Dengan menggunakan bahan pewarnaan alami, produsen batik Betawi berjuang melestarikan budaya dan lingkungan mereka. Rumitnya proses membatik dengan pewarna alami menjadi tantangan dari mahalnya harga batik di pasaran.
Iklan
Tak berbeda dari wilayah lain di Indonesia, Jakarta juga memiliki identitas kekayaan wastranya melalui batik Betawi. Sempat populer di kalangan masyarakat pada abad 19, eksistensi batik Betawi mulai hilang bahkan di Jakarta sendiri. Di tengah perkembangan zaman dan dorongan pada produksi batik yang ramah lingkungan, batik Betawi kini mulai mengembangkan eksistensinya kembali dengan proses produksi yang lebih ramah lingkungan.
Sempat hilang, dan kini lestari
Berdasarkan catatan sejarah, batik Betawi mulai dikenal sejak era kolonial. Namun, eksistensi batik Betawi sendiri sempat padam. Jakarta sempat mengalami krisis perajin batik, namun dalam 6 tahun terakhir, produksi batik Betawi terus digeliatkan oleh sejumlah kalangan untuk menjadikannya kembali populer di tanah asalnya.
"Perajin di Jakarta sempat mati, tidak ada yang membuat, sehingga perkembangan batik Betawi sempat mati, karena perajinnya tidak ada,” ungkap Lily Mariasari, seorang pengusaha batik Betawi.
Melihat Pembuatan Batik Kain Besurek, Warisan Budaya Bengkulu
Kain besurek, karya budaya dari Provinsi Bengkulu ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 2015. Corak kaligrafi sangat kental di batik besurek dan menjadi penanda akulturasi budaya lokal dan Arab.
Foto: B. Herlina/DW
Industri rumahan di Kampung Batik Betungan
Di Kampung Batik Betungan, Bengkulu, sekitar 101 ibu rumah tangga menjadi pengrajin batik tulis yang masih konsisten melestarikan batik tulis besurek. Mereka setiap hari bergantian membatik di ruangan berukuran 6x3 meter, di sebelah kantor Lurah Betungan. Shif pertama membatik mulai pukul 09.30 WIB hingga 12.00 WIB. Sedangkan shif kedua mulai pukul 12.30 hingga 16.00 WIB.
Foto: B. Herlina/DW
Kental pengaruh budaya Islam
Budaya Islam terlihat dari corak di batik kain besurek. Awalnya kain besurek hanya bermotif arab huruf kaligrafi, serta menghindari motif-motif yang bernyawa seperti tumbuhan dan hewan. Namun perubahan pun terjadi. Kain besurek mulai menggunakan motif burung kuau yang disamarkan. Serta menggunakan motif bunga Rafflesia, seiring ditetapkannya bunga Rafflesia sebagai ikon Bengkulu.
Foto: B. Herlina/DW
Pembatik mahir di Bengkulu kian jarang
Perlu kehati-hatian dalam proses melilin agar motif yang sudah digambar di atas kain katun sepanjang 2,4 meter terlihat sempurna dan halus. Kini, sumber daya manusia yang mahir membatik di Bengkulu bisa dikatakan sangat jarang. Untuk beberapa batik tulis yang tingkat pengerjaannya sangat rumit dengan proses pewarnaan berulang-ulang, perlu bantuan dari pengrajin batik di Jawa Tengah.
Foto: B. Herlina/DW
Pemberian warna dasar batik
Proses pemberian warna dasar untuk kain batik besurek oleh pengrajin ibu rumah tangga dari Kampung Batik Betungan. Setiap bulan, kelompok pengrajin di sini bisa memproduksi hingga 20 lembar kain batik besurek tulis dengan ukuran 2,4 meter per lembarnya. Jika dikalkulasikan uang yang dihasilkan per bulan ada di kisaran Rp7 juta.
Foto: B. Herlina/DW
Tidak bisa berproduksi massal
Evrien Mega dari Kelompok pengrajin Kampung Batik Betungan menunjukan hasil karya batik tulis industri rumahan rumahan yang sudah ia rintis. Menurutnya, proses pembuatan batik besurek tidak bisa cepat dan terburu-buru. "Bisa memakan waktu hingga satu minggu untuk menyelesaikan satu lembar kain batik besurek," ujar Mega.
Foto: B. Herlina/DW
Pembeli sepi, karyawan terpaksa dirumahkan
Sepinya pembeli batik kain besurek tulis membuat Dony Roesmandani harus merumahkan hampir seluruh karyawannya. Tak ada pilihan lain, ia harus turun tangan mengerjakan setiap tahapan proses pembuatan batik, termasuk menganginkannya. Karyawannya hanya tersisa 2 orang, untuk menghemat ongkos kerja proses membatik dilakukan di rumah masing-masing.
Foto: B. Herlina/DW
Produksi di Jawa agar biayanya lebih murah
Sementara Atika Sumarwani lebih memilik membuka pusat produksi batik kain besurek di Solo, Jawa Tengah, agar hemat biaya produksi. Atika mempekerjakan 60 pengrajin batik untuk memproduksi batik cap dan batik tulis bagi merek usahanya, Atik Opet. Sebagai pengrajin sekaligus penjual, Atik harus menekan biaya produksi agar bisa menjual batik kain besurek lebih murah.
Foto: B. Herlina/DW
Upaya popularkan batik besurek di masyarakat
Beragam motif dan jenis warna batik besurek yang dijual di toko Atik Opet. Batik kain besurek kini tidak lagi hanya dipakai oleh kaum bangsawan atau hanya tampil dalam acara tertentu. Saat ini batik besurek sudah lebih memasyarakat dan dipakai untuk seragam sekolah dan kantor. (ae)
Foto: B. Herlina/DW
8 foto1 | 8
Namun seiring berjalannya waktu, kesadaran untuk menghidupkan batik Betawi di Jakarta kembali muncul. "ini batik dari kota kita, yang mengembangkan kita, yang menggunakan kita, kenapa tidak dikembangkan perajinnya juga dari kita di Jakarta,” papar Lily kepada DW Indonesia.
Dengan memanfaatkan komunitas Ibu yang bermukim di rusun-rusun yang ada di Jakarta, batik Betawi secara perlahan mulai diproduksi di tanah kelahirannya sendiri. Sebelumnya, sebagian besar perajin batik Betawi berada di luar Jakarta, hal ini juga yang membuat batik Betawi mendapat julukan satir ‘merantau ke kampungnya sendiri.'
Batik Betawi memang memiliki ciri khas tersendiri dibanding batik dari daerah lain. Salah satu keunikan yang ada terdapat pada warnanya yang mencolok. "Batik-batik yang ada di Jakarta itu warna-warni, Jakarta itu ada beberapa wilayah, setiap wilayah memiliki warnanya masing-masing, itu yang membedakan,” jelas Lily.
Begitu juga dengan motifnya. Motif batik Betawi erat kaitannya dengan kesenian budaya masyarakat Betawi yang dipengaruhi oleh budaya Arab, India, Belanda, dan Cina. Motif seperti Nusa kelapa, Ciliwung, Rasmala, hingga Ondel-ondel menjadi ciri khas dari batik-batik Betawi. Salah satu batik Betawi yang paling populer juga dikenal sebagai ‘batik encim', yang menjadi akulturasi budaya antara warga Betawi dan Cina peranakan.
Iklan
Memilih produksi ramah lingkungan
Produksi batik sebagai bagian dari industri fesyen dan tekstil memiliki persoalannya tersendiri, salah satunya isu kerusakan alam. Data dari MacArthur Foundation pada 2017 menyebut Industri tekstil menghasilkan emisi gas rumah kaca sampai 1,2 miliar ton per tahun.
Di sisi lain isu limbah hasil produksi batik juga menjadi ancaman tersendiri. Hal ini juga yang menjadi perhatian dari produsen batik Betawi di Jakarta. Salah satu upayanya adalah dengan memilih opsi pewarnaan batik yang ramah lingkungan dengan menggunakan pewarna alami.
"Di batik itu sendiri kan ada namanya pewarnaan. Dari warna-warna itu kita gunakan warna-warna alami. Dari mana itu? Ada pohon-pohon atau kulit pohon yang sudah tidak terpakai kita bisa olah menjadi warna dasar misalnya cokelat. Misalnya ada buah-buah yang jatuh dari pohon dapat kita kembangkan menjadi warna-warna. Yang dapat kita padukan di kain,” jelas Lily.
Menggunakan perwarna alami dalam pembuatan kain batik bukanlah hal yang mudah. Namun pilihan ini dipilih untuk mengurangi limbah dari produksi batik. Lily mengungkapkan, "Pewarna sintetis kan dihasilkan dari material yang kurang ramah pada lingkungan. Jadi batik itu mulai mencanting, melorot, sampai mewarnai itu ada ampasnya ya, dalam hal ini limbah. Limbahnya kalo kita pakai limbah sintetis, dia serapannya ke lingkungan sekitar jadi pencemaran.”
Memilih menggunakan perwarna alami dalam pengerjaan batik Betawi berimplikasi pada lama dan rumitnya proses pengerjaan. "Pekerjaannya agak lama dan memakan waktu. Untuk menghasilkan bahan satu liter pewarna aja kita butuh berkarung-karung daun. Satu kali kita ngewarnain ke bahan itu belum selesai. Untuk membuat pewarnaanya saja memakan waktu satu sampai dua bulan, lama sekali,” papar Lilis Rosmawati, perajin batik sekaligus Ketua Batik Betawi Tambora.
Perempuan-perempuan Yogyakarta ini Ciptakan Produk Fesyen dari Limbah Tahu
Siapa di antara Anda yang suka tahu atau tofu? Makanan ini banyak disukai, tapi, limbah dari tahu produksi bisa mencemari air. Agar tak cemari lingkungan, perempuan-perempuan di Yogyakarta ubah limbah tahu jadi fesyen.
Foto: XXLAB BIO/SOYA C(O)U(L)TURE
Proyek SOYA C(O)U(L)TURE
SOYA C (O) U (L) TURE adalah sebuah proyek yang diprakarsai oleh XXLAB, inisiatif perempuan yang mengembangkan teknologi open source dan bermarkas di Yogyakarta, Indonesia. Dengan proyek ini, mereka ingin mengurangi pencemaran air dan mengganti bahan-bahan fesyen yang biasanya berasal dari kulit binatang dengan kain yang unik terbuat dari limbah tahu.
Foto: XXLAB BIO/SOYA C(O)U(L)TURE
Merancang 'haute couture'
Salah satu proyek XXLAB adalah SOYA C (O) U (L) TURE. Inisiatif ini menggunakan metode digital dan biologis untuk merancang gaun, bahan kerajinan dan bentuk lain dari 'haute couture' dari proses produksi limbah tahu. Dalam foto ini, Anda bisa lihat bagaimana hasilnya. Tak disangka bukan? Dari limbah buangan bisa jadi busana seperti ini.
Foto: XXLAB BIO/SOYA C(O)U(L)TURE
Berawal dari tahu
Tahu dari kacang kedelai merupakan salah satu makanan favorit orang Indonesia. Ini sehat, karena mengandung banyak protein dan diproduksi dengan menggunakan proses biologis. Di Indonesia, produksi tahu mudah ditemukan, mulai dari industri rumahan sampai pabrik skala besar. Tapi terkadang, proses produksi ini menghasilkan limbah cair yang mencemari dan meracuni air dan sungai.
Foto: AP
Bagaimana prosesnya?
XXLAB mengambil tahu limbah cair produksi tahu dari pabrik pembuat tahu. Mereka mendidihkan limbah cair itu dengan cuka, gula dan pupuk urea. Setelah itu, mereka menambahkan bakteri dan menunggu selama sepuluh hari sampai campuran menjadi selulosa mikroba. Langkah selanjutnya adalah menekan-nekan bahan itu guna mengurangi kandungan air. Setelah itu dibiarkan menjadi kering.
Foto: XXLAB BIO/SOYA C(O)U(L)TURE
Unik, jadi barang komersil
Hasilnya adalah kain-kainan atau bahan fesyen. Semua peralatan dan bahan yang diperlukan untuk memproduksi barang ini pun ongkosnya murah. Dari bahan material ini, mereka tidak hanya memproduksi pakaian tapi juga dompet, sepatu dan tas.
Foto: XXLAB BIO/SOYA C(O)U(L)TURE
Lakukanlah sendiri
Metode pembuatan kain ini adalah salah satu contoh metode DIY (Do It Yourself) dan DIWO (Do It with Others), dengan menggunakan benda sehari-hari. Artinya, setiap orang bisa mencoba melakukannya sendiri di rumah. Proyek ini juga bisa menjadi alternatif bagi praktik ekonomi berkelanjutan untuk menciptakan sumber pendapatan atau untuk meningkatkan pendapatan perempuan di daerah miskin.
Foto: XXLAB BIO/SOYA C(O)U(L)TURE
Pemenang penghargaan
XXLAB didirikan pada tahun 2013. Penggagasnya adalah Irene Agrivina Widyaningrum, Ratna Djuwita, Eka Jayani Ayuningtias, Asa Rahmana dan Atinna Rizqiana. XXLAB tumbuh sebagai usaha kolektif perempuan dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang untuk mengeksplorasi seni, sains dan teknologi dan menggabungkan terapannya.
Foto: XXLAB BIO/SOYA C(O)U(L)TURE
Memerangi polusi dan kemiskinan
Dengan semua proyek mereka, XXLAB mencoba untuk mengeksplorasi solusi kreatif untuk hubungan yang sebelumnya tidak begitu banyak diteliti antara pengelolaan limbah, kekurangan pangan dan bahan bakar atau ketidakamanan, dan pengurangan kemiskinan. Sekali tepuk, bisa mengurangi pencemaran sekaligus memerangi kemiskinan. (Ed: Ayu Purwaningsih/vlz) Foto: XXLAB (SOYA C (O) U (L) TURE))
Foto: XXLAB BIO/SOYA C(O)U(L)TURE
8 foto1 | 8
Kepada DW Indonesia, Lilis menjelaskan rumitnya proses pewarnaan alami membuat harga batik menjadi lebih mahal. "Di masa pandemi saat ini, untuk peminat ke bahan alam itu berkurang. Ada orang-orang tertentu yang mengerti batik yang mau membeli. Karena untuk saat sekarang, jangankan beli yang mahal ya, yang murah pun agak sulit. Jadi di marketnya pun kita agak susah,” ungkapnya.
Tren yang akan berkembang
Pemilihan bahan-bahan dan proses dalam produksi produk fesyen menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini tidak lepas dari meningkatnya kesadaran masyarakat global pada isu kerusakan lingkungan. Data dari US Cotton Trust menunjukan 54% pemimpin perusahaan jenama garmen dan tekstil melihat peningkatan kebutuhan konsumen pada produk yang lebih ramah lingkungan.
Sejumlah analisis menilai murahnya harga yang ditawarkan produk-produk fesyen konvensional adalah harga kompensasi dari kerusakan alam yang akan terjadi. Sehingga harga pada produk-produk fesyen yang lebih ramah lingkungan adalah sebuah keniscayaan dan dinilai sebagai harga yang pantas.
Sebagai negara berkembang, tren produk fesyen yang mengusung isu lingkungan dipercaya akan terus tumbuh. Pengamat Sosial dan Budaya dari Universitas Indonesia, Devie Rachmawati menilai peluang itu. "Karakter sosial masyarakat kita yang menjadi sangat kuat penerimaannya terhadap digital, itu membuat masyarakat kita sangat mudah terpapar oleh tren-tren baru, termasuk penggunaan penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan,” ungkap Devie kepada DW Indonesia.
Ia menambahkan, kemudahan bagi masyarakat dalam menerima tren-tren baru ini harus didorong dan diwujudkan dengan perubahan perilaku konsumsi, "Itu bisa dipastikan ketika suplainya ada.” Devie menambahkan "Ketika masyarakatnya sudah ingin, tapi ternyata suplainya tidak ada, artinya suplainya sedikit, sehingga harganya menjadi mahal, ini yang menjadi tantangannya.”