1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bayangan Dinasti Politik Hantui Indonesia dan Asia Tenggara

6 Juni 2025

Dinasti politik makin menguat di Asia Tenggara. Keturunan para eks penguasa memimpin di hampir setengah wilayah di Asia Tenggara.

KTT di Kuala Lumpur, Malaysia
Setengah dari negara-negara ASEAN dipimpin oleh anak-anak dari mantan pemimpinFoto: Hasnoor Hussain/REUTERS

Brunei tetap menjadi salah satu negara monarki absolut terakhir di dunia. Di Filipina, Presiden Ferdinand Marcos Jr., putra dan nama yang sama dengan mantan diktator negara itu, menguasai istana kepresidenan. Pada saat yang sama, Wakil Presiden Sara Duterte, putri mantan Presiden Rodrigo Duterte, menjabat sebagai orang kedua. 

Jabatan perdana menteri Kamboja berpindah dari Hun Sen ke putranya Hun Manet pada pertengahan 2023, mengakhiri masa jabatan Hun Sen selama 38 tahun. Di Thailand, Paetongtarn Shinawatra, putri dari mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, mengambil alih kekuasaan pada bulan Agustus tahun 2024, memperkuat pengaruh keluarga Shinawatra yang telah berlangsung lama.

Kepala pemerintahan Laos saat ini, Sonexay Siphandone, adalah putra Khamtay Siphandone, seorang tokoh terkemuka dalam politik Laos di tahun 1990-an.

Di Indonesia, Presiden Prabowo Subianto, yang pernah menjadi menantu mantan diktator Suharto, mulai menjabat tahun 2024, bersama dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden ke-7 dan ke-8 Indonesia Joko Widodo.

Sementara, pergantian kepemimpinan di Singapura baru-baru ini menjadikan Lawrence Wong sebagai perdana menteri, tapi pemerintahannya telah lama didominasi oleh warisan keluarga Lee Kuan Yew.

Gibran Bacawapres Prabowo Bukti Dinasti Politik Menguat?

02:35

This browser does not support the video element.

Kata pakar soal dinasti politik di Indonesia

Berdasarkan tulisan seorang pakar politik dan demokrasi UGM, Arga Pribadi Imawan, isu dinasti politik di Indonesia makin terlihat dari komposisi anggota DPR terpilih periode 2024-2029. Wakil rakyat yang duduk di DPR saat ini disinyalir memiliki hubungan kekerabatan dan kekeluargaan dengan penguasa.

"Saya kira ini salah satu konsekuensi dari anggota partai politik yang berasal dari elitis, atau orang-orang di lingkaran kekuasaan,” kata Arga dikutip dari laman resmi situs UGM.

Arga menilai tren fenomena dinasti politik di ranah legislatif ini akan terus berlanjut dan menyebabkan eksklusifitas di lingkup politik. Menurutnya, di Indonesia dinasti politik ini justru akan melemahkan demokrasi dan berpotensi meningkatkan kolusi dan nepotisme.

Belum lagi, jika membahas soal konflik kepentingan dalam pencalonan Wakil Presiden Indonesia yang menjabat saat ini, Gibran Rakabuming Raka. Berdasarkan laporan dari Tempo, Sejumlah ahli hukum menduga ada campur tangan eks Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan Paman dari Gibran, terkait putusan MK soal ambang batas usia pencalonan Pilpres.

Semula, batas usia capres dan cawapres yang diatur dalam undang-undang berusia paling rendah 40 tahun. MK mengubah aturan tersebut dan menggantinya menjadi "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”.

Sebelum ada putusan MK tersebut, Gibran tidak dapat mencalonkan diri sebagai Cawapres, lantaran usianya belum memenuhi persyaratan. Namun dengan adanya aturan baru soal pengalaman politik menjadi kepala daerah, dan Gibran sempat terpilih menjadi Wali Kota Solo, dia berhak melanggeng mengikuti kontestasi pilpres 2024.

Kekhawatiran di Malaysia

Kini, koalisi Malaysia yang rapuh juga menghadapi tuduhan adanya dinasti yang mulai berkuasa. Pekan lalu, putri Perdana Menteri Anwar Ibrahim, Nurul Izzah Anwar, terpilih sebagai wakil presiden Partai Keadilan Rakyat (People's Justice Party/PKR) yang tengah berkuasa. Sementara istrinya, Wan Azizah Wan Ismail, memimpin koalisi yang berkuasa, Partai Pakatan Harapan.

Kemenangan Nurul terhadap rivalnya, Menteri Ekonomi Rafizi Ramli, yang secara luas dianggap sebagai intelektual reformis partai, mendorong Rafizi dan Menteri Lingkungan Hidup Nik Nazmi Nik Ahmad untuk mengundurkan diri dari Kabinet.

"Putri Anwar memiliki kredensial reformisnya sendiri, tetapi persoalan nepotisme melemahkan perannya sebagai penerus dan mengurangi kredibilitas pemerintahan Anwar. Tidak mengherankan jika hal ini muncul dari sudut pandang oposisi,” ujar Bridget Welsh, seorang rekan peneliti kehormatan di Asia Research Institute Malaysia, Universitas Nottingham, kepada DW.

"Sebagai sebuah partai, PKR telah menjadi lebih terpusat di sekitar keluarga Anwar dan hal ini melemahkan partai tersebut dalam jangka panjang dalam hal jangkauan dan keragaman perwakilan,” tambahnya.

Pengaruh dinasti meluas di luar partai-partai yang berkuasa. Di Myanmar, Aung San Suu Kyi, putri pendiri negara itu, telah menjadi tokoh sentral dalam gerakan prodemokrasi dan menjabat sebagai perdana menteri de facto hingga digulingkan oleh militer pada tahun 2021.

"Saya kira tidak akan ada pengurangan kekuasaan mereka dalam waktu dekat,” ujar Joshua Kurlantzick, seoang peneliti senior bidang Asia Tenggara di Dewan Hubungan Luar Negeri, kepada DW.

"Negara-negara di mana mereka paling menonjol semuanya masih melanjutkan dinasti politik yang memainkan peran utama, dan ada perang dinasti yang membayangi di Filipina,” tambahnya.

Pertikaian di Manila

Pemilihan umum paruh waktu Filipina pada Mei 2025 lalu menggarisbawahi persaingan. Mantan sekutu, klan Marcos dan Duterte saling berhadapan setelah runtuhnya persekutuan mereka akibat perbedaan kebijakan dan pribadi.

Pada bulan Februari 2025, Sara Duterte dimakzulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan penyalahgunaan dana pemerintah. Dia akan menjalani sidang Senat Juni 2025, kemungkinan dapat membuatnya tidak dapat menjabat lagi.

Jika dia menang, kontes presiden 2029 kemungkinan akan mempertemukannya dengan Martin Romualdez, sepupu Presiden Marcos Jr., yang merupakan ketua DPR aktif saat ini.

"Bahkan jika dia dihukum, hal itu tidak akan menghentikan kegigihan dinasti dalam politik Filipina, tetapi akan menjadi pukulan telak bagi dinasti Duterte,” ujar Aries A. Arugay, seorang peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute, kepada DW.

"Ini berarti dia tidak akan dapat melindungi kepentingan dinastinya dan membuatnya rentan terhadap lebih banyak tuduhan atau persekusi dari lawan-lawannya. Pembebasan adalah kunci untuk kelangsungan hidup politiknya, tetapi juga untuk merebut kembali kekuasaan yang hilang dari Duterte pada tahun 2022.”

Laos dan Vietnam: Pertarungan dinasti dan dinasti lokal

Di Laos, kelompok petahana dari Partai Revolusioner Rakyat Laos akan mengadakan Kongres Nasional pada Januari 2026, memilih kepemimpinan untuk lima tahun mendatang.

Para pengamat memperkirakan adanya pertarungan dinasti antara Sonexay Siphandone, yang sedang mengincar masa jabatan kedua sebagai perdana menteri, dan Presiden Majelis Nasional Xaysomphone Phomvihane, keturunan dari sebuah keluarga yang berpengaruh.

Vietnam cukup menonjol di kawasan ini. Meskipun memiliki pemerintahan satu partai komunis dan belum ada keluarga politik yang mendominasi di tingkat nasional. Namun, politik lokal adalah cerita yang berbeda.

"Meski cenderung otoriter, politik Vietnam bergantung pada keseimbangan kepemimpinan kolektif dalam sistem satu partai,” ujar Khac Giang Nguyen, peneliti di ISEAS, Yusof Ishak Institute di Singapura, kepada DW.

"Pemeriksaan institusional dilakukan untuk mencegah kepentingan kekuasaan yang ekstrem, meskipun hal itu masih terjadi dari waktu ke waktu. Hal ini membuat para pangeran sulit untuk mendapatkan daya tarik yang nyata. Beberapa telah mendapatkan jabatan penting, tapi tidak ada yang berhasil mencapai puncak,” tambahnya.

Dinasti gemuk dan kurus

Kepada DW, seorang profesor di National War College di Washington, Zachary Abuza, mengatakan bahwa salah satu tren yang "mengkhawatirkan” adalah bahwa keluarga-keluarga politik menjadi "dinasti yang gemuk.”

Tidak hanya posisi elit yang diwariskan dari orang tua ke anak, tetapi lebih banyak anggota keluarga yang menduduki jabatan di berbagai bidang pemerintahan, paparnya.

Contohnya, pada pemilu sela terakhir di Filipina. Empat pasang saudara kandung mendapatkan kursi senat, totalnya berjumlah sepertiga dari jumlah anggota majelis. Sehingga, 18 provinsi kini berada di bawah kendali dinasti yang "gemuk”.

Di Kamboja, praktik semacam itu mungkin yang paling menonjol. Partai yang berkuasa sering mengatur pernikahan di antara anak-anak para menteri.

Istri Hun Manet adalah putri dari mantan petinggi Kementerian Tenaga Kerja, saudara laki-lakinya, Hun Many, mengawasi pelayanan sipil sebagai menteri. Sementara saudara laki-lakinya yang lain, Hun Manith, mengepalai angkatan bersenjata dan intelijen militer.

Apakah politik dinasti berbahaya?

Para analis menunjukkan faktor-faktor yang mendasari kuatnya dinasti di Asia Tenggara, mulai dari sejarah prakolonialisme kepala suku lokal di kawasan ini hingga lemahnya partai politik dibandingkan politisi perorangan dan kurangnya upaya antikorupsi.

Kebijaksanaan konvensional menyatakan bahwa politik dinasti merupakan penyebab sekaligus cerminan dari menyusutnya ruang demokrasi.

Sebuah organisasi nonpemerintah di Amerika Serikat, Freedom House, menyebut selama satu dekade terakhir, sebagian besar negara Asia Tenggara telah mengalami penurunan peringkat Kebebasan di dunia.

"Transisi kekuasaan dinasti lebih mewakili kesinambungan otoriter daripada pembukaan demokrasi,” begitu bunyi laporan yang ditulis oleh peneliti Andrea Haefner dan Sovinda Po, dalam sebuah makalah terbitan Februari 2025 tentang dinasti-dinasti di Asia Tenggara.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Menariknya, salah satu efek yang tidak terduga adalah kemajuan perempuan. Maria Diana Belza dari University of the Philippines berpendapat bahwa melanggengnya dinasti telah meningkatkan representasi perempuan.

Ketika kerabat laki-laki mencapai batas masa jabatan atau tidak lagi disukai, ahli waris perempuan sering kali turun tangan untuk mempertahankan jaringan politik keluarga mereka.

Namun, Belza memperingatkan bahwa meningkatnya jumlah perempuan dalam politik "tidak serta merta mengarah pada partisipasi politik yang lebih besar bagi perempuan di luar lingkaran dinasti.”

Hingga saat ini, hanya ada tujuh perempuan yang memegang jabatan tertinggi di Asia Tenggara. Mereka adalah Corazon Aquino, Gloria Macapagal Arroyo, Megawati Sukarnoputri, Yingluck Shinawatra, Aung San Suu Kyi, Paetongtarn Shinawatra, dan Halimah Yacob.

Di Singapura, semuanya adalah putri, istri, atau saudara perempuan dari mantan pemimpin laki-laki, kecuali Presiden Singapura saat ini, Halimah.

Ketika dinasti-dinasti mengkonsolidasikan kekuasaan, belum ada kejelasan soal lanskap politik Asia Tenggara dapat mengarah pada partisipasi yang lebih luas.

Untuk saat ini, ikatan keluarga masih terjalin erat dalam struktur penguasa di kawasan ini, sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan penting mengenai tata kelola pemerintahan, akuntabilitas, dan masa depan demokrasi.

Artikel ini terbit pertama kali dalam Bahasa Inggris

Diadaptasi dan tambahan dari Indonesia oleh: Muhammad Hanafi

Editor: Hendra Pasuhuk