islam." (Sumber: Foreign Policy, NYTimes, Guardian, JPost)
Foto: Reuters/Saudi Press Agency
9 foto1 | 9
Pemerintahan Trump juga mendorong penjualan senjata senilai USD 8 miliar ke Arab Saudi dan sekutunya. Donald Trump juga mengumumkan penarikan diri secara sepihak dari kesepakatan nuklir dengan Iran, yang dikecam keras oleh mitra-mitra AS di Eropa namun menggembirakan Arab Saudi.
Namun, beberapa pengamat juga percaya bahwa kebijakan AS di kawasan Timur Tengah tidak akan banyak berubah di bawah seorang presiden Joe Biden.
"Dia (Biden) harus menerima itu - terutama jika ingin melanjutkan poros ini ke Asia - dia akan membutuhkan semua sekutu yang dimiliki Amerika Serikat di Timur Tengah," kata Guido Steinberg dari German Institute for International and Security Affairs, SWP di Berlin. Sekalipun begitu, Eropa lebih berharap bahwa Joe Biden yang menang, karena akan memperbaiki hubungan AS-Eropa.
"Ini akan menjadi kabar baik, jika Eropa dan pemerintah AS akan kembali memiliki persepsi yang sama dalam hal parameter dasar, bahwa dialog adalah cara yang harus dilakukan untuk menyelesaikan konflik," kata Kristina Kausch, peneliti senior di tangki pemikir Marshall Fund. Kemenangan Joe Biden akan membuka lebih banyak peluang dialog, berbeda dengan pemerintahan Trump yang terutama menerapkan strategi "tekanan maksimum dan konfrontasi", pungkas pakar politik ini.