1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Bekas Gereja Chora akan Dijadikan Masjid

Burcu Karakas
26 Agustus 2020

Sementara konversi Hagia Sophia menjadi masjid masih jadi kontroversi, kini pemerintahan Erdogan berencana melakukan hal yang sama dengan Museum Chora. Sejarawan dan komunitas Kristen dihantui kecemasan.

Museum Chora di Istanbul
Museum Chora yang akan dijadikan masjidFoto: Getty Images/AFP/B. Kilic

Setelah Hagia Sophia diubah menjadi masjid pada pertengahan Juli lalu, gereja lain kini dilirik  Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Menurut keputusan yang dikeluarkan istana presiden pekan lalu, salat akan segera digelar lagi di Museum Chora. Selain itu, bangunan suci di distrik Fatih Istanbul ini akan berada di bawah kendali Kantor Urusan Agama Turki (Diyanet).

Kompleks bekas gereja ChoraFoto: picture-alliance/M. Siepmann

Museum tersebut memiliki sejarah yang mirip dengan Situs Warisan Dunia UNESCO Hagia Sophia: Dibangun oleh Kekaisaran Bizantium pada abad ke-6, kemudian di zaman pemerintahan Kekaisaran Utsmaniyah, penguasa Wazir Agung Bayezids II,  Atik Ali Pasa mengubah gereja itu menjadi masjid pada tahun 1511. Setelah berdirinya Republik Turki, pada tahun 1945, kabinet Turki memutuskan untuk menjadikannya museum.

Bekas gereja Chora terkenal dengan banyak lukisan dinding dan mozaik yang terawat baik. Video antrean pengunjung di depan museum kini beredar di media sosial. Jelas, banyak orang ingin melihat sekilas interior gereja itu untuk terakhir kalinya sebelum ditutup tirai, sebagaimana Hagia Sophia.

"Keragaman budaya tidak boleh dipertanyakan"

Konversi Museum Chora dikhawatirkan membuka perpecahan baru: perwakilan dari komunitas Ortodoks Turki, termasuk Patriark Bartholomew dari Konstantinopel, telah menentang penggunaan Hagia Sophia sebagai masjid. Dalam kasus Museum Chora, reaksinya juga serupa.

Dia sangat menyesali perubahannya menjadi masjid, kata Presiden Asosiasi Yayasan Yunani (RUMVADER) Laki Vingas, kepada Deutsche Welle.

Presiden Asosiasi Yayasan Yunani (RUMVADER) Laki VingasFoto: Privat

"Di ibu kota budaya seperti Istanbul, keragaman budaya tidak boleh dipertanyakan," jelas Vingas, yang juga terlibat dalam asosiasi pelestarian warisan budaya.

Apakah akan ada eksodus?

Sikap tanpa kompromi pemerintah Turki akan semakin mendorong keterasingan minoritas, demikian ia memperingatkan.

Semakin banyak kaum muda yang tergolong minoritas kini mencari pekerjaan baru di luar negeri. "Dalam 15 tahun terakhir, banyak orang dari Yunani telah menetap di kota kami.

Mereka telah berintegrasi di sini, mereka telah berkontribusi pada kehidupan masyarakat. Bahwa mereka sekarang berpikir untuk kembali pulang ke negaranya, membuat saya khawatir," kata Vingas.

Sejarawan seni Osman Erden yakin rencana itu bertentangan dengan masa lalu bersejarah kota metropolis Bosporus. Alasan mengapa Hagia Sophia atau bekas gereja Chora dinyatakan sebagai museum adalah karena seseorang ingin menerima seluruh sejarah masa lalu.          

"(Menjadikannnya museum) itu tidak pernah dimaksudkan sebagai dorongan melawan Kekaisaran Utsmaniyah dan Islam". Para akademisi sangat prihatin bahwa sejarah Istanbul semakin dipolitisasi politis. Mereka menganggap politisasi tersebut tidak adil untuk sejarah kota itu.

Peneliti isu konservatisme Ayse Cavdar Foto: Privat

Dugaan politisasi

Peneliti isu konservatisme Ayse Cavdar melihat realokasi museum ini sebagai manuver politik Erdogan. "Erdogan dan timnya kalah dari oposisi dalam pemilihan lokal Juni lalu di Istanbul. Sekarang mereka mungkin mencoba meninggalkan jejakmereka di Istanbul dengan cara lain."

Menurut Cavdar, kebijakan yang diambil pemerintahan Erdogan itu adalah sinyal: "Lihat, kami masih di sini." Bagi pemerintah, yang mengambil alih kekuasaan politik setelah periode Erdogan, akan agak bermasalah untuk membalikkan langkah-langkah menuju islamisasi ini, demikian disimpulkan ilmuwan tersebut.