1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bekerja Menyabung Nyawa - Pers di Myanmar

16 Oktober 2007

Menurut laporan Reporter Lintas Batas, Myanmar termasuk negara Asia dengan catatan kebebasan pers terburuk dunia.

Wartawan foto Jepang Kenji Nagai, tewas saat meliput di Yangon
Wartawan foto Jepang Kenji Nagai, tewas saat meliput di YangonFoto: AP

Jurnalis Jepang Kenji Nagai yang tewas saat meliput demonstrasi di Yangon terbunuh karena kesalahannya sendiri. Setidaknya itu pendapat koran pemerintah The New Light of Myanmar. Nagai tidak memiliki visa jurnalis. Andai ia bersikap seperti wisatawan biasa, hidupnya tidak terancam, demikian harian pemerintah Myanmar. Sebenarnya, wartawan asing sudah lama dicekal dan tidak mendapat surat jalan di Burma. Reporter yang meliput pembubaran paksa demonstrasi damai akhir September semuanya masuk Burma dengan visa turis, sama dengan Kenji Nagai.

Militer Myanmar menyatakan, terbunuhnya fotograf Jepang Nagai adalah suatu kecelakaan. Tapi bukti foto sejumlah wartawan menunjukkan Nagai, yang masih menggenggam kameranya, ditembak dari dekat oleh seorang tentara. Kenji Nagai tak dapat menyelamatkan diri kata para saksi mata. Wartawan harian Spanyol El Mundo David Jimenez menyaksikan langsung kejadian naas itu:

“Kami semua lari saat mendengar tembakan, tapi Nagai terjebak antara demonstran dan tentara. Saya mencari celah dan lari ke samping, karena itu saya berhasil menyelamatkan diri.”

Seorang wartawan televisi Inggris yang tidak ingin diketahui namanya karena melindungi narasumber di Burma menceritakan, sikap tentara terhadap para pengunjuk rasa dan jurnalis sangat brutal:

“Tadinya kami tidak menduga militer akan bersikap begitu kasar. Saya sendiri tidak melihat saat wartawan Jepang itu tertembak. Tentara sangat agresif, mereka berteriak „bubar, bubar“. Ada mobil menghampiri saya, di dalamnya ada beberapa orang India, mereka menarik saya masuk sambil berteriak, cepat, naik!“

Junta militer Myanmar menyatakan, kekuatan asing lah yang bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi di Burma. Mereka menuduh, negara barat dan media asing menghasut rakyat Burma. Karena itu, pemerintah Myanmar menjadikan wartawan asing sebagai sasaran. Mereka yang tertangkap membawa kamera di dekat lokasi demontrasi langsung ditangkap atau bahkan ditembak.

Seorang reporter TV Thailand Nipon Tungsangpratep berhasil masuk Burma setelah demonstrasi dibubarkan militer. Dengan mempertaruhkan nyawa, ia dan juru kameranya berhasil menyelundupkan film yang mendokumentasikan hari-hari terakhir kerusuhan keluar dari Burma:

„Tentu saja sangat sulit untuk meliput di sana. Apalagi mengambil gambar tentara. Tapi dengan menyamar sebagai wisatawan dengan kamera di tas, kami berhasil membuat film ini.“

Sebagian besar wartawan asing sudah meninggalkan Burma, namun para jurnalis lokal tetap bertahan dan ditahan di negaranya sendiri. Mereka dengan berani memberitakan tentang situasi di Burma, melalui video, foto dan blog atau buku harian online. Kini, militer Myanmar melancarkan aksi balas dendam kata wakil pemerintahan exil Burma di Thailand Zin Linn:

„Mereka mengamati foto-foto demontrasi dan mencari mereka yang membawa kamera atau telepon genggam, mereka mencari jurnalis dan stringer yang membantu mereka. Rumah para wartawan digeledah, mereka benar-benar diburon.“

Junta militer tidak mengindahkan protes internasional dan kesepakatan dengan PBB. Mereka tetap melakukan penahanan jurnalis agar berita dari Burma tidak tersebar keluar. Pemerintah Mynanmar yakin, bila pemberitaan internasional berhenti, maka perhatian dunia pun akan beralih dari Burma. (zer)