Banyak Orang Jerman Dapat Gaji Lebih Tinggi di Luar Negeri
6 Desember 2019
Sebuah penelitian menunjukkan, kebanyakan warga Jerman yang pindah ke luar negeri adalah tenaga berpendidikan. Di tempat yang baru, mereka menerima bayaran lebih tinggi daripada di Jerman.
Iklan
Warga Jerman pindah dan kerja di luar negeri rata-rata berpenghasilan lebih banyak 1000 euro per bulan daripada ketika bekerja di Jerman, demikian hasil penelitian Institut Nasional untuk Penelitian Kependudukan yang dirilis hari Rabu (4/12).
Penelitian itu dilakukan bersama dengan Universitas Duisburg yang berkedudukan di kota Essen. Penelitian itu melibatkan 10.000 responden warga Jerman yang beremigrasi. Para peneliti ingin tahu, mengapa mereka meninggalkan Jerman dan bagaimana kehidupan ekonomi mereka setelah pindah ke luar negeri.
"Lebih 60% responden melaporkan bahwa pendapatan bersih mereka di luar negeri 'lebih baik' atau 'jauh lebih baik' daripada pendapatan mereka tahun sebelumnya," kata Andreas Ette dari Institut Penelitian Kependudukan. Bahkan bagi perempuan, atau orang dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah, pertambahan pendapatan bisa lebih besar.
Sekitar 180.000 warga Jerman beremigrasi setiap tahun, sementara 130.000 orang Jerman kembali ke negaranya. Sekitar 76% emigran Jerman memiliki gelar sarjana.
Swiss adalah tujuan paling populer bagi warga Jerman, dengan satu dari lima emigran pindah ke sana, diikuti oleh Austria, Amerika Serikat, dan Inggris.
Alasan utama bagi orang Jerman pindah ke luar negeri adalah demi karir, diikuti oleh keinginan cara hidup yang berbeda. Sekitar 37% mengatakan, karier pasangan mereka menjadi alasan mereka untuk pindah. Satu dari lima emigran pindah untuk belajar.
Responden yang diwawancarai untuk penelitian ini berusia antara 20 dan 70 tahun dan telah beremigrasi keluar atau kembali ke Jerman antara Juli 2017 dan Juni 2018.
Sebagian besar emigran Jerman berusia muda, antara usia 20 dan 40 tahun, dengan usia rata-rata antara 36 dan 37 tahun.
"Memang ada orang-orang yang sudah pensiun yang beremigrasi juga, tetapi itu bukan kelompok yang khas. Sebaliknya, orang biasanya akan pergi ke luar negeri segera setelah akhir studinya untuk memulai karir mereka dan mencari pengalaman baru," kata Marcel Erlinghagen dari Institut Sosiologi di Universitas Duisburg di Essen.
"Namun penting untuk dicatat, bahwa kita melihat adanya remigrasi yang relatif. Artinya, orang-orang yang berkualifikasi tinggi akan kembali (ke Jerman). Jadi Anda tidak bisa menyebutnya sebagai kehilangan jangka panjang."
Erlinghagen membantah emigrasi warga Jerman yang berpendidikan punya dampak "brain drain", atau larinya tenaga-tenaga berkualitas.
Meskipun tingkat keberangkatan di antara orang Jerman yang berpendidikan tinggi cukup besar, para peneliti mengatakan masih banyak tenaga terdidik yang memenuhi syarat yang bisa berimigrasi ke Jerman dari negara lain.
Saat ini, sekitar 5% warga Jerman tinggal di luar negeri, menempatkan Jerman di peringkat ketiga dalam hal emigrasi di antara negara-negara OECD, setelah Polandia dan Inggris. Jumlah emigran Jerman telah meningkat secara bertahap setiap tahun sejak tahun 1980-an.
Pencari Suaka di Indonesia: Mencari Kebebasan, Malah 'Terpenjara'
Februari 2019 seorang pengungsi asal Afghanistan di Manado tewas bakar diri setelah ditolak untuk masuk ke negara tujuan imigrasi. Bagaimana kehidupan pengungsi dan pencari suaka ini di Indonesia?
Foto: Monique Rijkers
Menanti Nasib
Dari 14 ribu imigran ilegal (pengungsi dan pencari suaka) terdapat 700 anak-anak. Gadis muda ini baru berumur 14 tahun dan sudah mengungsi dari Afghanistan. Saat ini ia tinggal di tenda pengungsi di pinggir jalan di Jakarta Barat.
Foto: Monique Rijkers
Tenda Pinggir Jalan
Hampir seratus orang umumnya asal Afghanistan tidak bisa ditampung dalam rumah detensi di Kalideres, Jakarta Barat sehingga mereka terpaksa tinggal di bawah tenda biru ini di pinggir jalan. Sudah lebih dari satu tahun mereka ada di sini.
Foto: Monique Rijkers
Perempuan dan Anak Menjadi Korban
Imigran ilegal terbagi dalam dua kategori yaitu pengungsi dan pencari suaka. Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap iba pada nasib imigran gelap yang ada di depan rumah detensi yang dipimpinnya, apalagi sebagian besar perempuan dan anak,namun mereka tidak dapat ditampung karena status tidak jelas. Status pengungsi dan pencari suaka ditentukan UNHCR berdasarkan rekam jejak imigran tersebut.
Foto: Monique Rijkers
Rumah Detensi
Di rumah detensi ini hanya ada 51 kamar tetapi jumlah penghuni 1634 orang. Umumnya sudah berada di rumah detensi ini tiga-empat tahun. Rumah detensi berfungsi menampung pelanggaran keimigrasian dan tidak dimaksudkan untuk pemenjaraan. Kebutuhan makan mereka selama tinggal di sini adalah 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan perorang. Biaya ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Kamar Rumah Detensi
Paling tidak seorang penghuni rumah detensi membutuhkan biaya makan selama tinggal di sini sebesar 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan per hari. Total sekitar 1,2 juta rupiah perorang yang ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Mirip “Kos-kosan”
Jam hampir menunjukkan pukul 11 siang namun kamar-kamar masih tertutup rapat dan tidak ada kegiatan. Menjadi imigran gelap memang menyesakkan. Umumnya ingin kebebasan sehingga memilih kabur dari negara mereka tetapi justru berada dalam “penjara” karena pelanggaran keimigrasian. Ibaratnya imigran gelap seperti penghuni kos tanpa kepastian untuk kebebasan.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Rumah Detensi
Pemerintah memiliki 13 rumah detensi yang tersebar di Indonesia. Di Kalideres ini terdapat klinik jika penghuni sakit. Jika harus dibawa ke rumah sakit, sudah ada RS rujukan yakni di RS Pengayoman.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Gigi
Selain klinik untuk penyakit ringan, terdapat klinik gigi di dalam rumah detensi untuk penghuni. Dokter gigi menolak untuk difoto.
Foto: Monique Rijkers
Suplai Air
Untuk memenuhi kebutuhan air penghuni rumah detensi setiap hari didatangkan air bersih sebanyak 8000 liter untuk mandi, cuci dan kakus. Menurut Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap, setiap hari untuk membeli air keluar ongkos 400 ribu rupiah.
Foto: Monique Rijkers
Proses Wawancara Suaka
Bagi pencari suaka yang sudah lolos urusan administrasi maka diseleksi pihak negara ketiga, negara calon penerima pencari suaka. Pekan lalu ada 29 pencari suaka asal Somalia yang ditahan di rumah detensi Medan diterbangkan ke Jakarta untuk proses wawancara oleh satu kedutaan besar di Indonesia. Mereka diinapkan di sebuah hotel di Jakarta Pusat atas biaya Organisasi Pengungsi Internasional (IOM).
Foto: Monique Rijkers
Menunggu Jawaban Suaka
Pria asal Afghanistan ini sudah menghuni kamar hotel di Jakarta Pusat selama 8 bulan. Ia sedang menunggu jawaban penempatan ke negara ketiga jika ia beruntung, ia bisa menjadi imigran legal dan memulai hidup baru di negara baru. Pria ini berkata, “Negara apa saja yang mau menerima saya, saya mau. Saya tidak mau tinggal di negara perang Afghanistan,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lancar.
Foto: Monique Rijkers
Masakan Kampung Halaman
Meski sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, pencari suaka asal Afghanistan ini sedang menyiapkan adonan roti khas negerinya (pita bread). Di hotel yang disewa IOM ini, pengungsi bebas memasak dan keluar dari hotel. Mereka tidak akan melarikan diri karena mereka menunggu ditempatkan ke negara penerima suaka.