Pemilu Suriah mendatang dikritik sebagai "lelucon teatrikal". Meskipun masih ada beberapa kandidat selain Assad, PBB menyatakan tidak melihat tanda-tanda akan berlangsung pemilihan umum yang bebas dan adil.
Iklan
Setelah Ketua Parlemen Suriah awal minggu ini mengumumkan bahwa pemilu akan dilangsungkan pada 26 Mei tahun ini, tiga orang sudah mengumumkan diri sebagai kandidat, termasuk Presiden Bashar al-Assad.
Kandidat yang ingin maju harus memenuhi kriteria tertentu sebelum dapat mengajukan pencalonannya ke Mahkamah Agung Suriah. Mereka perlu dukungan dari 35 anggota parlemen. Kandidat juga harus tinggal terus menerus di Suriah selama 10 tahun terakhir, tidak termasuk tokoh oposisi di pengasingan, dan harus menikah dengan seorang warga negara Suriah. Persyaratan ini berat bagi calon lain, mengingat parlemen didominasi oleh Partai Baath pimpinan Bashar al-Assad.
Sebelumnya memang sudah diduga, bahwa Bashar Assad akan mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan keempat dan akan tetap berada di puncak kekuasaan untuk tahun ke depan. Dalam pemilu terakhir pada 2014, dia memenangkan hampir 90% suara. Saat itu, dia memiliki dua pesaing.
Banyak warga Suriah tidak bisa ikut pemilu
Tidak semua orang akan diizinkan memilih, atau memenuhi persyaratan sebagai pemilih. Suriah saat ini menjadi rumah bagi jumlah pengungsi terbesar di dunia, dengan jutaan pengungsi domestik di provinsi barat laut Idlib dan di daerah-daerah di timur yang berada di luar kendali pemerintah. Mayoritas Kurdi di Suriah utara juga tidak punya hak pilih.
Iklan
Pengamat internasional meragukan pemungutan suara bulan Mei nanti akan bisa terlaksana sesuai tuntutan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan pemilihan bebas dan adil.
"Pemilu yang telah diumumkan di bawah naungan konstitusi saat ini bukan bagian dari proses politik seperti yang ditetapkan Resolusi Dewan Keamanan 2254. PBB sama sekali tidak terlibat dalam pemilu ini dan tidak memiliki mandat untuk itu," kata Jenifer Fenton, juru bicara utusan khusus PBB untuk Suriah kepada DW.
'Lelucon' terbaru penguasa
Pemungutan suara bulan Mei akan berlangsung di tengah krisis keuangan Suriah, yang diperburuk oleh sanksi internasional dan pandemi. Sekretaris Jenderal Koalisi Nasional Pasukan Revolusioner dan Oposisi Suriah, Naser al-Hariri, mengecam pemilu mendatang itu sebagai "lelucon".
"Saya tidak melihat sedikit pun harapan untuk sesuatu yang baik," kata Anna Fleischer, koordinator program dari yayasan politik Heinrich Böll Foundation kepada DW. Dia mengatakan pemilihan ini hanya berfungsi untuk melegitimasi rezim Assad dan memperkuat posisinya. "Untuk penduduk Suriah, tidak akan ada perbedaan."
Etnis Kurdi di Suriah, Antara Harapan dan Ketakutan
Jurnalis foto Karlos Zurutuza mengunjungi wilayah perbatasan utara Suriah setelah invasi Turki. Di sana, ia bertemu sejumlah keluarga yang mengungsi dan para lelaki kesepian yang tetap tinggal di desa-desa.
Foto: Karlos Zurutuza
Dalam pengungsian
Menurut informasi PBB, hampir 200.000 orang telah mengungsi di wilayah itu sejak awal invasi Turki. Menurut laporan, banyak orang Kurdi berusaha mencari tempat berlindung di daerah pemukiman Kurdi di Irak. Namun hanya mereka yang memiliki izin tinggal di Irak lah yang diperbolehkan melintasi perbatasan.
Foto: Karlos Zurutuza
Para lelaki tinggal di desa
Kini banyak desa di timur laut Suriah yang telah ditinggalkan. Perempuan dan anak-anak melarikan diri dari daerah perbatasan ke pedalaman, seperti ke ibu kota provinsi Al-Hasakah. "Tetapi kondisi di Al-Hasakah semakin memburuk karena begitu banyak pengungsi yang datang. Jadi kami putuskan untuk tinggal," ujar Suna, seorang ibu dari tiga anak, kepada DW.
Foto: Karlos Zurutuza
Kehidupan mulai meredup
Bazar yang pernah semarak di kota Amude, Suriah, kini jadi tempat yang suram. Hanya ada beberapa orang yang berkunjung. Sejak awal serangan Turki, banyak pebisnis menutup toko mereka. Saat hari menjelang gelap, suara ledakan granat dari sisi lain perbatasan mulai terdengar. Siapa pun yang memutuskan tinggal di kota, nyaris tidak berani meninggalkan rumah pada sore dan malam hari.
Foto: Karlos Zurutuza
Dia kembali lagi
Patung mantan penguasa Hafiz al-Assad kembali menyapa di jalan masuk kota Kamischli yang merupakan kota paling penting di timur laut Suriah. Hubungan antara pemerintahan Kurdi dan rezim Presiden Bashar al-Assad di wilayah tersebut menegang sejak awal perang saudara di Suriah tahun 2011.
Foto: Karlos Zurutuza
Ketidakpastian masih membayang
Etnis Kurdi di Suriah merasa dikhianati Presiden AS Donald Trump yang telah memerintahkan penarikan pasukan AS. "Kami tahu apa yang dilakukan Trump kepada kami, namun kami masih tidak tahu apa-apa terkait niatan Putin," ujar Massud, seorang pelanggan di salon rambut ini. AS telah meyakinkan Turki bahwa gencatan senjata di utara Suriah adalah langkah yang tepat.
Foto: Karlos Zurutuza
"Saya sebaiknya tidak berkomentar apa-apa"
Bertahun-tahun di bawah tekanan pemerintahan Bashar al-Assad dan ayahnya, banyak orang di kota Derik, Suriah, menolak mengatakan pendapat mereka tentang pengaruh kebangkitan pemerintah Suriah di wilayah tersebut. "Seluruh negeri pada saat itu diawasi oleh intelijen. Ini mungkin akan segera terjadi, jadi tidak ada yang akan berbicara apa pun tentang hal itu," ujar seseorang yang diwawancarai.
Foto: Karlos Zurutuza
Lima peti mati, lima takdir
Di mana-mana di timur laut Suriah, orang-orang harus mengurusi mayat-mayat yang setiap hari menjadi korban serangan. Serangan udara Turki menghantam sasaran militer dan warga sipil. Rumah sakit seperti yang terletak di Derik, tempat para korban terluka dirawat, kini telah dievakuasi untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak.
Foto: Karlos Zurutuza
Ribuan jiwa jadi korban
Etnis Kurdi di Suriah mengklaim telah ada sekitar 11.000 korban dalam perang melawan milisi teroris ISIS. Meski ISIS tidak lagi mengendalikan sebagian besar wilayah ini, korban tewas tetap berjatuhan. Puluhan warga sipil dan ratusan milisi dilaporkan tewas setelah Turki melancarkan serangan di timur laut Suriah.
Foto: Karlos Zurutuza
Ditinggalkan sendiri
Setelah perang saudara di Suriah pecah tahun 2011, etnis Kurdi di Suriah memilih untuk tidak memihak kepada kedua pihak - tidak memihak pemerintah, maupun oposisi. Dengan penarikan pasukan AS, mereka dibiarkan sendirian, tanpa ada dukungan apa pun. (ae/na)
Foto: Karlos Zurutuza
9 foto1 | 9
Menurut data PBB yang terbaru, di Suriah saat ini ada 13,4 juta orang - dua pertiga dari penduduknya - yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Meskipun Suriah berada di ambang kehancuran finansial, kemenangan Bashar al- Assad dalam pemilu akan berfungsi sebagai pendorong moral. "Pemilihannya kembali akan memperkuat kemenangan militernya, sejauh menyangkut rezim ini," kata Anna Fleischer.