1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Belajar dari Sukarno dan Buku-bukunya

5 Juni 2018

Banyak yang menyebut, Sukarno adalah seorang mahapecinta. Apa saja yang ia cinta? Simak opini Rahadian Rundjan.

Indonesische Unabhängigkeitserklärung Jahrestag Präsident Sukarno 1949
Foto: Gemeinfrei

"Cara yang mudah untuk menggambarkan sosok Sukarno ialah dengan menyebutnya seorang mahapecinta. Dia mencintai negerinya, dia mencintai rakyatnya, dia mencintai perempuan, dia mencintai seni, dan di atas segalanya, dia mencintai dirinya sendiri.”

Itulah paragraf pembuka bab 1 dari Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, otobiografi Sukarno paling cemerlang karya jurnalis Amerika Serikat, Cindy Adams. Biografi yang pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris dengan judul Sukarno:An Autobiography as Told To Cindy Adams pada tahun 1965 ini mengupas dalam rekam jejak kehidupan Sang Putra Fajar sejak masa kanak-kanak sampai penghujung masa kekuasaannya sebagai Presiden Indonesia.

Namun, paragraf tersebut tidaklah lengkap. Ada satu lagi hal yang Sukarno begitu cintai: ia juga seorang insan Indonesia pecinta buku tiada banding di zamannya. Segala macam buku, baik mengenai politik, sejarah, ekonomi maupun buku-buku tentang agama dan sosial lainnya, tidak luput dari intaian dan perhatiannya. Sukarno bahkan sempat dijuluki "hantu buku” karenanya.

Penulis: Rahadian Rundjan Foto: Rahadian Rundjan

Dan memang, dimulai dari interaksinya dengan buku-buku, Sukarno membentuk kepribadian intelektual yang membuatnya layak dikenang sebagai manusia Indonesianomor satu dan paling manusiawi dalam sejarah negeri ini, yang sejarahnya sangat pantas untuk dipelajari dan menjadi inspirasi bagi orang-orang Indonesia di masa sekarang.

Ilmu Untuk Amal

Setidaknya sejak kanak-kanak, Sukarno mulai terlihat sebagai seorang kutu buku. Hobi membacanya ini kian menjadi-jadi kala ia tinggal bersama keluarga H.O.S. Tjokroaminoto untuk menjalani masa sekolah menengah Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya.

Kehidupan Surabaya awalnya tidaklah membahagiakan. Dalam kemurungannya itulah, Sukarno berpaling ke buku-buku. Ia sering mengunjungi perpustakaan Perkumpulan Teosofi di Surabaya, yang dianggapnya sebagai "peti harta karun, yang tidak mengenal pembatasan seorang anak miskin”. Ia mengungsi ke "dunia pemikiran”, wilayah abstrak tempatnya bercengkrama dengan pemikir-pemikir dunia.

Sukarno menjejali otak dengan gagasan-gagasan akbar tokoh-tokoh Dunia Barat: Presiden Amerika Serikat seperti Thomas Jefferson, George Washington, Abraham Lincoln; Perdana Menteri liberal Gladstone, suami istri sosialis Sydney dan Beatrice Webb dari Inggris; Para Bapak unifikasi Italia seperti Mazzini, Cavour, dan Garibaldi; tokoh-tokoh kiri Eropa seperti Otto Bauer, Max Adler, Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin; juga para negarawandari negeri menara Eiffel seperti Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand, Voltaire, Georges Danton, dan Jean Jaures, orator terbesar dalam sejarah Perancis.      

Gagasan-gagasan dari ahli-ahli pikir Dunia Timur juga tak ia lewatkan. Sukarno mengagumi buah pikir Mahatma Gandhi, Jose Rizal, Sun Yat Sen, Must, dan lain-lain. Semua itu dilahap di akhir masa pubertasnya.

Sukarno bersekolah di HBS selama kurun tahun 1916-1921. Ia satu dari tiga orang pribumi, dari jumlah total 52 orang siswa angkatannya, yang berhasil lulus. Ia melanjutkan  studi ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung) dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921. Perjumpaannya dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo di Bandung menyeret Sukarno ke dalam dunia politik dan studinya menjadi keteteran. Pasca lulus tahun 1926, Sukarno kian serius berpolitik, namun ia tetap tulen melahap buku.

Ketika pada tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia diberangus dan Sukarno diasingkan oleh Belanda ke Pulau Ende dan Bengkulu, buku-bukulah yang membuat dirinya tetap waras, selain sanak keluarga yang ikut bersamanya. Sama halnya kala melewati huru-hara di zaman Jepang dan masa perang kemerdekaan Indonesia, harta berharga selama perjalanan Sukarno adalah buku-buku koleksi miliknya yang jumlahnya telah mencapai 1.000 lebih.

Namun, mengambil inspirasi dari filsuf India, Vivekananda, Sukarno pun tidak ingin sekedar menjadikan kepalanya menjadi perpustakaan. Prinsipnya, hasil-hasil bacaannya harus ia amalkan demi kepentingan orang banyak.  Prinsip "ilmu untuk amal” ini dipegang teguh dan diperlihatkan dengan jelas kala Sukarno menjadi Presiden Indonesia, terutama di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967). Dalam berbagai kesempatan, Sukarno selalu menekankan pentingnya eksistensi ilmu pengetahuan sebagai pembakar semangat pembangunan negara yang revolusioner.

Karena itulah Sukarno mengirim pelajar-pelajar Indonesia belajar ke luar negeri. Para tenaga ahli asing juga didatangkan untuk menumbuhkembangkan sektor-sektor ilmu pengetahuan dan teknologi dalam negeri. Serangkaian proyek ilmiah skala besar pun dilaksanakan, misalnya proyek roket nasional yang melibatkan teknisi-teknisi Soviet dan melahirkan roket-roket seri Kartika, kerja sama riset dan pembangunan reaktor nuklir hasil kerja sama dengan Amerika Serikat melalui program "Atoms for Peace”, dan pelaksanaan beberapa ekspedisi ilmiah ke wilayah Indonesia bagian timur yang dilakukan bekerja sama dengan Jepang.

Luasnya cakrawala bacaan Sukarno juga terbukti membuatnya mudah bergaul dalam panggung politik dunia. Ia bisa mengakrabi Presiden Amerika John F. Kennedy maupun Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Kruschev, juga tokoh-tokoh dari negara-negara Dunia Ketiga dengan Gerakan Non-Blok sebagai mediumnya.

Terhitung ada 26 gelar Doktor Honoris Causa dari 7 universitas dalam negeri dan 19 universitas luar negeri disematkan  pada dirinya. Ilmunya pun beragam, mulai dari ilmu hukum, kemasyarakatan, teknik, agama, sampai sejarah. Kapabilitas Sukarno sebagai sosok kutu buku dan pecinta ilmu pengetahuan ditasbihkan dengan fakta bahwa dirinya merupakan salah seorang pemimpin dengan jumlah gelar doktor kehormatan terbanyak di dunia. Semua itu ia dapatkan dengan mengamalkan ilmu yang ia dapat dari ribuan buku yang dibacanya.

Belajar Membaca dari Sukarno

Kemelut politik yang memuncak dengan terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September 1965 membuat Sukarno lengser dari tampuk kepresidenan. Sukarno meninggal pada tanggal 21 Juni 1970 sebagai tahanan rumah, disusul dengan kampanye desukarnoisasi yang dilakukan Orde Baru. Namun, tidak ada penjara yang bisa mengurung nama Sukarno, ia tetap hidup dalam hati sanubari rakyatnya bahkan hingga saat ini.     

Buku-buku koleksi Sukarno kini disimpan oleh pihak keluarga dan beberapa yayasan, salah satunya di bekas rumah pengasingan Sukarno di Bengkulu. Selain itu, buku-buku yang ditulis oleh Sukarno kini jauh lebih mudah diakses oleh publik setelah sebelumnya sempat dilarang terbit di awal masa Orde Baru, seperti Indonesia Menggugat, Di Bawah Bendera Revolusi, dan lain-lain.

Sukarno telah tiada, namun kecintaannya akan buku tetap abadi di benak bangsa Indonesia. Jika ada satu hal sederhana dari Sukarno yang wajib ditiru oleh generasi muda Indonesia saat ini, maka itu adalah metode membaca kritis yang selalu dilakukannya. Buku-buku bacaan Sukarno biasanya kotor dicorat-coret, karena ia komentari dengan argumen-argumennya sendiri.

 Hal inilah yang membuat pola pikir dan karakter Sukarno tetap orisinil, pantang didikte, dan selalu berdiri di atas kaki sendiri, meskipun telah melayari luasnya bahtera ilmu pengetahuan; Ia adalah manusia Indonesia terpelajar dalam arti sebenar-benarnya. Hajat Sukarno untuk melahap buku dalam kesunyian sama besar dengan kebutuhannya untuk berorasi di tengah-tengah keramaian orang banyak. Dari membaca, Sukarno bertransformasi menjadi sosok multidimensi yang kisah hidupnya masih sangat relevan untuk dipelajari sampai sekarang.

Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

@RahadianRundjan

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis