1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Banyak Penguasa Otoriter Arab Senang Kalau Trump Menang Lagi

Lewis Sanders IV | Tom Allinson
23 September 2020

Dari Mesir hingga Arab Saudi, para pemimpin otoriter Arab mendapat dukungan besar dari Gedung Putih sejak Donald Trump jadi presiden. Kemenangan Trump dalam pemilu November mendatang akan membuat mereka gembira.

Foto ilustrasi Donald Trump, Mohammed bin Salman, Abdel Fattah al-Sisi
Foto ilustrasi

"Di mana diktator favorit saya?" kata Donald Trump dalam KTT G7 tahun lalu ketika mencari pimpinan Mesir, mantan jenderal Abdel-Fattah al-Sisi, di antara para tamu yang hadir. Trump memang sering berbicara positif tentang para otokrat dan diktator dunia. Dia pernah menggambarkan pimpinan Korea Utara Kim Jong Un sebagai "pemimpin hebat", menyebut pemimpin Rusia Vladimir Putin sebagai "orang yang lebih baik daripada saya." Para pemimpin otoriter di Arab juga mendapat kehormatan semacam itu.

"Para pemimpin Arab seperti al-Sisi sangat senang ketika mereka melihat kekuatan adidaya dunia seperti AS dipimpin oleh seorang presiden yang secara terbuka menyerang pers, mengabaikan hak asasi manusia, dan memerintah dengan agenda populis," kata Amr Magdi dari Human Rights Watch. "Tidak mengherankan jika banyak pemerintah Arab mendukung Trump pada 2016, dan mereka juga mendukungnya sekarang."

Bagi Mesir, naiknya Donald Trump ke kursi kepresidenan di Washington adalah sebuah keberuntungan, karena Kairo akhirnya memiliki seorang pendukung kuat di Gedung Putih.

Donald Trump di Arab Saudi, Mei 2017Foto: picture-alliance/Zumapress/S. Craighead

Penguasa otoriter sekutu setia Presiden Trump

Di bawah pendahulunya, Barack Obama, AS telah menangguhkan bantuan militer langsung kepada Mesir setelah kudeta pada 2013. Pemerintahan Obama juga memblokir pengiriman helikopter serbu Apache, jet tempur F-16, dan membekukan lebih dari USD 250 juta dana bantuan.

Begitu menjabat presiden, Donald Trump langsung bergerak untuk meningkatkan bantuan langsung ke Mesir, dan sekarang merencanakan bantuan USD 1,4 miliar pada 2021, sebagian besar untuk sektor militer dan keamanan.

"Singkatnya, (kemenangan) Trump berarti kemenangan bagi para pemimpin otokratis seperti al-Sisi, dan lebih banyak ruang untuk menghancurkan hak asasi manusia," kata pegiat HAM Magdi lebih lanjut. Tapi Abdel-Fattah al-Sisi bukan satu-satunya otokrat Arab yang menikmati perubahan mendadak itu.

Amerika pertama, Arab Saudi kedua

Trump mengisyaratkan perubahan dramatis dari era Obama, dengan menjadikan Arab Saudi sebagai tujuan kunjungan luar negeri pertamanya setelah dilantik menjadi presiden pada 2016. Ketika banyak negara barat menjauhkan diri dari Arab Saudi setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018, pemerintahan Trump justru melindungi putra mahkota Mohammad bin Salman, yang diyakini akan mewarisi tahta kerajaan.

Pemerintahan Trump juga mendorong penjualan senjata senilai USD 8 miliar ke Arab Saudi dan sekutunya. Donald Trump juga mengumumkan penarikan diri secara sepihak dari kesepakatan nuklir dengan Iran, yang dikecam keras oleh mitra-mitra AS di Eropa namun menggembirakan Arab Saudi.

Namun, beberapa pengamat juga percaya bahwa kebijakan AS di kawasan Timur Tengah tidak akan banyak berubah di bawah seorang presiden Joe Biden.

"Dia (Biden) harus menerima itu - terutama jika ingin melanjutkan poros ini ke Asia - dia akan membutuhkan semua sekutu yang dimiliki Amerika Serikat di Timur Tengah," kata Guido Steinberg dari German Institute for International and Security Affairs, SWP di Berlin. Sekalipun begitu, Eropa lebih berharap bahwa Joe Biden yang menang, karena akan memperbaiki hubungan AS-Eropa.

"Ini akan menjadi kabar baik, jika Eropa dan pemerintah AS akan kembali memiliki persepsi yang sama dalam hal parameter dasar, bahwa dialog adalah cara yang harus dilakukan untuk menyelesaikan konflik," kata Kristina Kausch, peneliti senior di tangki pemikir Marshall Fund. Kemenangan Joe Biden akan membuka lebih banyak peluang dialog, berbeda dengan pemerintahan Trump yang terutama menerapkan strategi "tekanan maksimum dan konfrontasi", pungkas pakar politik ini.

(hp/as)