Setahun lalu pakta perdagangan baru Inggris dengan Uni Eropa ditandatangani. PM Boris Johnson menjanjikan kepada warga bahwa setelah Brexit perekonomian akan lebih maju dan makin sedikit birokrasi.
Iklan
Sejak setahun belakangan perekonomian Inggris mengalami krisis yang belum pernah dialami sebelumnya. Suplai makanan tersendat, banyak industri dan bisnis kekurangan pekerja di bidang-bidang yang biasanya diisi oleh warga asing.
Krisis rantai pasokan yang dialami dunia karena pandemi Covid-19 menghantam Inggris jauh lebih parah daripada negara-negara Uni Eropa (UE). Banyak supermarket yang kehabisan bahan makanan. Bahkan pompa-pompa bensin sempat kosong, karena tidak ada pengemudi truk yang menyuplai bensin.
Sebelumnya, pengemudi truk kebanyakan adalah para pekerja asing dari Eropa timur. Sejak Brexit, mereka tidak bisa atau tidak mau datang lagi ke Inggris. Pemerintahan Boris Johnson akhirnya meminta bantuan militer untuk mengerahkan serdadu menjadi sopir truk, untuk "mencegah warga kelaparan".
Harapan akan ada lebih sedikit birokrasi juga tidak jadi kenyataan. Aturan perdagangan baru antara Inggris dan Uni Eropa yang mulai berlaku 1 Januari lalu mewajibkan pengisian formulir bea cukai 4 halaman untuk semua jenis barang dan sertifikat kesehatan untuk daging dan produk susu. Akibatnya, ekspor Inggris ke UE turun hampir 15% dalam 10 bulan pertama tahun 2021, menurut data badan statistik UE, Eurostat.
Brexit atau COVID yang harus disalahkan?
Semua ini terjadi ketika dunia sedang memerangi pandemi corona. Karena itu pejabat pemerintah Inggris bersikeras mengajukan alasan, bahwa situasi saat ini adalah akibat Covid-19, bukan karena Brexit. Tapi kebanyakan pengamat ekonomi tidak setuju.
Iklan
"Apa yang dapat kami katakan adalah bahwa kerugian besar dalam perdagangan Inggris dengan benua Eropa ... tidak tercermin dalam perdagangan Inggris dengan seluruh dunia," kata Iain Begg, Profesor di London School of Economics kepada DW.
Khususnya perusahaan kecil di Inggris mengeluhkan aturan-aturan yang sangat birokratis pasca Brexit. Simon Spurrell, salah satu pendiri Cheshire Cheese Company, kepada surat kabar Guardian baru-baru ini mengatakan, kesepakatan perdagangan pasca-Brexit antara Inggris dan UE adalah "bencana terbesar yang pernah dinegosiasikan oleh pemerintah mana pun."
Rumitnya aturan yang baru memang membuat banyak pengecer UE berhenti menerima pesanan dari Inggris. "Usaha kecil menderita karena tuntutan dokumen yang berlebihan, berbeda dengan perusahaan raksasa seperti Nissan," kata Iain Begg, mengacu pada pembuat mobil Jepang yang memperbarui komitmennya untuk melanjutkan produksi di Inggris setelah Brexit.
Brexit: Tarik Ulur Politik Inggris Keluar Dari Uni Eropa
Inggris kejutkan dunia dengan hasil referendum 23 Juni 2016 yang sepakat keluar dari Uni Eropa. Mulailah rentang waktu penuh kisruh, tarik uluk dan adu kekuatan politik di Eropa terkait Brexit.
Foto: picture-alliance/empics/Y. Mok
Juni 2016: Kehendak Rakyat Inggris
Hasil referendum yang diumumkan 24 Juni 2016, hampir 52 persen dari pemilih setuju, Inggris keluar dari Uni Eropa. Perdana Menteri Inggris saat itu, David Cameron dari partai konservatif menerima "kehendak rakyat Inggris, dan mengundurkan diri sehari setelah referendum..
Foto: picture-alliance/dpa/A. Rain
Juli 2016: Brexit berarti Brexit
Mantan Menteri Dalam Negeri, Theresa May gantikan posisi Cameron sebagai Perdana Menteri pada 11 Juli. Ia menjanjikan´Brexit berarti Brexit´. Sebelumnya, May diam-diam dukung kampanye Inggris tetap di Uni Eropa. Dia tidak secara jelas mengatakan kapan akan memulai pembicaraan diberlakukannya Pasal 50 Perjanjian Uni Eropa terkait masa dua tahun sebelum Inggris resmi keluar Uni Eropa.
Foto: Reuters/D. Lipinski
Maret 2017: Kami siap Berpisah
May tandatangani nota diplomatik untuk memulai Pasal 50, 29 Maret. Beberapa jam kemudian, Duta Besar Inggris untuk UE, Tim Barrow serahkan nota itu kepada Presiden Dewan Eropal, Donald Tusk. Inggris dijadwalkan keluar dari Uni Eropa 29 Maret 2019. Tusk merespon nota itu dengan komentar: “Kami sudah siap berpisah. Terima kasih dan selamat tinggal”.
Foto: picture alliance / Photoshot
Juni 2017: Perundingan Dimulai
Menteri Brexit, David Davis dan ketua jururunding UE, Michel Barnier memulai perundingan di Brussel pada 19 Juni. Perundingan pertama diakhiri dengan kesepakatan Inggris akan mematuhi aturan UE terkait sisa negosiasi. Tahap pertama membahas persyaratan keluarnya Inggris dan tahap kedua membahas hubungan UE dan Inggris pasca-Brexit.
Foto: picture alliance/ZUMAPRESS.com/W. Daboski
Juli – Oktober 2017: Uang, Hak-hak dan Irlandia
Tahap kedua perundingan dimulai dengan berfoto bersama tim Inggris yang terlihat tak siap. Perundingan gagal raih kemajuan terkait tiga masalah pasca-Brexit: Berapa banyak yang masih harus dibayar Inggris ke anggaran UE, bagaimana dengan hak warga negara UE dan Inggris dan apakah Inggris tetap dapat membuka perbatasan antara Irlandia dan Irlandia Utara.
Foto: Getty Images/T.Charlier
November 2017: May Tunjukkan Kemajuan?
Kemajuan baru terlihat setelah putaran perundingan ke-6 di awal November. Inggris setuju untuk membayar 57 miliar Euro atau sekitar Rp 900 triliun sebagai “biaya perceraian”. Awalnya May hanya mau membayar 20 juta, padahal UE telah menghitung biayanya sebesar 60 juta Euro. Laporan konsensi Inggris ini memicu kemarahan di kalangan politikus dan media pro-Brexit.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Desember 2017: Maju ke fase ke-2
Para pimpinan dari 27 anggota UE secara resmi menyetujui “kemajuan yang cukup” itu untuk diteruskan ke fase kedua: transisi periode pasca-Brexit dan masa depan hubungan perdagangan UE-Inggris. Perdana Menteri Theresa May mengungkapkan kegembiraannya atas keputusan ini, sebaliknya Presiden Dewan Eropa, Tusk memperingatkan bahwa perindingan putaran kedua akan “sangat sulit.
Foto: picture-alliance/AP Photo/dpa/O. Matthys
September 2018: Tidak ada ceri untuk Inggris
Proposal May tidak berjalan mulus. Pada pertemuan puncak di Salzburg akhir September, para pimpinan UE sampaikan kepada May bahwa proposalnya tidak dapat diterima. Presiden Dewan Eropa,Tusk menyindir May lewat Instagram dengan postingan foto mereka yang sedang melihat sepotong kue: “Sepotong kue barangkali? Maaf, tidak ada ceri”. Ini sindiran bahwa Inggris cuma mau keuntungan sepihak dari Eropa.
Foto: Reuters/P. Nicholls
November 2018: Kemajuan di Brussel
Para pimpinan UE dukung draft kesepakatan perceraian serta deklarasi politis soal hubungan pasca-Brexit setebal 585 halaman. Draft ini dikecam habis anggota parlemen yang pro maupun kontra Brexit dalam perdebatan di Parlemen Inggris beberapa minggu sebelumnya. Menteri Brexit, Dominic Raab bersama dengan beberapa menteri mencoba memicu mosi tidak percaya di bulai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/E. Dunand
Desember 2019: May Lolos Dari Mosi Tidak Percaya
Menghadapi oposisi yang sulit, May menunda pemungutan suara di parlemen pada 10 Desember. Besoknya ia bertemu Kanselir Jerman, Angela Merkel untuk mencari kepercayaan diri dalam meyakinkan para anggota parlemen yang skeptis kembali ke kesepakatan. Sementara ia pergi, anggota parlemen dari Partai Konservatif ajukan mosi tidak percaya. May menang mosi kepercayaan di hari berikutnya.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Januari 2019: Kesepakatan ditolak
Kesepakatan Brexit May, ditolak Parlemen Inggris dengan 432 suara dan hanya 202 suara mendukungnya. Sebagai respon hasil tersebut, Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk sarankan agar Inggris tetap bertahan di Uni Eropa. Partai Buruh Inggris menyerukanmosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri. Ini adalah tantangan berat dalam kepemimpinan kedua May dalam bulan-bulan terakhir.
Foto: Reuters
11 foto1 | 11
Janji "Global Britain" mengecewakan, banyak yang menyesalkan Brexit
Memang para pendukung Brexit dulu menjanjikan bahwa setelah Inggris keluar dari Uni Eropa, negara itu akan menjadi raksasa ekonomi baru, karena tidak ada hambatan lagi untuk membuat perjanjian perdagangan bebas dengan negfara-negara lain. Para politisi ketika itu menemukan slogan "Global Britain". Tapi sampai sekarang, Inggris baru berhasil memperbarui perjanjian dagang dengan Australia, Selandia Baru dan Jepang.
"Siapa yang peduli?" kata Iain Begg, menunjuk pada ketiga negara yang menurutnya hanya membeli sebagian kecil saja dariproduk ekspor Inggris. "Bahkan jika kita menggandakan bagian itu, mereka masih kecil." Hingga kini belum ada perjanjian dagang baru dengan Amerika Serikat, sedangkan hubungan dengan Cina memburuk karena penindasan demokrasi di Hong Kong. Bahkan saat ini, Inggris juga terlibat sengketa dagang yang cukup serius dengan Prancis soal kuota perikanan.
Menurut Office of Budget Responsibility (OBR) dalam jangka panjang sampai tahun 2030, Produk Domestik Bruto Inggris akan menjadi 4% lebih rendah dibandingkan jika negara itu tidak keluar dari Uni Eropa alias Brexit.
Menurut jajak pendapat terakhir, 60% warga Inggris sekarang berpikir bahwa Brexit adalah langkah yang "buruk" atau "lebih buruk dari yang diharapkan". Tapi mayoritas percaya bahwa Inggris tidak mungkin lagi kembali ke pangkuan Uni Eropa. "Seluruh kisah Brexit sangat menyakitkan dalam politik domestik Inggris sehingga saya tidak melihat ada keinginan untuk bergabung kembali dalam waktu dekat," pungkas Iain Begg.