Silakan tebak! Berapa besar beban negara yang ditanggung dalam mengkriminalisasi pengguna narkoba? Apakah Anda setuju kriminalisasi pengguna narkoba? Simak opini Zaky Yamani
Iklan
Banyak negara di dunia sudah tidak mengkriminalkan pengguna narkoba. Tujuannya tentu saja sangat ekonomis: dengan mengirim para pengguna narkoba ke penjara, negara akan terbebani biaya operasional yang sangat tinggi, mulai dari biaya makan, pakaian, dan layanan kesehatan.
Selain itu, dengan memenjarakan pengguna narkoba, negara akan kehilangan banyak tenaga usia produktif yang seharusnya masih bisa dimanfaatkan untuk berkiprah di masyarakat dan menggerakkan roda ekonomi negara.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih mengkriminalkan pengguna narkoba. Walau ada aturan bahwa pengguna narkoba sebenarnya bisa dikirim ke panti rehabilitasi, namun kenyataannya, banyak pengguna narkoba yang dijerat dengan tuduhan sebagai pengedar. Biasanya tuduhan sebagai pengedar itu dijeratkan kepada para pengguna yang tertangkap, agar aparat bisa memeras mereka: mengancam dengan hukuman yang berat, untuk kemudian dijadikan acuan negosiasi untuk pengurangan hukuman dengan imbalan sejumlah uang.
Kasus-kasus seperti itu sempat direkam dalam hasil penelitian terhadap para narapidana kasus narkoba di berbagai penjara di Indonesia, yang dihimpun dalam buku "Dari Balik Lima Jeruji” (2015).
Sampai 2017, jumlah narapidana kasus narkoba di Indonesia mencapai 86 ribu orang. Jumlah itu meningkat tajam, misalnya dari yang tercatat pada 2006 sebanyak 32.067 orang.
Jika melihat data jumlah narapidana kasus narkoba antara 2003 sampai 2006, terlihat rata-rata jumlah tahanan baru kasus narkoba sebanyak 11.196 per tahun. Namun yang mengejutkan, Badan Narkotika Nasional (BNN) mengklaim sepanjang 2017, lembaga itu mengungkap 43 ribu kasus narkoba dan menangkap 50 ribu pelakunya.
Pertumbuhan jumlah kasus yang sangat banyak itu adalah sebuah paradoks di tengah aktivitas negara yang ingin memberantas narkoba. Alih-alih membuat peredaran narkoba berkurang, yang terjadi malah peningkatan. Salah satu jawaban yang harus dipertimbangkan dari fenomena itu adalah, dengan pelarangan narkoba yang semakin ketat dan keras, nilai jual barang itu semakin tinggi, dan potensi keuntungannya pun jadi semakin tinggi. Itu artinya narkoba yang bisnis yang menggiurkan banyak pihak.
*Apakah Anda setuju kriminalisasi pengguna narkoba? Tuliskan pendapat Anda di sini.
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
9 foto1 | 9
Apa bijak jika negara menangkapi para pengguna narkoba, baik dilihat dari sudut pandang anggaran?
Pada November 2017, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly mengatakan, beban negara sangat berat untuk membiayai para narapidana di dalam penjara. Untuk tahun 2017 saja, negara kekurangan Rp 180 miliar untuk biaya makan para narapidana.
Karena alasan itulah, pemerintah mengusulkan adanya revisi Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2012 tentang Warga Binaan dan Lembaga Pemsyarakatan, untuk memuluskan rencana memberi remisi atau pengurangan masa hukuman bagi narapidana kasus narkoba.
Berapa sebenarnya beban negara untuk membiayai para narapidana di dalam penjara? Sampai tahun 2006, biaya seorang narapidana yang harus ditanggung negara adalah Rp 4.095.000 per orang per tahun. Katakanlan biaya tersebut masih sama sampai saat ini, artinya untuk narapidana kasus narkoba saja yang sebanyak 86 ribu orang, negara terbebani biaya Rp 352,17 miliar per tahun.
Ide untuk membebaskan para napi narkoba dari dalam penjara bukan baru kali ini saja. Pada 2008, pemerintah juga mengusulkan pembebasan antara 8.000 sampai 9.000 narapidana kasus narkoba, demi menghemat anggaran negara sebesar Rp 36,8 miliar.
Lalu untuk apa aparat negara menangkapi orang-orang yang terlibat kasus narkoba—yang proses hukumnya pun sudah mengeluarkan biaya—untuk kemudian dibebaskan lagi dengan alasan negara kekurangan uang untuk membiayai kebutuhan mereka di penjara? Bukankah hal itu nyata sebagai pemborosan anggaran sejak awal?
Musim Panen Jagal Narkoba
Perang narkoba yang dilancarkan Presiden Filipina Duterte tidak cuma mencoreng wajah kepolisian, tapi juga mengubah warga biasa menjadi pembunuh bayaran. Inilah potret kejahatan kolektif sebuah bangsa
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Perang Kolektif Filipina
Presiden Rodrigo Duterte tidak berkelakar saat menyerukan warga sipil agar ikut membunuh pengedar dan pecandu narkoba. "Lakukan sendiri jika anda punya senjata. Anda mendapat dukungan penuh dari saya," tukasnya. Hasilnya Filipina mengalami glombang pembunuhan ekstra yudisial yang hingga kini telah menelan 3.600 korban jiwa. Dalam proyek berdarah itu, warga sipil sering berada di garda terdepan.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Hantu dari Davao City
Duterte banyak berkaca pada kebijakan berdarahnya melawan tindak kriminalitas selama menjabat sebagai walikota Davao City. Berulangkali ia sesumbar betapa kota berpenduduk terbanyak ketiga di Filipina itu kini menjadi salah satu kota teraman di dunia berkat kepemimpinannya. Klaim tersebut dipatahkan oleh berbagai data statistik kriminalitas. Namun Duterte tetap bersikukuh.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Halal Darah Pecandu
Kini tidak terhitung jumlah warga sipil Filipina yang bekerja sebagai pembunuh bayaran. Setiap nyawa dihargai 430 Dollar AS atau sekitar 5,5 juta Rupiah. Biasanya pembunuh meninggalkan karton bertuliskan "bandar narkoba" pada tubuh korban. Menurut data kepolisian, saat ini sudah sekitar 2.200 terduga bandar atau pengguna narkoba tewas oleh pembunuh bayaran. Jumlahnya diyakini akan terus meningkat.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Ancam dan Dikecam
Kendati mengundang kecaman dunia, Duterte mendapat dukungan warga Filipina. Menurut jajak pendapat Pulse Asia, sebanyak 86% penduduk merasa puas atas kinerja sang presiden. Cuma tiga persen yang menanggap sebaliknya. Padahal Duterte mengancam akan memberlakukan hukum perang setelah dikritik oleh Mahkamah Agung dan mengingatkan jurnalis bahwa mereka tidak kebal terhadap pembunuhan
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Kesaksian Edgar
Jejak berdarah Duterte bisa ditelusuri hingga ke Davao City. Di sana pun ia membentuk skuad pembunuh yang terdiri atas preman, bekas narapidana, polisi dan pembunuh profesional. Salah seorang diantaranya baru-baru ini memberikan kesaksian di senat Filipina. Edgar Matobato mengklaim Duterte bahkan menembak mati pegawai Departemen Kehakiman karena menghalangi misi pembunuhan.
Foto: picture-alliance/dpa/M. R. Cristino
Maut di Akar Rumput
Untuk menyusun daftar sasaran kepolisian Filipina banyak mengandalkan peran administrasi desa atau Barangay. Mereka ditekan untuk menyerahkan nama-nama penduduk yang diduga mengkonsumsi atau menjual narkoba. Kepala Barangay yang tidak memberikan daftar mati dianggap terlibat bisnis narkoba dan terancam ikut dibunuh.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Rawan Penyalahgunaan
Biasanya daftar mati disusun oleh sebuah komite Barangay yang terdiri atas penduduk biasa. Namun kelompok HAM mengkhawatirkan sistem tersebut rawan penyelewengan. "Sistemnya sangat kondusif untuk mereka yang menyimpan dendam dan dipersenjatai untuk membunuhmu," ujar Komisioner di Komisi HAM Filipina, Karen Gomez-Dumpit.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Keadilan Semu
Buat banyak keluarga korban, mencari keadilan buat anggotanya yang terbunuh merupakan hal yang mustahil. Kebanyakan korban merupakan bandar kecil-kecilan, pecandu atau pesuruh yang berasal dari keluarga miskin. Mereka juga terancam mengalami presekusi atau dikucilkan dari masyarakat.
Foto: Reuters/E. De Castro
8 foto1 | 8
Angka fantastis
Aktivitas penangkapan orang-orang yang terlibat narkoba, tidak selalu bisa kita lihat sebagai upaya aparat negara untuk memberantas narkoba. Tetapi ada kesempatan ekonomi yang sangat besar di dalam aktivitas itu yang bisa diperoleh oknum aparat. Berdasarkan Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional dan Universitas Indonesia pada 2011, diketahui para pelaku terkait narkoba biasanya memilih "jalan damai” saat diproses hukum, dengan memberikan uang sogokan kepada aparat yang menangkap mereka, agar lepas dari jerat hukum atau setidaknya tidak dikenai pasal yang berat. Pada 2011 saja, total uang yang dikeluarkan orang-orang yang tertangkap dalam kasus narkoba untuk berurusan dengan aparat sebesar Rp 11 triliun!
Angka itu sangat fantastis. Jika pemerintah saja sangat terbebani dengan beban Rp 352,17 miliar per tahun untuk membiayai hidup narapidana di dalam penjara, masyarakat malah menanggung beban 343 kali lipat dari beban negara untuk mencegah orang yang terlibat narkoba dipenjarakan.
Logika yang terlihat jadi sangat tidak lucu, masyarakat membayar sangat mahal untuk membuat negara tidak terbebani biaya untuk narapidana. Dan uang yang dibayar masyarakat itu tidak masuk ke kas negara, tapi masuk ke kantong para oknum aparat. Dari sudut pandang ini kita melihat setidaknya dua korban dalam perang melawan narkoba: masyarakat yang terbebani Rp 11 triliun per tahun untuk mencegah orang yang terlibat narkoba masuk penjara, dan negara yang terbebani Rp 352,17 miliar per tahun untuk membiayai narapidana narkoba di dalam penjara (belum termasuk anggaran untuk Badan Narkotika Nasional yang untuk tahun anggaran 2018 diajukan Rp 1,3 triliun).
Lalu siapa yang diuntungkan? Jelas produsen narkoba, yang diklaim memiliki potensi pendapatan di Indonesia Rp 250 triliun per tahun, dan oknum aparat hukum yang mendapat "uang damai” Rp 11 triliun per tahun.
Penulis: Zaky Yamani, jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Kami mengajak Anda untuk berdiskusi membahas artikel ini, tuliskan komentar Anda di sini.
Apa Yang Terjadi Pada Tubuh Ketika Mengalami Overdosis?
Penyanyi pop asal Amerika Serikat, Demi Lovato, sempat dilarikan ke rumah sakit karena overdosis narkoba pada Selasa (24/7) dini hari waktu setempat. Apa sebenarnya yang terjadi ketika seseorang mengalami overdosis?
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Evans
Kasus meningkat tiap tahun
Laporan dari The National Institute on Drug Abuse di Amerika Serikat, jumlah kasus overdosis obat-obatan di negara itu meningkat tiga kali lipat pada 2014 dibandingkan tahun 2001. Sebagian besar kasus overdosis karena penyalahgunaan obat penghilang rasa sakit jenis opioid.
Foto: imago/blickwinkel
Serangan jantung, stroke dan kejang
Apabila overdosis terjadi akibat konsumsi obat-obatan penambah energi seperti amfetamin, maka orang akan berisiko mengalami serangan jantung, stroke, dan kejang. Obat ini sering disalahgunakan untuk meningkatkan libido atau membuat orang lebih berenergi dan aktif secara sosial.
Foto: Imago/Science Photo Library
Merasa kepanasan
Amfetamin bekerja mempercepat detak jantung. Bila terlalu banyak dikonsumsi temperatur badan akan meningkat tetapi tubuh tidak bisa mengeluarkan keringat. Akibatnya orang akan merasa sangat kepanasan.
Foto: Fotolia/Jürgen Fälchle
Ketakutan
Orang juga bisa mengalami beberapa episode psikotik yang dipicu obat ini, kata Dewan Nasional Alkoholisme dan Ketergantungan Obat. Selain itu tubuh juga dapat mengalami disorientasi, sakit kepala yang luar biasa, halusinasi, ketakutan dan akhirnya hilang kesadaran.
Foto: Fotolia/christopher townson
Kerusakan saraf pusat
Overdosis karena konsumsi obat depresan bisa mengakibatkan kerusakan otak permanen hingga kematian. Kebalikan dari amfetamin, depresan bekerja memperlambat sistem saraf pusat. Jenis yang sering disalahgunakan yaitu morfin, oxycodone, fentanyl or metadon.
Foto: Fotolia/ lassedesignen
Mengorok
Tubuh mengalami perlambatan irama nafas atau bahkan bisa berhenti sama sekali akibat kebanyakan konsumsi obat jenis ini. Seseorang juga bisa jadi mengorok karena terhambatnya jalan napas. Bibir dan ujung kuku juga terlihat membiru.
Foto: picture-alliance/BSIP/Chassenet
Segera cari pertolongan
Segera minta bantuan petugas medis jika melihat tanda-tanda orang mengalami overdosis. Seberapa efektif penanganan pasien overdosis akan sangat tergantung bila petugas medis dapat informasi jenis obat yang disalahgunakan. Penulis: ae (whitesandstreatment.com, medicalnewstoday.com)