Belum menikah di atas usia 30 tahun sering ditanyai kapan akan menikah, sementara jika terjadi perceraian, kerap kita mendengar pandangan merendahkan bagi penyandang status janda. Opini Uly Siregar.
Iklan
Status yang menyertai hidup seorang perempuan di Indonesia sering membuat diri tak nyaman. Saat melajang hingga usia kepala tiga atau lebih perempuan dituduh terlalu cerewet memilih, atau justru dianggap seperti barang yang tak laku. Ketika sudah menikah, perempuan khawatir suami tergoda menambah istri, apalagi ada embel-embel urusan surga yang dibawa-bawa untuk membenarkan urusan suami menambah istri ini. Setelah lepas dari suami brengsek lantas menyandang status janda? Dimulailah berbagai persoalan, termasuk soal menanggung pandangan merendahkan dari masyarakat.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2015 terdapat 347.256 kasus perceraian di Indonesia. Angka ini meningkat dari tahun 2014 yang berjumlah 344.237 dan tahun 2013 sebesar 324.247. Angka perceraian yang tinggi ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat perceraian tertinggi di dunia. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menyatakan angka perceraian di Indonesia menduduki peringkat tertinggi di Asia Pasifik. Yang lebih mengenaskan, angka perceraian tersebut tak kunjung menurun, justru memperlihatkan kecenderungan meningkat.
Kebanyakan kasus perceraian dilakukan oleh pasangan yang berusia di bawah 35 tahun. Berbeda dengan asumsi kebanyakan orang, kasus gugatan cerai ternyata tidak terpusat di kota metropolitan seperti Jakarta. Angka gugatan cerai tertinggi justru di Banyuwangi, Jawa Timur. Lebih jauh lagi, peningkatan gugatan cerai suami-istri di Banyuwangi juga tergolong tinggi, mencapai angka di atas 30%. Sedangkan kota dengan putusan cerai terbanyak dalam kurun waktu satu tahun ada di Indramayu, Jawa Barat.
Menyandang status baru
Setiap kasus perceraian tentunya meninggalkan status duda dan janda bagi pelakunya. Namun yang mengherankan, janda menanggung beban stereotipe negatif yang jauh lebih berat dibandingkan dengan duda. Padahal kecuali karena kematian, dalam kasus perceraian baik janda maupun duda sama-sama mengalami kegagalan dalam pernikahan. Sialnya, budaya patriarki dalam masyarakat Indonesia cenderung menempatkan perempuan sebagai pihak yang salah. Kalau perceraian disebabkan oleh suami yang selingkuh, reaksi yang muncul seringkali malah menyalahkan sang istri. "Ah, pasti istrinya tidak becus melayani suami. Jelas saja suami lari ke perempuan lain” atau "Ya, ampun. Bagaimana suami tidak lari, badan dia sekarang hancur begitu. Nggak jaga badan, sih,” dan beragam komentar lainnya yang menyudutkan perempuan.
Selain menerima penghakiman sebagai pihak yang bersalah dalam sebuah perceraian, perempuan dengan status janda kerap mengalami pelecehan saat berinteraksi dalam masyarakat. Laila Sofianty, misalnya, sudah akrab dengan perlakuan tak menyenangkan, baik dari kaum perempuan atau laki-laki. Dari laki-laki yang banyak muncul adalah godaan, dan asumsi bahwa sebagai janda dia akan menerima dengan gampang tawaran laki-laki, termasuk untuk mau dijadikan istri muda. "Terus ada lagi kecenderungan, laki-laki nggak berkualitas pun merasa mereka berpeluang lebih besar kalau mendekati janda, karena mengira kami yang janda akan mau sama siapa saja yang naksir. Padahal dulu waktu saya masih lajang menegur pun nggak berani,” jelas Laila.
Penampungan Khusus Bagi Janda dan Anak Rohingya di Bangladesh
Sejak Agustus lalu, sekitar 600 ribu warga Rohingya mengungsi dari kekerasan di Myanmar ke Bangladesh. Badan Pengungsi PBB UNHCR mendirikan penampungan khusus bagi pengungsi janda dan anak Rohingya.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Wajah derita pengungsi
Inilah Roshid Jan. Salah satu perempuan Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh dengan lima anaknya. Setelah militer Myanmar membakar desanya, mereka menempuh perjalanan selama sepuluh hari untuk mencapai perbatasan. Sekarang mereka ditampung di Cox's Bazar, di sebuah penampungan khusus bagi janda dan anak.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Suaminya ditahan entah di mana
Roshid Jan tidak tahu suaminya ada di mana. Suaminya adalah pemimpin agama di desa Phansi, dekat negara bagian Rakhine di Myanmar. Militer di tempat itu menuduh suami Rosyid Jan sebagai anggota kelompok militan sehingga ia pun ditahan sebelas bulan lalu. Sejak itu Roshid Jan tidak pernah melihat suaminya lagi.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Penampungan Janda
Tempat penampungan Balukhali berada di kota perbatasan Cox's Bazar. Tempat ini memang khusus dibuat untuk menampung para janda dan anak Rohingya. Badan Pengungsi PBB UNHCR dan organisasi lain menyumbang tenda. Sekitar 230 perempuan dan anak-anak sekarang ditampung di sini. Mereka menyebut tempat ini "Penampungan Janda".
Foto: Reuters/D. Sagolj
Saling memberi semangat
Di tempat penampungan ada dapur bersama. Para perempuan bisa bertemu, saling berkenalan dan memasak bersama-sama. Kontak sosial ini penting. Mereka bisa saling memberi semangat dan mengelola pengalaman buruk dan trauma kekerasan yang mereka alami. Makanan dan minuman di penampungan ini merupakan sumbangan dari lembaga-lembaga bantuan internasional.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Momen menyenangkan
Memasak bersama anak-anak. Ibu dan anak ini kelihatan menikmati momen yang menyenangkan di tempat penampungan. Mereka sekarang bebas dari rasa takut, sekalipun tempat tinggalnya hanya sementara dan masa depan mereka masih belum jelas.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Korban sindikat perdagangan manusia
Tidak semua perempuan bisa diterima di penampungan ini. Karena penampungan ini disediakan bagi mereka yang membutuhkan perlindungan khusus. Kebanyakan perempuan dan anak-anak yang ada di sini adalah korban eksploitasi seksual. Reporter DW Arafatul Islam mengunjungi penampungan pengungsi di Cox's Bazar ini dan berbicara dengan para korban dan wakil-wakil lembaga bantuan.
Foto: DW/Arafatul Islam
Penampungan bagi warga Rohingya
Myanmar dan Bangladesh telah mencapai kesepakatan mengenai pemulangan para pengungsi ke Myanmar. Namun kapan hal itu dilaksanakan masih belum jelas. Uni Eropa akan membantu para pengungsi yang memang ingin pulang, sehingga mereka bisa hidup layak, kata pejabat urusan luar negeri Uni Eropa, Federica Mogherini. (Foto dan teks: Arafatul Islam/hp/ts)
Selain itu, tuntutan untuk menikah lagi pun sangat gencar bagi perempuan yang menjanda, kadang lebih menggebu daripada ke perempuan lajang. Padahal mencari pasangan bukan hal yang gampang, apalagi bagi mereka yang sudah pernah gagal menikah, ada ketakutan akan kemungkinan gagal lagi. Di sisi lain, para janda juga justru dianggap selalu mencari pria untuk dinikahi. Asumsi ini sering mengakibatkan perempuan-perempuan bersuami menjadi was-was bersinggungan dengan janda, karena khawatir si janda akan mencoba ‘mencuri' suami mereka. Kultur masyarakat Indonesia yang sering ikut campur dalam urusan pribadi orang lain, membuat status janda pun menjadi bahan pergunjingan yang tak habis-habisnya dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan negatif pada janda sangat gampang ditemukan di Indonesia dan tak terhitung bentuknya. Dari dulu hingga sekarang, stigma status janda tak juga membaik. Tak hanya di kehidupan nyata, pandangan negatif pada janda ini bahkan bisa ditemukan di dalam film, lagu, sindiran-sindiran tak bermutu berbentuk meme di media sosial, dan banyak lagi. Padahal di luar beragam pandangan negatif ini, bagi janda masih ada lagi persoalan yang lebih krusial yang masyarakat justru tak begitu peduli.
Lima Fakta Tentang Perceraian
Perceraian mungkin salah satu hal yang paling tidak diharapkan pasangan yang menikah.. Namun kadang, perpisahan tak bisa dihindari. Berikut beberapa fakta dan kasus perceraian yang dicatat dunia:
Foto: picture-alliance/dpa
Termahal
Berakhirnya hubungan pernikahan antara milioner Perancis, mendiang Alec Nathan Wildenstein, dan Jocelyn Wildenstein pada tahun 1999 tercatat sebagai perceraian termahal di dunia. Untuk ‘melepasnya’, Alec Nathan diwajibkan meberikan 2,5 miliar Dollar kepada Jocelyn, ditambah dengan memberikan tunjangan hidup sebesar 100 juta Dollar/tahun selama 13 tahun. Pasangan ini menikah pada 30 April 1978.
Foto: picture-alliance/dpa
Tertua
Tahun 2011, Antonio C, yang saat itu berusia 99 tahun menceraikan istrinya, Rosa (96 tahun). Perceraian pasangan Italia ini, yang telah menjalin hidup bersama selama 77 tahun, dianggap sebagai perceraian pasangan tertua di dunia. Gugatan cerai diajukan setelah Antonio mengetahui bahwa istrinya pernah menjalin hubungan gelap di tahun 1940-an.
Foto: picture-alliance/dpa
Termuda
Pada usia 9 tahun Nujood Ali dinikahkan secara paksa oleh orangtuanya. Dua bulan setelah menikah, akibat tidak tahan menerima kekejaman suaminya, Nujood melarikan diri. 15 April 2008, pengadilan Yaman memberikan hak pada Nujood Ali, yang saat itu berusia 10 tahun, untuk bercerai. Kasus perceraian ini menjadi awal dari gerakan melawan pernikahan paksa dan pernikahan anak di Yaman.
Foto: Fotolia/fotandy
Lebih Mahal, Lebih Cepat
Penelitan di Emory University, AS, menyebutkan, pasangan yang mengeluarkan banyak biaya pesta pernikahan ternyata banyak yang akhirnya bercerai Kecendrungan ini tidak diteliti lebih jauh, namun menurut salah seorang peneliti, Prof. Hugo M. Mialon, pesta mahal kerap membebani keuangan mereka. Beban finansial dianggap dapat mengganggu kehidpan pernikahan, ditambahkannya.
Foto: Fotolia/Marco Scisetti
Penyebab Utama
Beda pendapat dan pertengkaran juga merupakan bumbu dari pernikahan. Namun jika yang dipermasalahkan adalah uang, menurut peneliti dari Kansas State University, hal ini dapat menimbulkan risiko perceraian. Disebutkan, memerlukan waktu lebih lama untuk meredakan pertengkaran soal uang. Jika terus berlanjut, pertengkaran soal uang kerap berakhir dengan perceraian.
Foto: picture-alliance/dpa
5 foto1 | 5
Seorang janda umumnya menanggung beban dan tanggung jawab yang lebih berat daripada duda. Ia mengemban peran ibu juga ayah dalam merawat anak-anak yang tak jarang ditelantarkan oleh mantan suami. Jika dalam rumah tangga suami menjadi pencari nafkah, maka perceraian menjadi semakin menakutkan. Tak hanya sang janda harus berpikir keras bagaimana menafkahi diri sendiri, tapi jika hak asuh ada di tangan ibu maka ia pun harus bertanggung jawab membiayai hidup sang anak.
Dalam sebuah perkawinan yang putus karena perceraian, sebenarnya kedua pihak wajib bertanggung jawab kepada anak hasil dari perkawinan. Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, seorang bapak wajib bertanggung jawab atas biaya hidup termasuk pendidikan sang anak, kecuali karena suatu kondisi, sang bapak tidak sanggup menunaikan kewajibannya maka sang ibu ikut menanggung biaya tersebut. Disebutkan juga bapak berkewajiban memberi nafkah untuk anak sesuai kemampuan hingga anak dewasa (21 tahun). Istri yang bercerai bahkan dibenarkan meminta kepada suami untuk tetap memberikan nafkah padanya hingga jangka waktu tertentu setelah perceraian melalui mekanisme pengadilan.
Fakta Perceraian di Berbagai Negara
Bercerai tidaklah mudah, apalagi ada aturan agama yang mengikat, atau malah minimnya dukungan undang-undang. Berikut catatan perceraian di beberapa negara.
Foto: picture-alliance/AA/S. Coskun
Inggris: cerai hanya untuk bangsawan
Hingga tahun 1857, hanya pria dan dari keluarga kaya yang berhak bercerai. Proses yang rumit dan mahal, menjadi alasan. Setelah UU Pernikahan disahkan, pria dari kalangan biasa diizinkan membatalkan pernikahan mereka dengan alasan perselingkungan, sementara perempuan harus memberi bukti tambahan untuk alasan yang sama. 80 tahun kemudian (1937) perempuan akhirnya leluasa menggugat cerai suaminya.
Foto: picture-alliance/dpa
Iran: pesta perceraian
Sejak 2014 di Tehran, Iran bukan hanya pernikahan yang dirayakan, tapi juga perceraian. Layaknya pesta, undangan dan kue penuh humor juga tersedia. Tentu pesta demikian ditentang kelompok konservatif, apalagi pasca Revolusi Islam (1979) hanya suami yang berhak penuh mengajukan cerai. Revisi UU Perlindungan Keluarga mengabulkan perceraian bila kedua pasangan telah menjalani mediasi di pengadilan.
Foto: picture-alliance/AP/Vahid Salemi
Filipina: dilarang bercerai!
Filipina menjadi satu-satunya negara anggota PBB yang tidak menyetujui proses pembatalan pernikahan. Pengecualian hanya diberikan bagi penduduk muslim, karena menghormati aturan perceraian sesuai hukum Islam. Biaya perceraian juga sangat mahal yakni hingga 4.000 dollas AS atau setara 53 juta Rupiah, jumlah rata-rata gaji setahun warga Filipina.
Foto: AP
Italia: "Divorce, Italian Style"
Perceraian tidak diatur dalam UUdi Italia hingga 1970, karena pengaruh gereja Katolik dan politik yang kuat. Saking sulitnya bercerai, film drama satire “Divorce, Italian Style“ (1961) sampai diproduksi. 40 tahun berselang, topik perceraian kini malah menjadi konsumsi media di Italia. Terlebih saat, mantan perdana menteri Silvio Berlusconi menceraikan istrinya akibat serentetan skandal seks.
Foto: picture-alliance/Photoshot
Pakistan: kisah poligami Sang Perdana Menteri
Tuntutan cerai berdasarkan “talaq“ dihapus di Pakistan sejak tahun 1955 karena kontorversi yang menyeret nama Perdana Menteri, Muhammad Ali Bogra. Saat itu, ia menikahi sekretarisnya padahal masih belum menceraikan istri pertamanya. Peristiwa ini memicu gelombang protes yang akhirnya mendesak pemerintah menerbitkan UU Pernikahan dan Keluarga (1961) yang mengatur secara rinci tentang perceraian.
Foto: picture alliance/Photoshot
Turki: Ataturk menghapus talak tiga dan poligami
Turki adalah negara islam sekuler pertama di dunia yang turut membatalkan gugatan cerai berdasarkan aturan talak tiga. Di bawah pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk (1926), aturan pernikahan dan perceraian yang sebelumnya berdasarkan hukum islam diganti mengadopsi hukum sipil Swiss. Tak hanya perceraian, UU itu juga mengakui kesetaraan jender dan penghapusan poligami. Ed: ts/ap
Foto: picture-alliance/AA/S. Coskun
6 foto1 | 6
Hak yang tak kunjung datang
Hanya saja dalam praktiknya, di Indonesia tetap banyak janda yang tak mendapatkan haknya. Selain tak paham, banyak juga janda yang enggan berurusan dengan hukum. Apalagi urusan penegakan hukum masih sering lemah di tanah air. Akibatnya, para janda ini lebih memilih menjadi ibu tunggal dan bertanggung jawab penuh atas hidupnya termasuk anak-anaknya. Sosok bapak seringkali sama sekali tak hadir, termasuk dalam soal finansial.
Jadi, daripada menambah beban para janda dengan memperlakukan mereka secara tak menyenangkan dan menghakimi secara tak adil, cobalah lebih bersimpati pada nasib mereka. Bila ada keluarga dan teman perempuan yang baru bercerai, daripada bergunjing tentang siapa yang bersalah, dan menuduh dia pantas ditinggalkan suami, lebih baik bantu dia untuk mengatasi masa transisi dari seorang istri dan ibu menjadi seorang janda dan ibu tunggal. Bila memungkinkan, bantu juga untuk dia mendapatkan hak-haknya. Atau, lakukan saja hal yang paling minimal: jangan mengusili, jangan mengganggu, dan biarkan mereka mengatasi permasalahan pelik yang harus mereka hadapi, tanpa ditambah pandangan-pandangan negatif yang melekat pada status janda.
Penulis: Uly Siregar (ap/vlz)
Bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
@sheknowshoney
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Keberuntungan di Balik 'Kutukan Jomblo'
Sering putus atau cerai? Sering diledek kena 'kutukan jomblo'? Jangan kecil hati. Karena banyak kelebihan lajang yang jarang dimiliki oleh mereka yang punya pasangan.
Foto: Iakov Kalinin/Fotolia
1. Bisa bepergian ‘seenak jidat‘
Bagaimana jika ingin memutuskan untuk pindah ke kota lain atau bertualang seorang diri kalau sudah punya pasangan? Biasanya keputusan penting cuma bisa diambil setelah berkonsultasi dengan pasangan. kalau pasngan tak setuju, terpaksa menahan keinginan. Tapi jika kamu bujangan, kamu punya kebebasan penuh untuk bepergian tanpa ragu-ragu.
Foto: Fotolia/Ralph Maats
2. Bebas ‘flirting‘
Menggoda orang yang kita suka alias flirting bisa menyebabkan situasi canggung bahkan ‘perang bubat‘ jika sudah punya pasangan. Beda halnya buat para kaum lajang, mereka mereka punya kebebasan buat ‘flirting‘, dengan harapan yang ditaksirpun punya perasaan sama atau bahkan cuma buat sekedar main-main saja. Masih terbuka kesempatan seluas-luasnya dan masih banyak pilihan untuk pilih teman kencan
Foto: WavebreakmediaMicro/Fotolia
3. Bisa kontrol tubuh sendiri
Sebuah survei di Inggris menemukan 62% responden naik berat badan sekitar 7 kg setelah punya pasangan. Berat badan ini tampaknya menjadi konsekuensi langsung dari kegiatan berpacaran, misalnya nonton sambil ‘ngemil‘ atau pergi makan malam. Meski bukan berarti semua pasangan demikian. namun jika ingin berkonsentrasi pada peningkatan pikiran dan tubuh Anda, maka membujang lebih mudah.
Foto: picture-alliance/dpa/Andreas Gebert
4. Punya banyak waktu
Kadang menyenangkan saling ‘genit-genitan‘ lewat tablet atau ponsel, tetapi dapatkah kamu bayangkan berapa banyak waktu yang dibuang pasangan pada umumnya dengan ponsel mereka? Tentu saja, ada pasangan yang lebih mandiri, tetapi mungkin juga tak mudah menemukan makhluk seperti itu. Jika kamu lebih suka menginvestasikan waktu dengan lebih produktif, maka status membujang bisa jadi tepat bagimu.
Foto: Fotolia/apops
5. Bisa tidur damai dan tenang
Tidur dengan suami atau istri mungkin asyik karena bisa bermesraan. Tapi tak sedikit orang mengaku, kesulitan tidur di sebelah orang lain atau terasa terkekang jika dipeluk sepanjang malam, belum lagi jika pasangan mendengkur! . Jika kamu mengalami perasaan itu, maka mungkin membujang lebih mengasyikan buat bisa cukup tidur nyenyak.
Foto: Colourbox/D. Drobot
6. Bisa lebih mandiri
Pernah putus cinta hingga berminggu-minggu atau lebih? Cinta bisa berubah menjadi kekuatan yang mengacaukan dan destruktif. Jangan pernah membiarkan seseorang menjadi subyek tunggal pikiranmu, karena mungkin hanya ada beberapa hubungan yang ditakdirkan sukses abadi. Jika tidak nyaman dengan risiko itu, maka mungkin dengan menyandang status ‘jomblo‘ , bisa jadi hidupmu lebih tenang.
Foto: picture-alliance/dpa
7. Bebas kumpul dengan teman-teman
Temanyang telah mendapatkan menikah atau bahkan memiliki anak, banyak yang janji akan tetap luangkan waktu bergaul seperti dulu. Berapa banyak dari mereka benar-benar tepati janji? Berpasangan memerlukan pengorbanan waktu luang dan kebebasan. Jika tidak siap untuk komitmen tersebut, terpaksa status 'jomblo‘ masih tetap menyangkut di dirimu, dimana kamu bebas 'gila-gilaan' dengan kawan-kawan.
Foto: william87/Fotolia
8. Bebas dari hubungan tak sehat
Hampir 50% dari pernikahan di Amerika alami kegagalan. Beberapa dari mereka masih tinggal bersama karena alasan keuangan, atau demi anak-anak mereka. Jika tidak yakin 100% dengan apa yang kamu harapkan dari pasangan, pikir-pikir dulu untuk melangkah lebih jauh.
Foto: picture-alliance/dpa/CTK/Josef Horazny
9. Tak ada yang menuntut
Pernah ada yang datang padamu dan mengeluh betapa pasangannya begitu ‘menuntut‘? Banyak orang meremehkan berapa banyak waktu terbuang untuk mempertahankan hubungan. Tidak aneh sebenarnya jika seseorang ingin habiskan waktu dengan kekasihnya atau menuntut ini-itu dari pasangan. Tapi siapkah kamu jika hal ini terjadi padamu? Jika tidak, bisa jadi ‘jomblo‘ bukanlah kutukan, melainkan ‘anugrah‘.