Komunitas internasional harus berpikir kreatif dan terbuka dalam menyikapi perkembangan di Myanmar, kata Charles Petrie, bekas asisten sekjen PBB, dalam wawancara dengan DW.
Iklan
Tiga tahun setelah militer melancarkan kudeta terhadap pemerintahan demokratis dan mengobarkan perang saudara di Myanmar, junta di Naypyidaw semakin tersudutkan oleh pemberontakan di berbagai penjuru negeri.
Perlawanan dikoordinasikan oleh Pemerintahaan Persatuan Myanmar, NUG, melalui sayap militernya, Pasukan Pembebasan Rakyat, PDF, yang membawahi belasan unit di berbagai wilayah. Mereka menggalang aliansi dengan gerilyawan etnis, antara lain dengan pemberontak Shan yang berhasil membebaskan sejumlah besar wilayah di dekat perbatasan Cina di utara.
Milisi pemberontak juga mencatatkan kemajuan besar mengusir militer Myanmar di negara bagian Kayin dan Chin.
Junta terkesan semakin kewalahan, ketika kelompok pro-demokrasi dan pemberontak etnis tampil lebih kompak dibandingkan sebelumnya.
Untuk unjuk kekuatan, militer Myanmar mengadakan parade Hari Angkatan Bersenjata tahunan pada hari Rabu (27/3), untuk memperingati dimulainya perlawanan terhadap pendudukan Jepang selama Perang Dunia II.
Charles Petrie, bekas asisten sekretaris jenderal PBB, terlibat langsung di Myanmar selama lebih dari 10 tahun. Dia baru-baru ini melakukan perjalanan ke negara bagian Karen di tengah perang yang berkecamuk untuk menilai situasi kemanusiaan di sana.
Myanmar: Aksi Protes Perahu Menentang Kudeta Militer
Warga etnis Intha di negara bagian Shan, Myanmar, melakukan protes unik terhadap junta militer dengan aksi protes perahu di Danau Inle, salah satu tujuan wisata populer di negara itu.
Foto: Robert Bociaga
Protes meluas di Myanmar
Protes terhadap kudeta militer di Myanmar 1 Februari lalu meluas ke luar kota Yangon. Pada 18 Februari, penduduk di sekitar Danau Inle, salah satu tujuan wisata populer di negara bagian Shan selatan, berdemonstrasi menentang junta militer dan menuntut pemulihan demokrasi.
Foto: Robert Bociaga
Protes dari atas perahu
Warga dari semua lapisan masyarakat berpartisipasi dalam aksi protes perahu. Mereka terlihat membawa megafon dan plakat-plakat, sambil melantunkan lagu-lagu revolusi.
Foto: Robert Bociaga/DW
Kudeta militer
Pihak militer awal Februari mengkudeta pemerintahan sipil dengan mengklaim terjadi penipuan yang luas dalam pemilihan umum November lalu, yang dimenangkan secara telak oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dari Aung San Suu Kyi, sekalipun militer ketika itu membuat partai politik untuk menang pemilu. Sejak kudeta, banyak anggota NLD dan pemerintahan sipil yang ditahan, termasuk Suu Kyi.
Foto: AP Photo/picture alliance
Pembangkangan sipil
Sejak kudeta, puluhan ribu orang melakukan protes dan kampanye pembangkangan sipil. Pihak militer menanggapi dengan keras dengan gelombang penangkapan ancaman sanksi berat.
Foto: REUTERS
Aksi protes perahu dukung sanksi Barat terhadap pelaku kudeta
Negara-negara Barat telah menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin kudeta dan menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan para tahanan politik lain. Pengunjuk rasa di Danau Inle menyambut baik sanksi tersebut dan mengatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk mengakhiri dominasi militer selamanya. Namun, mereka tidak mendukung rekonsiliasi dengan para jenderal, kebijakan yang diambil Suu Kyi selama ini.
Foto: Robert Bociaga
Sistem demokrasi satu-satunya jalan melindungi minoritas
Negara bagian Shan dihuni oleh warga etnis Intha, yang juga dikenal sebagai "orang danau". "Satu-satunya cara untuk melindungi tradisi minoritas adalah melalui sistem demokratis dan desentralisasi. Itulah mengapa kami membutuhkan demokrasi federal di Myanmar," kata Ko Su, seorang aktivis etnis Intha, kepada DW.
Foto: Robert Bociaga
Sektor turisme di bawah pengawasan militer
Suku Intha mengatakan, mereka belum dapat sepenuhnya memanfaatkan pariwisata karena sebagian besar hotel dan bisnis di daerah tersebut dimiliki oleh orang-orang yang memiliki koneksi dengan militer. Namun sebelum kudeta, penduduk setempat setidaknya bisa mendapatkan keuntungan dari industri pariwisata yang berkembang pesat. (hp/vlz)
Foto: Robert Bociaga
7 foto1 | 7
Dalam sebuah wawancara dengan DW, Petrie mengatakan dirinya melihat "ada perubahan paradigma terjadi di Myanmar, yang menjelma dari sekedar rasa takut dan semangat perlawanan terhadap militer, menjadi gairah membentuk pemerintahan dan administrasi alternatif.”
Berikut kutipan wawancaranya.
DW: Apa kesimpulan Anda dari perjalanan baru-baru ini ke Myanmar?
Charles Petrie: "Sebenarnya saya pergi ke sana karena dua alasan. Yang pertama adalah untuk mengetahui apakah bantuan kemanusiaan internasional telah menjangkau masyarakat. Namun yang lebih penting, saya ingin mengetahui struktur pemerintahan lokal yang mulai berkembang.
Saya mendengar adanya pembentukan dewan lokal. Jadi, saya ingin lebih memahami seperti apa struktur tersebut. Dan apa yang saya temukan sebenarnya jauh lebih positif daripada yang saya bayangkan.
Maksud Anda?
Salah satu alasan kenapa aksi kudeta telah gagal memperkuat kendali militer atas negara adalah karena munculnya perlawanan masyarakat, dan lebih khusus lagi, perlawanan generasi muda. Generasi ini sangat tekoneksi, sangat aktif di media sosial, cerdas serta memiliki koneksi di dalam dan luar negeri.
Ada generasi baru yang saat ini menjadi tulang punggung pemberontakan. Mereka tidak memiliki rasa takut terhadap militer sebagaimana generasi orang tua mereka. Mereka tidak mewarisi kerelaan untuk sensor diri yang mendefinisikan bagaimana militer Myanmar bisa berkuasa sebelumnya.
Saya diberitahu oleh para aktivis muda, bahwa ini bukan hanya perang saudara, melainkan sebuah revolusi. Dan saya benar-benar memahami bahwa perlawanan rakyat terhadap Tatmadaw, militer Myanmar, adalah sesuatu yang benar-benar baru."
Aung San Suu Kyi: Ironi Pejuang Kemerdekaan
Aung San Suu Kyi dari Myanmar memiliki komunitas global yang mendukungnya ketika dia menjadi tahanan politik belasan tahun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir dia dihujani protes soal militer membantai Muslim Rohingya.
Foto: picture-alliance/dpa
Lahir untuk demokrasi
Aung San Suu Kyi lahir tanggal 19 Juni 1945 di Yangon, yang dulu merupakan ibu kota Myanmar di yaman koloni Inggris. Ia anak perempuan pahlawan nasional Jenderal Aung San yang menjadi korban serangan tahun 1947. Suu Kyi mengenyam pendidikan di Inggris dan pulang ke Myanmar pada akhir 1980an. Dia menjadi tokoh kunci dalam pemberontakan 1988 melawan kediktatoran militer di negara tersebut.
Foto: dapd
Tahanan Rumah
Tahun 1989, sesaat sebelum pemilu, Aung San Suu Kyi untuk pertama kalinya menjadi tahanan rumah. Hampir selama 15 tahun ini hanya mendekam di rumahnya. Setelah tahun 1995, Suu Kyi dilarang bertemu kedua putra dan suaminya, Michael Aris, bahkan setelah suaminya didiagnosis menderita kanker. Aris, terlihat di foto menampilkan gelar doktor kehormatan yang diberikan kepada istrinya.
Foto: TORSTEN BLACKWOOD/AFP
Nobel Perdamaian
Tahun 1991 Aung San Suu Kyi diberi penghargaan Nobel Perdamaian bagi "usahanya memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia." Karena ia khawatir, junta militer tidak akan mengizinkannya kembali ke Myanmar, putranya Kim yang menerima penghargaannya di Oslo. Setelah 20 tahun berselang, Aung San Suu Kyi baru bisa menyampaikan pidato penerimaannya.
Foto: AP
Bebas dari tahanan rumah
Masa tahanan rumahnya benar-benar berakhir tanggal 13 November 2010. Ini momen yang menandakan proses pendekatan antara Aung San Suu Kyi dan junta militer. Militer tidak ingin terus diisolasi oleh dunia internasional dan Aung San Suu Kyi sadar, bahwa ia hanya akan sukses juga melakukan dialog dengan pihak militer.
Foto: picture alliance/epa/N. C. Naing
Kunjungan Pertama Seorang Presiden AS
Akhir 2012, Presiden AS Barack Obama berkunjung ke Myanmar. Ia bertemu dengan Aung San Suu Kyi di rumah tempat ia menjadi tahanan selama bertahun-tahun. Lewat kunjungannya, Obama seakan menghormati perjuangan sang tuan rumah dan membantu Myanmar keluar dari isolasi.
Foto: Reuters/K. Lamarque
Penghargaan dari Berlin
Tahun 2014 Aung San Suu Kyi berkunjung selama dua hari ke Berlin. Ia bertemu dengan Presiden Jerman Gauck dan meraih penghargaan Willy-Brandt atau upayanya memperjuangkan HAM dan demokrasi. Saat itu ia menegaskan, masa depan demokrasi negaranya masih belum jelas.
Foto: picture-alliance/dpa
Disumpah sebagai anggota parlemen
Usahanya selama puluhan tahun akhirnya membuahkan hasil, dan pada tahun 2012 Suu Kyi diizinkan mencalonkan diri dalam pemilu. Dia memenangkan kursi di parlemen saat Myanmar memulai peralihannya dari pemerintahan militer. Ia menjadi pemenang dalam pemilu tahun 2015, tapi pada akhirnya ia menjabat sebagai menteri luar negeri dan penasihat negara - peran yang mirip perdana menteri.
Foto: AP
Dikritik soal Rohingya
Krisis pengungsi Rohingya sedikti mencoreng namanya. Lembaga pembela hak asasi manusia melontarkan kritik terhadap pemenang hadiah Nobel perdamaian itu. Ia dtuding tidak berupaya untuk mengatasi krisis ini. Suu Kyi dianggap takut ditinggalkan pendukungnya yang mayoritas Buddha dalam Pemilu Parlemen.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Tidak lagi disukai
Ketika menjadi penasihat negara di tahun 2016, Suu Kyi membentuk komisi untuk menyelidiki klaim tindak kekejaman negara terhadap kaum Rohingya di negara bagian Rakhine. Suu Kyi menuding Rohingya menyebarkan "segunung informasi yang salah", dan prihatin dengan "ancaman teroris" yang ditimbulkan oleh para ekstremis. Sikapnya memicu protes di negara-negara mayoritas Muslim di seluruh dunia.
Foto: picture-alliance/Zumapress/J. Laghari
Pemilu kontroversial
Pada tahun 2020, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi(NLD) yang berkuasa di Myanmar memenangkan pemilu 8 November, dengan kursi yang cukup untuk membentuk pemerintahan berikutnya. Namun, pihak militer, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan, mengklaim penipuan dan menuntut pemilihan baru yang diawasi oleh militer. Dengan itu muncul komentar-komentar yang menyinggung kemungkinan kudeta.
Foto: Shwe Paw Mya Tin/REUTERS
Militer menahan Aung San Suu Kyi
Aung San Suu Kyi bersama dengan beberapa sekutu politiknya, ditahan dalam penggerebekakan dini hari pada 1 Februari 2021 yang dipimpin oleh militer. Langkah itu dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil dan militer. Junta militer mengklaim kecurangan pemilu dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun dan menunjuk seorang mantan jenderal sebagai penjabat presiden.
Foto: Franck Robichon/REUTERS
11 foto1 | 11
Saya pikir pasti ada perubahan paradigma yang terjadi di Myanmar, dari sekedar rasa takut dan semangat perlawanan terhadap militer, menjadi gairah membentuk pemerintahan dan administrasi alternatif. Tahun 2021, menurut saya, memang memicu perubahan paradigma di Myanmar. dalam mengelola masa depan negara.
Hal lainnya adalah tidak ada ruang untuk solusi cepat. Saat ini, belum ada keinginan untuk mengupayakan solusi cepat yang diharapkan oleh komunitas internasional. Kelompok perlawanan tidak menginginkan penyelesaian yang cepat, mereka menginginkan penyelesaian atas masalah bersejarah yang telah lama melanda negara ini.
Beberapa pengamat internasional khawatir bahwa Myanmar akan terpecah belah karena pemberontakan rakyat. Menurut Anda, apakah pemecahan Myanmar merupakan ancaman atau peluang??
Myanmar memang sedang terpecah-belah. Tapi fragmentasi tercipta akibat hilangnya kendali militer Myanmar di banyak wilayah negara. Apa yang kita lihat sekarang adalah munculnya bentuk baru pengelolaan negara. Namun, dan ini penting, tidak ada pemberontak atau kelompok etnis yang menginginkan kemerdekaan.
Apa yang kami lihat adalah keinginan untuk membentuk federalisme yang menjamin hak-hak berbagai kelompok etnis dan keleluasaan untuk bekerja sama.
Masyarakat internasional mengatakan bahwa mereka tidak ingin bertanggung jawab atas fragmentasi di Myanmar. Saya katakan bahwa hal ini bukan lagi masalah, setidaknya tidak untuk saat ini.
Sebaliknya, permasalahan yang ada saat ini adalah bagaimana Anda bisa membayangkan sebuah negara seperti Myanmar tanpa pemerintah pusat yang kuat. Mengakui kenyataan yang ada di berbagai wilayah dan mencoba untuk membayangkan suatu bentuk federalisme yang bisa menyatukan semuanya.
Potret Warga Rohingya Rela Bertaruh Nyawa di Lautan Hingga Terdampar di Aceh
Sebanyak 99 pengungsi Rohingya ditemukan kelaparan dan kehausan di atas kapal motor rusak di perairan Aceh Utara, Rabu (24/06). Ini bukan kali pertama etnis yang terusir dari Myanmar ini terdampar di perairan Indonesia.
Foto: Reuters/Antara Foto/Rahmad
Terombang-ambing di lautan
Sebanyak 99 pengungsi Rohingya ditemukan terombang-ambing di atas sebuah kapal di perairan Aceh Utara, Rabu (24/06). Mereka ditemukan oleh nelayan sekitar yang kebetulan sedang melintas di sekitar lokasi. Ini bukan kali pertama sebuah kapal motor bermuatan puluhan bahkan ratusan pengungsi Rohingya terdampar di perairan Aceh Utara.
Foto: Reuters/Antara Foto/Rahmad
Bertaruh nyawa
Para pengungsi rela bertaruh nyawa melintasi lautan selama berminggu-minggu dengan perbekalan minim. Mereka yang mayoritas adalah perempuan dan anak-anak ini, berharap dapat mengadu nasib dan mencari pekerjaan di negara tujuan. Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya (PIARA) melaporkan sebanyak 15 pengungsi tewas di perjalanan dan dilarung ke laut. Diduga akan ada kapal-kapal lain yang menyusul.
Foto: Reuters/Antara Foto/Rahmad
Terusir dari rumah
Kaum Rohingya yang berasal dari Myanmar ini, terpaksa mencari suaka ke negara-negara Asia Tenggara lainnya karena etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Mereka kerap dianiaya, dikucilkan, dan diusir ke kamp-kamp pengungsian setelah penumpasan militer tahun 2017 silam. Bahkan dalam laporan PBB tahun 2018 dilaporkan adanya pembunuhan massal 10 ribu kaum Rohingya di Rakhine.
Foto: Reuters/Antara Foto/Rahmad
Rasa kemanusiaan
Para pengungsi kemudian ditampung sementara di Kantor Imigrasi Lhokseumawe, Aceh. Meski dunia tengah dilanda pandemi Covid-19, tidak menyurutkan niat masyarakat setempat untuk menyelamatkan para pengungsi tersebut. "Ini tidak lebih dari rasa kemanusiaan dan bagian dari tradisi kami para nelayan Aceh Utara," ujar Hamdani salah seorang nelayan yang ikut mengevakuasi para pengungsi dilansir Reuters.
Foto: Getty Images/AFP/R. Mirza
Non-reaktif Covid-19
Dari hasil pemeriksaan cepat (rapid test) virus corona yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara, dilaporkan seluruh pengungsi Kaum Rohingya yang terdampar di perairan Pantai Seunuddon, Kabupaten Aceh utara, Rabu (24/06), non-reaktif Covid-19. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran virus corona. Selain rapid test, pemeriksaan kesehatan secara umum juga turut dilakukan.
Foto: AFP/C. Mahyuddin
Apresiasi dunia internasional
Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia Ann Maymann mengapresiasi Indonesia yang telah menyelamatkan para pengungsi Kaum Rohingya. Organisasi non-pemerintah Amnesty International juga memuji mayarakat Aceh yang telah menunjukkan rasa solidaritas kemanusiaan mereka. Menlu RI Retno Marsudi dalam pernyataan resminya Jumat (26/06) berjanji akan penuhi kebutuhan dasar dan kesehatan 99 pengungsi Rohingya.
Foto: AFP/C. Mahyuddin
6 foto1 | 6
Apakah munculnya formasi negara baru ini merupakan alasan kenapa PBB mengalami kesulitan di Myanmar?
Negara-negara Barat dan PBB mengalami kesulitan menerima sesuatu yang tidak lazim di mata mereka. Saya pikir ada masalah mendasar saat ini, yaitu ketidakmampuan atau keengganan untuk membaca situasi sebagaimana adanya dan memahami peluang yang ada dalam situasi saat ini untuk masa depan Myanmar.
Institusi-institusi Barat dan PBB sangat lamban dan, sampai batas tertentu, hampir tidak mampu berpikir di luar kebiasaan, namun itulah yang dibutuhkan di Myanmar
Bisakah Anda menjabarkan secara lebih konkrit bagaimana komunitas internasional dan PBB harus mengatasi situasi ini?
Hal pertama adalah kerendahan hati. Bersikaplah rendah hati dan sadari bahwa kita sedang memasuki perang milik orang lain dan jangan memaksakan lensa dan pandangan Anda terhadap situasi di lapangan.
Kedua adalah menyadari bahwa analisis dan pendekatan, yang digunakan sebelum kudeta, sudah tidak efektif lagi. Menegosiasikan akses dengan junta di Naypyidaw tidak akan memberi Anda akses masuk ke banyak kelompok rentan di negara ini, karena militer tidak mengontrol wilayah-wilayah tersebut.
Artinya, Anda harus mulai terlibat dengan pemerintah, struktur pemerintahan di wilayah lain di negara ini. Namun terlibat tidak berarti hanya pergi ke sana dan menemui mereka dari waktu ke waktu. Komitmennya memerlukan kerja keras dan keterlibatan yang berkelanjutan.
Solusinya adalah mengembangkan prinsip lokalisasi ke tingkat berikutnya. Tanyakan kepada mereka bagaimana cara menyalurkan bantuan. Asah keberanian untuk terlibat dengan aktor non-negara secara substantif. Pada dasarnya, ini adalah tentang kesediaan untuk beroperasi secara berbeda.
Charles Petrie adalah mantan asisten sekretaris jenderal PBB. Selama karir diplomatiknya yang panjang, dia pernah menjabat sebagai koordinator residen PBB di Myanmar selama hampir lima tahun dan empat tahun sebagai koordinator Norwegia untuk merundingkan damai di Myanmar.