Bukan sebuah kebetulan,aksi-aksi yang berlangsung belakangan senantiasa memakai tajuk “bela.” Kerangka pikir yang dipakai adalah kerangka pertempuran. Simak ulasan Geger Riyanto.
Iklan
Sosiolog cum teolog, Peter L. Berger mengatakan, manusia tidak hidup dari roti saja. Lebih-lebih dalam situasi sang insan merasa terdesak dan membutuhkan harapan. Saya selalu meyakini kebenaran dari kata-kata ini. Bak mantra, saya diam-diam merapalnya berulang-ulang dalam pengamatan-pengamatan saya.
Kecuali Anda seorang pertapa, Anda pasti menyaksikan rangkaian unjuk rasa bela Islam yang berlangsung dua tahun silam. Anda tahu betapa bersejarahnya aksi-aksi tersebut. Tak pernah sebelumnya unjuk rasa di Indonesia dapat menggerakkan massa hingga melampaui angka satu juta manusia. Monas, yang Anda tahu ukuran sesungguhnya, tampak begitu kecil dalam kepungan lautan manusia. Jalan-jalan protokol ditumpahi demonstran. Semua terasa surrealistis.
Dan kecuali Anda tak punya media sosial, Anda pasti juga menyaksikan rangkaian reaksi terhadapnya yang tak kalah meriah. Tak sedikit dari antara reaksi yang ada mencibirnya sebagai gerakan yang pragmatis.
Narasi jahat menggoyang petahana
Tapi, ia terjadi tak lain berkat pendanaan persekongkolan yang ingin menggoyang rezim petahana. Kasak-kusuk bahwa ada pembagian uang setelah unjuk rasa menyebar dengan cepat di media sosial. Foto yang seolah mengonfirmasi hal tersebut langsung ada di mana-mana tanpa diiringi oleh konfirmasi yang jelas terhadapnya.
Kasak-kusuk lainnya adalah mereka yang berunjuk rasa bahkan tidak tahu apa-apa terkait unjuk rasa tersebut. Mereka adalah anak-anak sekolah yang sekadar ikut-ikutan dan ingin tampil mentereng, orang-orang yang mendengar Ahok menistakan agama tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, serta warga dari luar Jakarta yang tak pernah bersentuhan langsung dengan kebijakan sang gubernur.
Narasi yang berkembang di antara mereka yang berseberangan dengan tujuan yang ingin diraih gerakan ini—pada saat itu, mendongkel gubernur petahana—berulang-alik di antara dua pandangan di atas. Para penganutnya ingin percaya bahwa betapapun besar massa yang dikerahkannya, berbagai unjuk rasa tersebut berangkat dari ketidaktulusan atau kenaifan. Gerakan tersebut tidak autentik. Penggeraknya berbekal niat jahat dan pengikutnya tak berbekal pengetahuan apa-apa.
Apa Dampak Pengakuan AS Atas Yerusalem?
Trump mengklaim pengakuan Yerusalem adalah upaya AS mendukung perdamaian di Timur Tengah. Benarkah demikian? Berikut makna keputusan kontroversial Trump bagi mereka yang memiliki kepentingan atas kota suci tersebut.
Foto: Reuters/A. Cohen
Jalan buntu proses perdamaian
20 tahun berlalu, semua presiden sebelum Trump menghindari keputusan memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke Yerusalem lewat penerapan UU “Jerusalem Embassy Act”. Selama itu, presiden AS memilih menjalankan misi perdamaian, dengan anggapan status Yerusalem harus disepakati lewat negosiasi bersama Palestina-Israel. Trump dinilai secara sengaja mengacaukan proses perdamaian yang telah diupayakan AS.
Foto: picture alliance/dpa/AP/E. Vucci
Pupusnya harapan Palestina
Bagi warga Palestina, pengumuman Trump seolah merampas harapan dan mimpi mereka untuk mendaulat wilayah Yerusalem Timur sebagai ibukota masa depan Palestina. Meski upaya untuk menempuh jalur kekerasan bukan pilihan, tapi tak sedikit warga Palestina yang akan menganggap upaya diplomatik yang diupayakan AS selama ini tak membawa perubahan berarti untuk mewujudkan Palestina Merdeka.
Foto: Reuters/M. Hamed
Tercapainya mimpi Israel
Sejak mengusai Yerusalem Timur pasca perang 6 hari tahun 1967, Israel mengklaim Yerusalem sebagai ibukota yang “abadi dan tidak terbagi”. Israel berupaya agar kedaulatannya atas Yerusalem mendapat pengakuan dunia internasional. Keputusan Trump dapat mempengaruhi sebagian besar politisi dan warga Israel yang menilai negosiasi dengan Palestina tidak membawa hasil yang signifikan.
Foto: Reuters/B. Ratner
Tetangga menelan rasa kecewa
Langkah Trump dinilai mengguncang kestabilan wilayah yang selama ini sudah sensitif atas segala jenis gejolak perubahan status. Arab Saudi - sekutu penting AS di Timur Tengah - menyebutkan kebijakan Trump mengacaukan upaya Riyadh meneruskan jalan perdamaian. Negara Arab yang berbatasan dengan Israel – Mesir, Yordania, Libanon dan Suriah – khawatirkan gejolak baru di kawasan mereka.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Vucci
Eropa menjadi oposisi AS?
Sebagian besar negara di Eropa Barat gusar dengan pengakuan AS atas Yerusalem dan tak sedikit yang mengecam Trump. Namun, pertanyaan kuncinya: apakah EU akan berani mengambil sikap tegas yang berseberangan dengan AS? Misalnya menerapkan larangan impor dari wilayah Tepi Barat atau menghentikan kerjasama bisnis dengan perusahaan Israel yang beroperasi di wilayah yang diduduki Palestina?
Foto: Imago
Umat Kristen di tanah suci
Patriarch Theoplhilos III, pemimpin gereja Ortodoks di Yerusalem melayangkan surat kecaman yang menyebutkan kebijakan Presiden AS Trump telah menyebabkan kerusakan yang sulit diperbaiki. Ia menuliskan pada Trump pemindahan kedutaan AS telah menjauhkan upaya perdamaian di Yerusalem dan sebaliknya membuat jurang permusuhan yang semakin dalam di tanah suci, Yerusalem. ts/hp (guardian, washingtonpost)
Foto: Reuters/J.Ernst
6 foto1 | 6
Bagaimana unjuk rasa bertajuk "bela" Palestina?
Bagaimana menjelaskan seratus ribu pengunjuk rasa berkerumun dan menyuarakan dukungannya kepada sekelompok orang yang hidup lebih dari setengah abad di bawah penindasan, pengawasan, persekusi sebuah rezim yang ada berkat restu dari kekuatan-kekuatan super global?
Ada mungkin pikiran konspiratif bahwa ada pihak-pihak yang mendukungnya untuk menjaga momentum politik identitas hingga pemilu 2019. Namun, ini adalah kesimpulan yang sangat tergopoh-gopoh. Berbagai bukti menunjukkan bahwa gerakan unjuk rasa bermotif identitas bukanlah sebuah sulap. Ia tidak tercetus sesederhana ada kepentingan politik, ada penggerak massa yang dapat dibeli, dan ada massa yang tidak tahu apa-apa.
Aksi-aksi yang ampuh menggalang massa senantiasa diiringi imajinasi diri merasa terancam keberadaannya oleh pihak lain. Eksistensi mereka tengah dipertaruhkan dalam sebuah peperangan dengan antagonis yang menguasai semua lini kehidupan dan tujuan hakikinya tak lain dari ingin memunahkan mereka.
Bukan sebuah kebetulan, karenanya, aksi-aksi yang berlangsung belakangan senantiasa memakai tajuk "bela.” Kerangka pikir yang dipakai adalah kerangka pertempuran. Kenyataan yang dilihat orang-orang adalah mereka tengah mempertahankan dirinya dari gempuran para penjajah. Ia pun menemukan dalih penggeraknya hanya ketika ada peristiwa-peristiwa yang mengisyaratkan demikian, dari intimidasi terhadap ulama oleh ormas atau kepala daerah hingga peristiwa dunia yang melibatkan persekusi terhadap kelompok Muslim.
Dan kenyataannya, dari riset yang dilangsungkan Vedi Hadiz bersama Inaya Rakhmani kepada secuplik peserta aksi bela Islam, 60 persen dari peserta aksi berusia 20-an. Empat puluh empat persen merupakan bagian dari kelas menengah bawah. Data ini menunjukkan bahwa banyak dari partisipan aksi yang mengalami ketidakpastian ekonomi dalam kehidupannya. Hal yang dengan mudah ditafsirkan oleh mereka sebagai isyarat, bahwa mereka tengah dijajah oleh segelintir elite asing.
Ketika Palestina Belajar Mencintai Kemakmuran
Melalui kota Rawabi milyarder Bashar Masri mengajak warga Palestina menikmati kehidupan sebagai bahasa perlawanan. Kota yang baru berusia sembilan tahun itu menjadi oase kemewahan di tengah tandusnya medan perang.
Foto: Getty Images/AFP/A. Gharabli
Mengubah Wajah Muram Palestina
Selama ini Tepi Barat Yordan lebih dikenal lewat adegan kekerasan dan perang, ketimbang damai dan kemakmuran. Namun citra muram tersebut gugur oleh keberadaan kota Rawabi, metropolitan pertama milik Palestina. Adalah milyarder Bashar Masri yang pertama kali menggagas proyek raksasa senilai 1,4 milyar Dollar AS tersebut.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. Nasser
Perlawanan Lewat Pembangunan
Melalui Rawabi, Masri ingin melawan aneksasi lahan demi pemukiman Yahudi. Namun bukannya mengangkat senjata, ia memilih menawarkan oase kemakmuran yang dilengkapi infrastruktur kelas dunia untuk menyaingi kota dan pemukiman buatan Israel. Kini warga Palestina tidak perlu lagi pergi ke Israel untuk menikmati kehidupan yang layak.
Foto: Getty Images/AFP/T. Coex
Oase Kemewahan di Tepi Barat Yordan
Tata kota Rawabi memang serupa kota metropolitan modern Eropa. Selain pemukiman, penduduk juga dimanjakan lewat adanya pusat perbelanjaan mewah, bioskop, restoran, perkantoran, cafe, sekolah, rumah sakit dan arena hiburan Wadina seluas 135.000 meter persegi yang diharapkan bakal menyedot 100.000 wisatawan lokal setiap harinya. "Kami ingin melawan dengan bata, bukan peluru," kata Masri.
Foto: Getty Images/AFP/A. Gharabli
Minim Penduduk
Namun meski telah sembilan tahun berdiri, baru sekitar 4.000 penduduk menetap di Rawabi. Pengembang meyakini kota ini bisa menampung hingga 40.000 penduduk dan telah memiliki rancangan tata kota untuk perluasan lebih lanjut. Sayangnya sikap acuh pemerintah Palestina dan keengganan Israel melihat keberhasilan pembangunan Rawabi mempersulit upaya Masri.
Foto: Getty Images/AFP/T. Coex
Musuh di Dua Sisi
Salah satu kegagalan pemerintahan Fatah di Tepi Barat adalah menuntaskan pembangunan infrastruktur listrik dan air untuk Rawabi. Akibatnya aliran air dan ketersediaan listrik di kota tersebut bergantung sepenuhnya dari Israel yang berulangkali memblokir pasokan untuk Palestina. Akibatnya banyak calon pembeli rumah atau penyewa ruang usaha yang membatalkan niatnya.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Ehl
Rencana Perluasan di Masa Depan
Untuk menampung lonjakan penduduk, pengembang sudah menyiapkan rancangan 22 pemukiman dengan masing-masing 8.000 rumah dan 25.000 penduduk. Masri juga menyambut warga Kristen Palestina dan bahkan Yahudi untuk tinggal di Rawabi, selama mereka bukan penduduk pemukiman ilegal. Toleransi diyakini bakal menjadi pondasi kemakmuran Palestina.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. Nasser
Normalisasi Kehidupan di Tengah Perang
Rawabi mewakili pergeseran paradigma di Palestina - sebuah perlawanan damai. "Kami akan berusaha menjalankan kehidupan normal, sampai kehidupan kami benar-benar menjadi normal," kata Masri. Menurutnya Rawabi menandakan gelora hidup bangsa Palestina. "Kota ini menunjukkan bahwa kami adalah bangsa beradab dan menginginkan yang terbaik," ujarnya.
Kita tak bisa menyepelekan alasan yang menjadi pijakan bergerak dari aksi-aksi politik identitas. Terlebih ketika alasan yang serupa mendorong gerakan-gerakan yang menantang tatanan sosial-politik di mana-mana dan di segala zaman secara serius.
Jangan lupa, Israel sendiri langgeng karena imajinasi yang sama. Mereka eksis dan kokoh karena kepercayaan bahwa kaumnya adalah korban sejarah. Dan hal inilah yang meyakinkan mereka, apa yang diperbuat adalah benar. Kaum Yahudi harus memiliki tanah air, terlepas apakah manuver ini harus menyebabkan ratusan ribu warga Palestina terusir dari tanah airnya.
Dan, pada titik ini saya harus mengatakan, Palestina membutuhkan segala bentuk solidaritas yang mungkin didapatkannya. Gerakan-gerakan politik identitas sering kali memijakkan dirinya pada narasi imajiner tertentu. Tetapi, penindasan yang dialami orang-orang Palestina adalah senyata-nyatanya kenestapaan.
Penulis:
Geger Riyanto (ap/as)
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Beginilah Pengusaha Yahudi Promosikan Zionisme di Palestina
Banyak iklan pengusaha Yahudi di Palestina tahun 1930an turut mempromosikan zionisme. Pameran foto di Museum Yahudi di Tefen, Israel, memperlihatkan beberapa iklan itu.
Foto: DW/Sarah Hofmann
Impian Negara Israel Merdeka
Tahun 1930, kawasan Palestina yang ketika itu masih mencakup wilayah Israel saat ini, berada di bawah kedaulatan Inggris. Para penguasaha Yahudi yang datang ke Palestina, tidak hanya mempromosikan produknya, melainkan juga menyebarkan gagasan zionisme, yaitu visi pembentukan Negara Israel Merdeka. Misalnya iklan-iklan rokok.
Foto: Alfons Himmelreich: Photographer on the Roof
Kedatangan para imigran Yahudi berbahasa Jerman
Fotografer Alfons Himmelreich lahir di München, Jerman. Tahun 1933, dia pindah ke Palestina-Inggris. Tahun 1942, dia membuka studio foto di Tel Aviv. Foto-foto yang ditampilkan di pameran foro Museum Tefen berasal dari buku Alfons Himmelreich: "Photographer on the Roof" (Juru Potret di Atap).
Foto: Alfons Himmelreich: Photographer on the Roof
Aliyah: imigrasi ke Palestina
Salah satu rokok yang dijajakan tahun 1930an bermerek: Aliyah. Ini adalah sebutan bagi kedatangan warga Yahudi ke tanah Palestina, yang mereka anggap sebagai Tanah Suci. Poster sebelah kiri menunjukkan kapal yang membawa para migran dari Eropa ke Tanah Suci. Iklan ini tidak hanya mempromosikan rokok, melainkan juga gagasan untuk berkumpul di Palestina dan mendirikan negara baru bagi kaum Yahudi.
Foto: DW/Sarah Hofmann
Tradisi minum kopi dari Eropa
Para migran Yahudi yang berasal dari Eropa mempertahankan kebiasaan mereka di negara asalnya, misalnya minum kopi. Karena itu, banyak rumah dan panrik kopi yang didirikan para migran, misalnya Landwer's Coffee (kanan) yang masih ada sampai sekarang di Tel Aviv.
Foto: DW/Sarah Hofmann
Sabun cuci dengan pesan khusus
Poster-poster iklan di atas adalah replika. Iklan di sebelah kiri dibuat sebelum Negara Israel didirikan. Karena itu disabunnya tertulis Palestina. Di bagian atas terlihat simbol menorah, yang kemudian menjadi simbol negara Israel.
Foto: DW/Sarah Hofmann
Jeruk Jaffa yang terkenal
Dua produk dari Palestina yang dikerjakan para migran Yahudi akhirnya terkenal sampai ke Eropa: minyak zaitun dan jeruk. Merek Jaffa berasal dari nama kota Arab Jaffa, yang sekarang berada di utara Tel Aviv da menjadi bahian dari Israel. Jeruk Jaffa kini menjadi salah satu komoditi ekspor utama Israel.
Foto: DW/Sarah Hofmann
Setiap anak Israel kenal ini
Inilah Bamba! Sekarang, snack rasa kacang ini ada dimana-mana di Israel. Hampir setiap anak Israel menyukai Bamba. Bahkan ada anekdot, warga Israel tidak ada yang menderita alergi kacang, karena sejak masa kecilnya mereka sudah makan Bamba. Produk ini pertama kali diperkenalkan oleh migran asal Jerman, Otte Wallish. (Teks: Sarah Judith Hofmann/hp/yf)