Dalam revisi UU TNI yang baru saja disahkan oleh DPR RI, salah satu poinnya adalah mengatur perpanjangan usia pensiun golongan perwira, terutama untuk perwira menengah (pamen) dan perwira tinggi (pati).
Secara singkat bisa dikatakan, ada penambahan usia pensiun, untuk strata pati akan pensiun pada usia (setidaknya) 60 tahun, bahkan untuk jenderal penuh (bintang empat) masih dimungkinkan untuk pensiun hingga usia 65 tahun.
Beberapa perwira senior Kopassus, terutama yang menjelang pensiun, yang penulis hubungi secara informal, ternyata belum paham sepenuhnya apa argumentasi di balik regulasi memperpanjang usia pensiun perwira.
Para perwira senior ini umumnya menyampaikan pendapat senada, biarlah itu menjadi kebijakan pimpinan TNI sekarang, termasuk pihak Kementerian Pertahanan.
Kurang berminatnya para perwira senior ini membahas isu perpanjangan usia pensiun ini, merupakan indikasi, pola pembinaan karier perwira di TNI, utamanya di matra darat, acapkali berganti, mengikuti kebijakan pemimpin existing.
Di luar regulasi perpanjangan usia pensiun, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto sempat mengajukan wacana skema pengembangan karier melalui ikatan dinas pertama (IDP) dan ikatan dinas lanjut (IDL).
Belum lagi clear konsep IDP dan IDL, Jenderal Agus sudah mengajukan gagasan yang lain lagi, yaitu program percepatan karier perwira, salah satunya adalah posisi Danyon (komandan bataliyon), kelak bisa dijabat seorang pamen (mayor) pada kisaran usia 33-34 tahun, dan pada ujungnya pada usia 43-44 tahun, seorang perwira bisa mencapai pangkat brigadir jenderal (brigjen).
Skenario pensiun dini
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah skema kepangkatan dan jabatan yang dipercepat, merujuk gagasan Jenderal Agus tersebut bisa mengatasi surplus kolonel dan brigjen, yang sudah menjadi masalah klasik.
Solusi instan selama ini untuk mengatasi surplus kolonel adalah melalui penambahan jabatan baru dan validasi kepangkatan, seperti penambahan kodam, validasi pangkat danrem (menjadi pos brigjen), menambah jumlah pos pati SUAD (Staf Umum Angkatan Darat), menambah pos pati di kodam, dan seterusnya.
Namun fenomena surplus kolonel dan brigjen tetap saja berlangsung. Itu bisa terjadi, setidaknya karena dua hal. Pertama, hampir semua kolonel, entah bagaimana caranya, ingin menjadi brigjen, sementara pos untuk brigjen terbatas, artinya tidak dapat mengakomodir semua kolonel yang sedang menunggu dipromosikan.
Kedua, ada persoalan di hulu, yakni jumlah penerimaan taruna Akmil yang tetap pada kisaran 350 taruna, dan praktis tidak pernah turun secara signifikan.
Sebagai salah satu lembaga tertua di republik ini, idealnya TNI sudah memiliki sistem yang mapan dalam pembinaan personel, dengan berbasiskan sistem meritokrasi, agar pembangunan kapabilitasnya bisa berkelanjutan.
Sudah menjadi pengetahuan umum, proses promosi perwira masih berdasarkan endorsement, bukan berdasarkan capaian dari perwira (kolonel) yang sedang masuk dalam antrean, fenomena ini mengindikasikan bahwa meritokrasi dalam promosi perwira tidak berjalan.
Perwira berpangkat kolonel adalah kelompok terdidik, sehingga perlu ada ikhtiar tanpa henti dari pimpinan, agar kompetensi mereka tidak sia-sia. Kita pun kini paham ketika pimpinan TNI membentuk satuan baru dan validasi kepangkatan, tentu dimaksudkan untuk menyalurkan sejumlah kolonel tersebut, meskipun hanya sebagian.
Dalam hitungan normal, umumnya perwira menyandang pangkat kolonel berdurasi lima atau enam tahun. Di atas angka ini, pangkat kolonel dianggap sudah terlampau lama. Skemanya kira-kira sebagai berikut: dalam lima tahun menduduki setidaknya tiga posisi, yakni komandan brigade, asisten kasdam, kemudian ditutup sebagai danrem. Ditambah interval setahun mengikuti Sesko TNI, jadi total sekitar enam tahun.
Membangun kesadaran baru bisa juga dilakukan lembaga pendidikan perwira, sejak masih fase Akmil hingga pendidikan tingkat lanjut, seperti Seskoad/Sesko TNI. Dengan memberikan pemahaman pada perwira, bahwa zaman telah berganti, sehingga peluang menjadi jenderal tidak seluas dulu lagi, sebut saja di masa Orde Baru. Sesuai gagasan Jenderal Agus di atas, dibuka opsi pensiun dini bagi yang ingin mencoba mengembangkan karier di luar institusi TNI.
Anggota TNI yang sudah puluhan tahun berdinas, umumnya sudah bisa memperkirakan, kariernya bisa berkembang, atau hanya begitu-begitu saja. Bagi yang memiliki kompetensi khusus, opsi pensiun dini bisa menjadi solusi, sebagimana biasa terjadi pada perwira penerbang TNI AU, yang setelah 10 tahun berdinas (selepas lulus AAU), mengajukan pensiun dini, untuk bisa berkarya di maskapai penerbangan swasta, termasuk kemungkinan menjadi pilot pribadi seorang taipan.
Dengan semakin minimnya operasi tempur, pengembangan karier di TNI lebih ditekankan pada aspek pendidikan, dalam hal ini Sesko (Sekolah Staf dan Komando) di matra masing-masing.
Bagi perwira matra darat yang tidak sempat mengikuti Seskoad, sampai usia tertentu, kiranya bisa mengambil portofolio lain, semisal mengikuti program S2 terapan dan S3 di perguruan tinggi umum, sebagai persiapan bila ingin mengajukan pensiun dini. Tanpa portofolio Seskoad, karier perwira (utamanya AD) hanya akan berputar-putar saja sampai pensiun dengan pangkat maksimum kolonel.
Dengan gelar master atau (bahkan) doktor, merupakan modal berharga bila mengajukan pensiun dini. Profesi baru yang bisa digeluti antara lain menjadi akademisi, konsultan, atau masuk manajemen korporasi besar.
Bagi yang berlatar belakang kecabangan peralatan, bisa masuk industri otomotif atau sektor energi, kemudian yang berlatar belakang kecabangan CBA (Corps Perbekalan dan Angkutan) bisa masuk pada korporasi sektor logistik, termasuk untuk perwira dari CKU (Corps Keuangan) dan administrasi.
Paradoks Prabowo
Bagi satuan Kopassus, usia 34 tahun menjadi Danyon, atau usia 44 tahun menjadi brigjen adalah hal biasa. Di lingkungan TNI AD sudah umum diketahui, dalam pola pembinaan karier, Kopassus memiliki model tersendiri, dibandingkan satuan lain seperti Kodam dan Kostrad misalnya, yakni relatif cepat dalam mencapai posisi danyon, atau posisi komandan grup. Seperti (Presiden) Prabowo Subianto dulu, saat diangkat sebagai Danjen Kopassus pada akhir tahun 1995, juga masih dalam kisaran usia 44 tahun, mengingat Prabowo kelahiran 1951, tepatnya 17 Oktober 1951.
Bisa jadi Jenderal Agus terinspirasi oleh model pengembangan perwira di Kopassus, saat mengajukan gagasan percepatan karier dan jabatan bagi perwira, mengingat Jenderal Agus sendiri juga berlatar belakang Baret Merah.
Sekadar mengingat kembali, saat Prabowo menjadi Danjen Kopassus (1995-1998), Prabowo pernah mempromosikan (dengan pangkat saat itu) Mayor Inf Doni Monardo (Akmil 1985, almarhum) menjadi salah satu danyon, pada sekitar tahun 1997, berarti hanya 12 tahun setelah Doni lulus Akmil.
Sementara di Kodam atau Kostrad, seorang perwira setidaknya menunggu sekitar 15 tahun (selepas Akmil) untuk menjadi danyon, dan waktu tunggu ini masih berlaku sampai sekarang.
Saat memimpin Kopassus, Prabowo sempat mengajukan gagasan, agar Kopassus bisa menyelenggarakan pendidikan Secaba (sekolah calon bintara) secara mandiri, khusus untuk tamtama yang berasal dari Kopassus.
Namun gagasan Prabowo ini tidak sempat terlaksana, karena Prabowo keburu meninggalkan Kopassus, dan juga TNI, pada tahun 1998. Namun yang ingin saya katakan adalah, Prabowo adalah tipe pimpinan yang kaya gagasan, dan tidak pusing soal anggaran pendukung, karena Prabowo sudah acapkali membiayai dari kantong pribadi untuk pengembangan satuan yang dipimpinnya.
Namun yang kini terjadi adalah paradoks, ketika Prabowo seolah memberikan privilege pada Letkol Inf Teddy Indra Wijaya (TIW), seorang pamen yang dikenal sangat dekat dengan Prabowo, baik selaku presiden maupun pribadi. Sedekat-dekatnya dengan TIW, idealnya TIW dilepas sebentar, untuk mengikuti pendidikan Seskoad, bila perlu dilanjutkan dengan Sesko TNI kelak.
Dalam pola karier perwira TNI AD, portofolio Seskoad sangat menentukan. Seskoad merupakan proses pendidikan untuk meningkatkan kompetensi seorang perwira. Itu sebabnya dalam tradisi militer Indonesia, bagi perwira yang tidak pernah mengikuti Seskoad, umumnya pensiun dengan pangkat kolonel. Seorang perwira lulusan Seskoad saja, belum ada jaminan bakal masuk strata pati, terlebih bagi yang belum pernah mengikuti Seskoad.
Benar, Seskoad memang sekolah untuk "calon jenderal”. Lebih sempurna lagi bila kemudian dilanjutkan dengan mengkuti Sesko TNI. Letkol Teddy termasuk pamen yang belum pernah mengikuti Seskoad, kendati kariernya terkesan lancar.
Presiden Prabowo selaku patron, sebaiknya memberi kesempatan pada TIW untuk cuti panjang, agar bisa mengikuti Seskoad. Dengan modalitas portofolio Seskoad, kiranya karir TIW tetap bisa berjalan normal, bila suatu waktu kembali lagi berdinas di lingkungan TNI. Lain cerita bila TIW kemudian memilih opsi pensiun dini, dan ini sangat direkomendasikan.
TIW bisa belajar dari pengalaman dua perwira (tinggi) yang dikenal dekat dengan kekuasaan, namun ketika patronnya surut, karier keduanya juga ikut sirna. Pertama adalah Letjen Ediwan Prabowo (lulusan terbaik Akmil 1984, jabatan terakhir Sekjen Kemenhan), yang dikenal sangat dekat dengan Presiden SBY (2004-2014). Setelah SBY lengser, karier Ediwan ikut berakhir, dengan "sekadar” menjadi perwira tinggi non-job selama tiga tahun (2016-2019), menjelang dia pensiun, sungguh kesia-siaan atas SDM yang berkualitas.
Nama berikutnya adalah Letjen TNI Widi Prasetijono (Akmil 1993, terakhir Komandan Kodiklatad, sempat Danjen Kopassus), yang dikenal sangat dekat dengan Presiden Joko Widodo. Selepas diangkat sebagai ADC (ajudan) Presiden Jokowi, karier Widi melesat.
Jelas sekali Widi mendapat endorsement dari Jokowi, tanpa dukungan Jokowi, bisa jadi publik hari ini belum mengenal nama Widi. Ibarat bunyi pepatah, dari tiada kembali ke tiada, kira-kira begitulah gambaran karier Widi. Selepas Presiden Joko Widodo lengser, karier Widi seolah juga ikut tenggelam.
Fenomena Ediwan dan Widi tersebut telah menunjukkan betapa pentingnya dukungan politik dalam karier perwira. Kiranya TIW bersedia belajar, karena yang dialami TIW hari ini sejatinya adalah fatamorgana.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial. Terima kasih