1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiEropa

Banyak Warga Inggris Sekarang Menyesal dengan Brexit

30 Desember 2021

Setahun lalu pakta perdagangan baru Inggris dengan Uni Eropa ditandatangani. PM Boris Johnson menjanjikan kepada warga bahwa setelah Brexit perekonomian akan lebih maju dan makin sedikit birokrasi.

PM Inggris Boris Johnson
PM Inggris Boris Johnson menjanjikan ekonomi akan meroket setelah BrexitFoto: Leon Neal/Getty Images

Sejak setahun belakangan perekonomian Inggris mengalami krisis yang belum pernah dialami sebelumnya. Suplai makanan tersendat, banyak industri dan bisnis kekurangan pekerja di bidang-bidang yang biasanya diisi oleh warga asing.

Krisis rantai pasokan yang dialami dunia karena pandemi Covid-19 menghantam Inggris jauh lebih parah daripada negara-negara Uni Eropa (UE). Banyak supermarket yang kehabisan bahan makanan. Bahkan pompa-pompa bensin sempat kosong, karena tidak ada pengemudi truk yang menyuplai bensin.

Sebelumnya, pengemudi truk kebanyakan adalah para pekerja asing dari Eropa timur. Sejak Brexit, mereka tidak bisa atau tidak mau datang lagi ke Inggris. Pemerintahan Boris Johnson akhirnya meminta bantuan militer untuk mengerahkan serdadu menjadi sopir truk, untuk "mencegah warga kelaparan".

Harapan akan ada lebih sedikit birokrasi juga tidak jadi kenyataan. Aturan perdagangan baru antara Inggris dan Uni Eropa yang mulai berlaku 1 Januari lalu mewajibkan pengisian formulir bea cukai 4 halaman untuk semua jenis barang dan sertifikat kesehatan untuk daging dan produk susu. Akibatnya, ekspor Inggris ke UE turun hampir 15% dalam 10 bulan pertama tahun 2021, menurut data badan statistik UE, Eurostat.

Lemari supermarket kosong di London, ketika pasokan barang terganggu karena kekurangan pengemudi trukFoto: Kirsty O'connor/PA/dpa/picture alliance

Brexit atau COVID yang harus disalahkan?

Semua ini terjadi ketika dunia sedang memerangi pandemi corona. Karena itu pejabat pemerintah Inggris bersikeras mengajukan alasan, bahwa situasi saat ini adalah akibat Covid-19, bukan karena Brexit. Tapi kebanyakan pengamat ekonomi tidak setuju.

"Apa yang dapat kami katakan adalah bahwa kerugian besar dalam perdagangan Inggris dengan benua Eropa ... tidak tercermin dalam perdagangan Inggris dengan seluruh dunia," kata Iain Begg, Profesor di London School of Economics kepada DW.

Khususnya perusahaan kecil di Inggris mengeluhkan aturan-aturan yang sangat birokratis pasca Brexit. Simon Spurrell, salah satu pendiri Cheshire Cheese Company, kepada surat kabar Guardian baru-baru ini mengatakan, kesepakatan perdagangan pasca-Brexit antara Inggris dan UE adalah "bencana terbesar yang pernah dinegosiasikan oleh pemerintah mana pun."

Rumitnya aturan yang baru memang membuat banyak pengecer UE berhenti menerima pesanan dari Inggris. "Usaha kecil menderita karena tuntutan dokumen yang berlebihan, berbeda dengan perusahaan raksasa seperti Nissan," kata Iain Begg, mengacu pada pembuat mobil Jepang yang memperbarui komitmennya untuk melanjutkan produksi di Inggris setelah Brexit.

Janji "Global Britain" mengecewakan, banyak yang menyesalkan Brexit

Memang para pendukung Brexit dulu menjanjikan bahwa setelah Inggris keluar dari Uni Eropa, negara itu akan menjadi raksasa ekonomi baru, karena tidak ada hambatan lagi untuk membuat perjanjian perdagangan bebas dengan negfara-negara lain. Para politisi ketika itu menemukan slogan "Global Britain". Tapi sampai sekarang, Inggris baru berhasil memperbarui perjanjian dagang dengan Australia, Selandia Baru dan Jepang.

"Siapa yang peduli?" kata Iain Begg, menunjuk pada ketiga negara yang menurutnya hanya membeli sebagian kecil saja dariproduk  ekspor Inggris. "Bahkan jika kita menggandakan bagian itu, mereka masih kecil." Hingga kini belum ada perjanjian dagang baru dengan Amerika Serikat, sedangkan hubungan dengan Cina memburuk karena penindasan demokrasi di Hong Kong. Bahkan saat ini, Inggris juga terlibat sengketa dagang yang cukup serius dengan Prancis soal kuota perikanan.

Menurut Office of Budget Responsibility (OBR) dalam jangka panjang sampai tahun 2030, Produk Domestik Bruto Inggris akan menjadi 4% lebih rendah dibandingkan jika negara itu tidak keluar dari Uni Eropa alias Brexit.

Menurut jajak pendapat terakhir, 60% warga Inggris sekarang berpikir bahwa Brexit adalah langkah yang "buruk" atau "lebih buruk dari yang diharapkan". Tapi mayoritas percaya bahwa Inggris tidak mungkin lagi kembali ke pangkuan Uni Eropa. "Seluruh kisah Brexit sangat menyakitkan dalam politik domestik Inggris sehingga saya tidak melihat ada keinginan untuk bergabung kembali dalam waktu dekat," pungkas Iain Begg.

(hp/as)

Nik Martin Penulis berita aktual dan berita bisnis, kerap menjadi reporter radio saat bepergian keliling Eropa.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait