Menemukan Panggilan Hidup di Jerman
7 April 2022Endang Silalahi lahir di Sarimatondang, Simalungun, Sumatera Utara. Dia menuntut ilmu di IKIP Medan jurusan bahasa Jerman. Setelah selesai, ia menjadi guru SMA. Tetapi saat itupun dia sudah merasa kurang suka dengan pekerjaannya. Setelah itu, Endang pindah ke Jakarta dan mulai mengajarkan bahasa Jerman tapi secara privat. Karena merasa mampu melakukan lebih banyak lagi, Endang memutuskan untuk pergi ke Jerman. Caranya adalah dengan menjadi Au Pair di Jerman selama setahun. Jadi tahun 2000 Endang bertolak ke Jerman.
Setelah tinggal di Jerman selama setahun, ia melihat bagaimana hidup di Jerman dan tertarik untuk menetap lebih lama. Endang kemudian mulai kuliah di bidang linguistik Jerman dan pedagogi atau ilmu pendidikan, di Universitas Tübingen. Dia bercerita, dia lebih tertarik pada ilmu pendidikan dibanding dengan linguistik.
Memberikan sokongan kepada anak, bukan siraman
Endang menjelaskan lebih lanjut, kalau di Indonesia hanya ada satu, yaitu pendidikan. Kalau di Jerman, ada dua bidang yang terkait, yaitu Bildung dan Erziehung. Bildung berkaitan dengan pengetahuan umum dan pandangan tentang dunia yang dimiliki seseorang, Sedangkan Erziehung adalah pendidikan bagi perkembangan dan tingkah laku anak.
Ketika itulah, Endang belajar tentang dasar-dasar pengajaran kepada anak cara Jerman. “Sekarang sudah berubah di Indonesia. Dulu, anak tidak terlalu dihargai. Pendidikan itu dari atas. Jadi seperti di siram,” kata Endang, dan menambahkan, “Kalau disiram, orang tua berpikir, anaknya akan tumbuh.” Sedangkan di Jerman, dalam hal Bildung, anaklah yang aktif. Sedangkan Erzieher, yang artinya orang yang memberikan didikan, adalah yang memberikan bantuan agar anak bisa tumbuh dengan baik.
Menurut Endang, itulah yang membuat dia tertarik, sehingga dia memutuskan mengambil titik berat pendidikan anak. “Jadi aku mendalami konsep-konsep Kindergarten [taman kanak-kanak] di Jerman,” kata Endang. Dia menjelaskan, dalam jurusan Pädagogie di Jerman, mahasiswa awalnya belajar ilmu pengajaran secara umum. Setelah itu bisa memilih titik berat, misalnya untuk menjadi Sozialarbeiter atau pekerja sosial, untuk mengajar orang dewasa, juga untuk remaja. Jurusan yang dipilih Endang di Universitas Tübingen adalah frühkindliche Erziehung atau pengajaran dini bagi anak, yang sekarang disebut Kindheitspädagogik.
Ia menjelaskan, di Indonesia dulu ketika dia masih kecil, seorang anak biasanya dituntut untuk belajar berbagai hal sebanyak mungkin. Sehingga pendidikan yang ia timba untuk menjadi guru di IKIP Medan sejalan dengan pandangan itu. Di Jerman, tidak demikian, terutama dalam pengajaran dini bagi anak. “Walaupun kita sebagai orang tua punya tujuan, anak mau dibawa ke mana, tapi kita harus lihat, potensinya anak itu apa?” Endang mengambil contoh, jika seorang anak tidak mau bermain musik, jika dipaksa tidak ada gunanya. “Jadi harus komunikasi dengan anak.” Sedangkan di Indonesia, anak-anak diajarkan untuk patuh.
Menghargai pendapat anak dan menanamkan demokrasi
Endang menjelaskan lebih lanjut, “Itu ada kaitannya dengan demokrasi.” Kalau di Indonesia, program pengajaran sudah jelas, dan anak-anak harus ikut dari awal hingga akhir. Di Kindergarten, atau TK di Jerman, pengajar memang punya konsep. “Walaupun aku punya konsep, aku harus lihat dulu, mereka tertariknya apa, gitu lo.” Dia mengambil contoh, walaupun dia sudah membuat rencana akan membicarakan soal tanaman, tetapi kalau anak-anak lebih tertarik dengan binatang, maka dia harus mengubah konsep dan menyesuaikan dengan tema yang disukai anak-anak. “Karena mereka belajarnya akan lebih berhasil, daripada kalau aku ambil temaku sendiri,” begitu ditekankan Endang.
Ia juga melihat dirinya sendiri dengan kritis. Dia mengatakan, dalam mendidik dua orang anaknya, yang sekarang berusia lima dan tiga tahun, waktu sedang marah dia kadang tidak sengaja juga mengikuti pola pendidikan yang dia peroleh, sehingga berpikir, “Aku orang tua, jadi mereka harus patuh!”
Tapi ia kemudian mengintrospeksi diri lagi. “Ga bagus cara ini! Kan aku sudah tahu bagaimana cara mengajar anak.” Mereka harus dididik untuk bisa berpikir sendiri, dari sekarang, begitu ditambahkan Endang. Sedangkan di Indonesia, ada anak-anak yang diajarkan untuk tidak usah berpikir sendiri.
Ia mengungkap, “Mungkin buat orang Indonesia, anak-anakku dianggap frech [kurang ajar], tapi mereka bisa berpikir sendiri. Mereka bisa mengatakan, ‘Aku sekarang tidak mau.’” Dan itu bagus, karena berarti mereka bisa mengeluarkan pendapat, walaupun tanpa cara yang keras. Begitu ditekankan Endang. Dia menambahkan, anak-anak dari teman-temannya yang orang Indonesia, juga seperti anaknya, karena sudah mendapat pendidikan di TK Jerman.
Anak lebih penting daripada pekerjaan
“Jadi aku itu sebetulnya masih mencari apa yang aku mau,” kata Endang sambil tertawa, dan menambahkan, “belum dapat sepertinya.” Dia mengatakan lebih lanjut, dia juga pernah bekerja di bidang Fachberatung für Kindergarten yang artinya: pemberian saran ahli bagi TK. Tapi sebagai pemberi nasehat, dia merasa masih kekurangan sesuatu. Sehingga dia beralih menjadi Kindergartenleitung, atau kepala TK.
Tetapi setelah punya anak, dia merasa tidak bisa bekerja seratus persen. “Karena aku pikir, apa yang penting untukku, ya anakku juga.” Dia menambahkan sambil tertawa, “Ya kalau punya anak, susahnya di situ.” Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk menjadi Erzieherin, atau pendidik saja sekarang, dan bekerja di Krippe atau tempat penitipan anak. Nanti kalau anak-anaknya sudah besar, dia akan kembali memimpin TK.
Dia menjelaskan, ketika memimpin TK dia bekerja dengan anak-anak yang berusia 3 sampai 6 tahun. Sedangkan anak-anak di Krippe berusia antara 8 bulan sampai 3 tahun. Endang menjelaskan pula, jika berprofesi sebagai guru, maka orang bekerja di sekolah, dan bersekolah adalah kewajiban bagi semua anak. Sedangkan Erzieher dengan latar belakang pendidikan seperti dia bekerja di tahap pendidikan sebelum sekolah, yang sesungguhnya tidak diwajibkan.
Tetapi di Jerman, anak-anak punya Anspruch atau bisa mengklaim untuk mendapat tempat di sebuah TK, begitu dijelaskan Endang. Jadi anak-anak bisa saja dididik sendiri oleh orang tuanya, sebelum mulai bersekolah. Tetapi menurut Endang, anak-anak juga butuh sosialisasi dengan anak lain. Itulah yang penting, dan itu mereka peroleh di TK. Selain itu, di TK anak-anak di Jerman diajar untuk mandiri, dan berdemokrasi.
Jadi di TK ada adu pendapat, kata Endang, demikian juga dengan Abstimmung, yang artinya pemilihan berdasarkan pengumpulan suara terbanyak. Umpamanya anak-anak bisa memilih antara pergi mengunjungi peternakan, atau ke kebun binatang. Dari suara terbanyak diputuskan ke mana mereka akhirnya akan pergi. Berbeda dengan di TK, di Krippe anak-anaknya masih lebih muda lagi, sehingga banyak yang belum bisa berbicara.
“Jadi dulu itu, aku sebenarnya ingin pulang ke Indonesia, kemudian mengajar guru TK di sana, bagaimana caranya mengajar anak-anak,” kata Endang. Dia menambahkan, dulu waktu di Indonesia, dia sama sekali tidak ada gambaran bagaimana sebaiknya mengajar. “Dulu kan, bapakku guru, adikku guru. Jadi waktu ke sini, zufällig [kebetulan] aku melihat, ternyata bidang studinya banyak sekali. Itu ga ada di Indonesia. Dulu ga ada. Yang ada IKIP, untuk jadi guru. Tapi Erziehungswissenschaft [ilmu bagaimana mendidik anak secara umum] dulu ga ada.” Begitu diungkap Endang, dan menambahkan, “Karena itu banyak yang mudah dipengaruhi orang lain, karena tidak diajarkan untuk berpikir sendiri sebagai individu.” Ia juga menambahkan, di Indonesia kebiasaan membaca sangat kurang.
Bekerja di Krippe sejak pandemi melanda
Endang bercerita, dia sebenarnya lebih suka bekerja di TK dibanding dengan di Krippe, karena di Kindergarten orang bisa berkomunikasi lebih baik dengan anak-anak. Tetapi ketika wabah COVID-19 mulai melanda, TK di Jerman sebagian besar tutup. Kala itu, berdiam diri dan tinggal di rumah jadi tantangan bagi dia dan anaknya yang berusia tiga tahun. “Dia itu seperti aku,” kata Endang, “ga bisa diam di rumah. Aku sepertinya depresi, dan dia perlu orang untuk sosialisasi.” Kalau tidak, dia dan anaknya tidak merasa tenang, dan tidak merasa kebutuhannya tercukupi.
Jadi akhirnya, Endang bekerja sebagai Erzieherin di Krippe. Maka ibu dan anak bersama-sama pergi ke Krippe setiap hari, dan pulan juga bersama-sama. Itu dilakukan Endang, meskipun dia lebih senang bekerja di TK, dan meskipun dia, sebagai tamatan universitas, punya kualifikasi yang terlalu tinggi. Karena di Jerman untuk menjadi Erzieherin orang bisa mengikuti pendidikan khusus, tanpa harus berkuliah di universitas.
Bekerja di TK dan di Krippe konsepnya sebenarnya hampir sama, kata Endang. Pagi-pagi mereka menyambut anak-anak yang baru datang. Kemudian mereka mengadakan aktivitas yang disebut Morgenkreis, di mana anak-anak bernyanyi bersama-sama atau mendengarkan cerita. Aktivitas ini biasanya memiliki tema aktual. Saat ini, di awal tahun, temanya Frühling atau musim semi.
Setelah makan bersama, mereka melakukan aktivitas kerja tangan. Atau mereka pergi ke luar bersama-sama. Misalnya ke hutan di dekat Krippe, atau pergi ke tempat bermain yang umum, atau bersenam. Untuk aktivitas seperti itu, setiap hari sudah ada rencananya, bahkan setiap minggu.
Tapi kembali lagi, minat anak-anak juga diperhitungkan. Jika mereka tidak ingin melakukan kerja tangan, atau tidak ingin senam, mereka tidak dipaksa. Menurut Endang kebanyakan anak sudah bisa berbicara dan mengatakan mengapa mereka tidak mau. Jika mereka tidak berminat, mereka bisa duduk di samping, atau boleh melakukan hal lain. “Jadi mereka didorong, tapi tida dipaksa,” begitu ditekankan Endang.
Selain itu, sebagai Erzieherin di Krippe, Endang yang sudah banyak punya pengalaman bertanggungjawab atas penawaran tema-tema yang diajarkan. Selain itu, dia juga harus mengorganisir Elterngespräch atau pertemuan dengan orang tua murid. Dalam pertemuan seperti itu, para pendidik harus memberikan laporan kepada orang tua anak tentang perkembangan anak itu.
Antara lain, bagaimana anak itu berkembang dari segi bicara dan berbahasa. Untuk itulah, di Krippe juga ada program Sprachförderung atau dorongan untuk perkembangan bicara. Itu mencakup antara lain pembacaan cerita bagi anak-anak, atau Mitmachtheater, di mana anak-anak ikut aktif untuk berbicara dalam drama. Dari itu dilihat, misalnya, kapan anak itu bisa mengucapkan satu kalimat dengan baik dan benar. Itu semua dilaporkan ke orang tua berdasarkan hasil pengamatan para pendidik atas seorang anak, yang harus didokumentasikan.
Selain itu, bagaiman anak itu berteman dengan anak lainnya. Apakah dia berteman, dan kapan dia mulai berteman? Apakah dia perlu bantuan untuk mendapat teman? Karena anak kecil tidak langsung mempunyai teman, jadi ada fase awalnya. Demikian dijelaskan Endang.
Para pendidik juga memperhatikan, jika seorang anak menangis. Apa penyebabnya? Kadang ada anak yang ingin menang terus. “Jadi anak itu harus diajarkan juga untuk menerima, bahwa dia tidak bisa selalu menang.” Di Krippe, itu juga bisa dilihat dalam hal mainan. “Jika ada anak yan mau mengambil dengan paksa mainan dari anak lain, maka kami, pendidik, bilang ke anak itu, bahwa dia harus sabar menunggu sampai anak yang lain sudah selesai menggunakan mainan tersebut.” Demikian dijelaskan Endang.
Dia menjelaskan, misalnya ada anak yang memukul anak lainnya, maka anak itu harus diberitahu bahwa itu tidak boleh dia lakukan. Anak itu harus diberitahu untuk mengungkapkan pendapatnya atau perasaannya dengan kata-kata atau berbahasa. Yang dipukul diajarkan untuk bisa membela diri dengan berkata, “Kamu jangan pukul aku. Itu harus dibilang dengan tegas dan dengan suara yang keras, supaya anak yang lain itu mengerti.”
Memang terpanggil untuk mendidik anak kecil
Ia mengungkap, dia memang merasa terpanggil untuk bekerja dengan anak kecil, dan bukan untuk menjadi guru SMA, karena nampaknya dia bisa berkomunikasi dengan anak kecil. Anak-anak selalu merasa senang dengan keberadaan dan bimbingan Endang.
Namun demikian, kesulitan dengan orang tua anak juga pernah dia alami. Di Krippe anak-anak memang masih kecil, jadi belum terlalu pintar berbicara. Tetapi di TK, mereka bisa menceritakan ke orang tuanya sesuatu yang sangat berbeda dari kejadian sebenarnya. Misalnya, bahwa dia dipukul anak lain. Atau si Erzieherin tidak baik atau tidak adil terhadap dia. Hal seperti itu ditangani lewat apa yang disebut Elterngespräch yang artinya pembicaraan dengan orang tua murid. Endang menjelaskan, “Dalam pembiaraan orang tua bisa mengungkapkan masalah mereka dan bersama dengan orang tua anak, kami berusaha mencari solusinya.”
Kesulitan seperti itu juga pernah dialami Endang. Namun demikian, menurut Endang, kesulitannya masih bisa dibilang ringan, dibanding jika terjadi di sekolah, di mana murid-murid sudah lebih besar lagi. Endang bercerita, ketika dia masih bekerja sebagai kepala TK, dia pernah mengalami bagaimana orang tua sudah dijelaskan tentang masalah anaknya. Tetapi mereka tidak mau menerima, sehingga akhirnya mereka memindahkan anaknya ke TK lain.
Selain mendokumentasikan perkembangan seorang anak, dan kemudian dilaporkan ke orang tuanya, hal lain yang harus lakukan seorang Erzieherin adalah memberikan penilaian apakah seorang anak sudah bisa selesai dengan TK dan mulai bersekolah. Terutama jika seorang anak laki-laki dan lahir di bulan Juni atau Juli, ada kemungkinan mereka belum siap secara emosional untuk mulai bersekolah. Demikian dijelaskan Endang. Dalam hal itu, mereka biasanya dianjurkan untuk satu tahun lebih lama lagi di TK.
Tapi keputusan seperti itu tidak hanya dibuat seorang pendidik, melainkan juga bersama seorang psikolog dari Gesundheitsamt atau badan kesehatan. Mereka menilai, apakah seorang anak tidak menangis kalau berada bersama orang yang asing, juga apakah dia bisa berkonsentrasi selama kira-kira setengah jam, dan bisa diberikan tugas. Mengingat sudah pernah terjadi bahwa anak yang mulai bersekolah ternyata belum schulfähig atau siap untuk bersekolah, satu tempat di TK biasanya dikosongkan bagi anak yang ternyata harus kembali ke TK lagi. Begitu dijelaskan Endang.
Punya anak jadi tantangan terbesar
Bagi Endang, tantangan dari pekerjaan sebenarnya tidak ada yang besar. Tantangan utama yang dia hadapi adalah setelah punya anak. Karena jika anak tidak bisa bersekolah, misalnya karena TK tutup, maka dia tidak bisa bekerja. Sekarang di Krippe, kadang ada pertemuan dengan rekan kerja lainnya, dan itu selalu di siang hari setelah jam 12. Mengingat anaknya yang kecil hanya sampai pukul 12 di Krippe, maka dia harus membayar baby sitter untuk menjaga anaknya selama dia bekerja siang itu.
Itulah bedanya, kalau punya anak di Indonesia, kata Endang. Di Jerman, dia tidak bisa menitipkan anaknya di keluarga. Jika bisa menitipkan anak di kenalan, kemungkinannya terbatas pula, begitu keluh Endang.
Menurut Endang hidup di Jerman enak. “Waktu aku kuliah dulu di Tübingen, wah seperti Paradies [surga] karena tidak perlu bayar kuliah. Bisa sambilan kerja. Sekarang, setelah punya anak, dapat Kindergeld [santunan dari pemerintah bagi yang punya anak].” Jadi Endang harus berpikir keras terlebih dahulu, untuk bisa mengatakan, apa tantangan lainnya, yang dia hadapi selama ini di Jerman.
Endang bercerita, kalau berhadapan dengan orang Jerman, dia tidak merasa minder dan berani terus berbicara. “Aku itu orang Batak, lo,” kata Endang, dan menambahkan, “Orang Batak itu lain.” Begitu kata Endang dengan serius. Ia mengaku jika berhadapan dengan orang Indonesia, dia tidak terlalu banyak berbicara, dan kadang ragu-ragu.
Saran dari Endang untuk orang Indonesia yang mau ke Jerman: sebanyak mungkin berkomunikasi dengan orang Jerman. Tujuannya, supaya penggunaan bahasa Jerman cepat lancar dan bisa mengerti kebudayaan orang Jerman.
Menurut Endang, karena sudah lama berada di Jerman, dia, dan kemungkinan orang Indonesia lain yang sudah lama tinggal di Jerman, tidak bisa dibilang seratus persen orang Indonesia lagi. Tapi dia juga bukan orang Jerman, melainkan sudah menjadi percampuran dua kebudayaan. “Sekarang aku punya individualitas tersendiri. Kepribadian tersendiri. Kita bentuk diri kita sendiri.” (ml/hp)