Komik Indonesia apa yang Anda suka? Rasa kebangsaan tak bisa dipaksakan meski melalui latihan bela negara ala militer. Kita bisa belajar hal baik dari apa saja, termasuk dari komik. Seperti pengalaman Anton Kurnia.
Iklan
Merah putih serentak berkibar di arena Olimpiade di Rio de Janeiro, Brasil, saat pasangan ganda campuran Ahmad Tantowi dan Liliana Natsir berhasil menggondol emas setelah menaklukkan pasangan Malaysia. Rasa nasionalisme segenap warga negara Indonesia pun seakan membeludak. Ada suatu perasaan kebersamaan yang hangat bahwa kita satu bangsa dan satu negara dan kita bangga menjadi orang Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Bicara soal nasionalisme, saya belajar rasa kebangsaan itu bukan dari upacara bendera setiap hari Senin di sekolah, melainkan dari komik. Tidak salahkah?
Seperti pernah diungkap Marcell Boneff dalam "Sebuah Cermin Ideologi: Cerita Bergambar Indonesia" (1983), di Indonesia komik kerap dianggap hanya "sampah khayalan untuk menyibukkan anak-anak, para buta huruf dan tukang mimpi". Para pendidik dan kaum puritan serta-merta merendahkannya dari sudut pandang moral secara a priori.
Namun, bagi saya komik adalah kawan yang baik. Sejak kecil minat baca saya dipupuk lewat koleksi komik di rumah yang saat itu lumayan bejibun. Banyak hal baik yang saya pelihara sampai saat ini berasal dari komik-komik yang saya baca itu. Seperti kata Carlos Fuentes, novelis ternama Meksiko, "Dirimu ditentukan oleh apa yang kau makan. Kau juga cerminan dari komik-komik yang kau gemari semasa kecil."
Komik favorit saya terutama karya Djair. Teristimewa serial Jaka Sembung yang berlatar Nusantara abad ke-17. Jaka Sembung alias Parmin Sutawinata adalah pahlawan pembela kaum lemah dan tertindas yang teguh memberontak terhadap kekuasaan kaum penjajah.
#PustakaBergerak Tebar Buku Hingga ke Pelosok Terpencil
Di tengah maraknya pemberangusan buku, Pustaka Bergerak tak kenal lelah bangkitkan minat baca dengan perahu, motor, becak bendi,dll. hingga ke pedalaman. Di Mandar, Nusa Pustaka dibangun sekaligus jadi museum maritim.
Foto: Maman Suherman
Perpustakaan di Mandar
Nusa Pustaka adalah perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi barat yang diresmikan Maret 2016.
Foto: Maman Suherman
Armada pustaka
Mengandalkan Armada Pustaka untuk membuka ruang baca ke masyarakat Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan Alimuddin mendirikan ativitas literasi lewat Nusa Pustaka di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Ridwan, pejuang literasi
Muhammad Ridwan Alimuddin dulunya merupakan mantan wartawan. Ia punya kepedulian luar biasa terhadap buku dan usaha membangkitkan minat baca hingga ke pelosok.
Foto: M. Ridwan
Dengan perahu
Dengan perahu atau sampan, Ridwan berkelana membawa buku ke pulau-pulau kecil, agar bisa sampai kepada anak-anak di pelosok terpencil yang haus buku bacaan .
Foto: M. Ridwan
Museum maritim
Perpustakaan ini sekaligus merupakan museum maritim Mandar. Saat ini Perpustakaan Museum Nusa Pustaka mengoleksi lebih dari 6000 buku dan beberapa artefak kebaharian. Misalnya tiga unit sandeq, replika perahu, beberapa alat bantu kerja nelayan dan artefak bangkai perahu Mandar.
Foto: Maman Suherman
#TebarVirusLiterasi
Tujuan utama dibangunnya Nusa Pustaka adalah agar buku-buku dapat dimanfaatkan secara maksimal, mudah diakses masyarakat yang ingin membaca dan meminjam buku setiap saat.
Foto: Maman Suherman
Bisa membaca dimana saja
Nusa Pustaka itu menampung sedikitnya 6.000 buku bacaan, baik buku sastra, komik, budaya, maritim, maupun buku ilmu pengetahuan umum. Anak-anak bisa membaca di mana saja dengan santai, bahkan di luar perpustakaan.
Foto: Maman Suherman
Dukungan sahabat
Motivator dan penulis Maman Suherman setia menemani perjuangan Ridwan. Ketika Maman ikut berlayar bersama perahu pustaka, perahu terbalik di lautan pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka. Hampir semua warga di pantai bergegas berupaya menyelamatkan mereka dan buku-buku yang karam ke laut.
Foto: DW/M. Ridwan
Minat besar
Masyarakat setempat khususnya anak-anak amat antusias menyambut Nusa Pustaka. Bahkan ketika masih persiapan pembangunannya pun beberapa pelajar setiap hari sudah mampir ke Nusa Pustaka untuk bisa membaca buku.
Foto: Maman Suherman
Dukungan dari manca negara
David Van Reybrouck, sejarawan dari Belgia memberikan dukungan bagi inisiatif ini. Penulis karya sastra non-fiksi, novel, puisi dan drama ini berkunjung ke Nusa Pustaka dan berdiskusi dengan masyarakat setempat.
Foto: Maman Suherman
Andalkan berbagai armada demi ilmu pengetahuan
Armada Pustaka selain memiliki Perahu Pustaka, juga menyebar buku lewat Motor Pustaka, Sepeda Pustaka, Bendi Pustaka dan Becak Pustaka, yang menjadi tonggak gerakan literasi bersama.
Foto: Maman Suherman
Bendi pustaka
Delman atau bendi lazimnya juga disulap oleh para pegiat literasi ini menjadi perpustakaan keliling di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Sang sais Bendi Pustaka
Rahmat Muchtar, keua dari kiri, adalah sais Bendi Pustaka. Ia berfoto bersama Maman dan Ridwan.
Foto: DW/M. Ridwan
13 foto1 | 13
Nasionalisme yang Menghargai Pluralitas
Djair dikenal sebagai komikus produktif, eksploratif, dan inovatif pada masanya yang mewarnai sejarah komik Indonesia. Selain serial Jaka Sembung yang melesatkan namanya, Djair juga menggubah komik bergenre cerita silat lepas berlatar historis revolusi kemerdekaan seperti Pelet, Pekutukan, Lebak, Djerit Dalam Debu, dan Sangsaka Berlumur Darah.
Setidaknya ada dua hal yang patut dicatat dari komik-komiknya, khususnya serial Jaka Sembung. Pertama, semangat nasionalisme. Kedua, penghargaan atas pluralitas.
Karakter Jaka Sembung amat populer sehingga banyak orang mengira tokoh pendekar yang dikisahkan bermukim di desa Kandanghaur (kini sebuah kecamatan di wilayah kabupaten Indramayu), Jawa Barat, itu adalah tokoh faktual-historis. Tokoh Jaka Sembung muncul pertama kali lewat episode Bajing Ireng setebal 63 halaman terbitan Maranatha, Bandung, pada 1968. Judul terakhir atau ke-25 dari serial ini adalah Jaka Sembung vs Si Buta dari Goa Hantu (2010).
Perang Dunia 1 dalam Buku Anak-Anak
Buku bertemakan perang bagi anak-anak antara tahun 1914 dan 1918 di Eropa ditujukan mendorong ketertarikan anak pada Perang Dunia. Namun tidak semuanya berisi propaganda nasionalis.
Foto: DW/S. Hofmann
Ayah berperang
Ketika pada bulan Agustus 1914 Eropa - bahkan kemudian di seluruh dunia – saling berperang, hal itu dialami juga oleh anak-anak. Ayah dan saudara laki-laki mereka pergi berperang, sementara keluarga ditinggalkan sendirian. Tidak mengherankan jika sejumlah buku anak-anak pada masa itu mengambil tema perang.
Foto: DW/S. Hofmann
Humor dalam perang?
Inggris benar-benar dikenal karena humor hitam mereka. Hal ini sebenarnya juga berlaku untuk buku anak-anak. "Tapi selama perang," inilah kesan yang didapat Claudia Pohlmann setelah melihat beberapa buku yang dievaluasi dalam pameran, "tampaknya akibat kengerian, humor juga hilang. Sebuah kerugian bagi sastra anak-anak."
Foto: DW/S. Hofmann
Perang dan epilog
Banyak buku anak-anak memiliki karakter lucu, seperti dalam buku “Si Kerudung Merah" versi Perancis. Di buku digambarkan bagaimana Perancis bersama dengan sekutu-sekutunya berupaya melawan serigala jahat Jerman. Sementara dalam buku-buku perang anak-anak Jerman (lihat gambar) - sering disajikan kemenangan mudah dalam peperangan.
Foto: DW/S. Hofmann
Papan permainan dan kartu
Perang tidak hanya digambarkan dalam buku-buku, tetapi juga dalam bentuk papan permainan atau permainan kartu, seperti ini dari "Si Hitam Peter dari Serbia". Di balik permainan ini, perang tidak hanya beraspek pendidikan propaganda, tetapi juga sangat banyak lebih komersial. Dari perspektif penerbit, perang menjadi sarana terbaik dalam mencari uang.
Foto: DW/S. Hofmann
Pelajaran di sekolah
Buku-buku tidak hanya dibaca di rumah. Di sekolah, guru juga menyerukan semangat patriotik. Seringkali, pelajaran gagal diberikan, karena sekolah dijadikan rumah sakit - atau karena tidak ada batubara dan kayu untuk pemanas ruangan. Sementara karena buruknya perekonomian dalam masa perang, maka anak-anak harus bekerja.
Foto: DW/S. Hofmann
Buku anak perempuan
Banyak literatur perang mengusung petualangan berjiwa muda - dan terutama diarahkan untuk anak laki-laki. Tapi anak perempuan juga jadi "sasaran". Buku-buku ini terutama ditujukan pada apa yang disebut "fron kampung halaman" - sebagaimana kisah "Anak Keras Kepala" atau "Anak Bungsu" yang mengalami perang di Berlin, Jerman.
Foto: DW/S. Hofmann
Antara pencetakan berkecepatan tinggi dan seni
"Para juru gambar buku anak-anak di bawah tekanan waktu, jika yang harus ditangani adalah sebuah pertempuran," kata peneliti buku anak-anak dan mitra kurator Friedrich C. Heller. Tapi buku-buku Perancis secara konsisten menampilkan kualitas sangat tinggi. Foto: Invasi Jerman di Belgia, yang digambarkan dalam buku anak-anak Perancis: sepatu lars Jerman yang menginjak Liege, Belgia.
Foto: DW/S. Hofmann
Brosur dan panggilan perang
Juga di sejumlah brosur dan billboard muncul anak-anak, seperti dalam iklan cetak tahun 1915 ini, yang hadir dengan teks "Kita tidak boleh kelaparan." Dengannya diserukan sumbangan untuk anak-anak. Satu hal yang tidak boleh dilupakan: anak-anak tahu tentang perang tidak hanya dari buku, mereka mengalaminya setiap hari.
Foto: DW/S. Hofmann
Tidak ada jejak euforia
Dengan semakin melajunya perang, maka ilustrasi dalam buku anak-anak dan remaja semakin gelap. Bertentangan dengan apa yang disebut “lelucon“, dalam beberapa publikasi, disajikan gambaran realistis tentang kekejaman perang modern pertama, yaitu penggunaan gas beracun dan serbuan tank.
Foto: DW/S. Hofmann
Katedral Reims
Bahkan buku yang bernada pasifisme juga ada, meskipun tidak banyak. Kelelahan akibat perang, membuat para penulis buku anak-anak sekarang tampaknya rindu perdamaian. Dalam terbitan Perancis, "Reims, da Cathédrale“ ditampilkan mimpi atas dunia yang ideal. Kehancuran katedral Reim lama dianggap sebagai wujud kebarbaran Jerman di Perancis. Dalam buku, katedral muncul sebagai simbol yang menyatukan.
Foto: DW/S. Hofmann
Damai? Hanya dalam waktu yang singkat
Pada 11 November 1918, akhirnya penguasa Jerman melakukan gencatan senjata dengan Perancis dan Inggris. Namun perdamaian itu tidak bertahan. Banyak bocah laki-laki yang telah membaca buku cerita selama Perang Dunia Pertama, pada tahun 1939 menjadi tentara dalam perang berikutnya.
Foto: DW/S. Hofmann
Dari buku gambar prajurit menjadi tentara sesungguhnya
"Ketika sebagai anak-anak menyaksikan tayangan visual berulang, maka tanpa disadari mereka membentuk pemahaman diri sebagai seorang prajurit, demikian menurut peneliti buku anak-anak, Heller. "Ini bukti bahwa kekuatan gambar dan teks tidak bisa diremehkan."
Foto: DW/S. Hofmann
12 foto1 | 12
Sebelum Djair, Ganes Th melalui serial komik Si Buta dari Goa Hantu memang telah menggunakan kesadaran "Wawasan Nusantara" melalui petualangan Si Buta dan Wanara ke berbagai daerah di tanah air sebagai latar cerita. Namun, baru melalui serial Jaka Sembung kesadaran tentang nasionalisme yang tecermin dalam perjuangan Jaka Sembung dan kawan-kawannya melawan kaum penjajah Belanda dengan tujuan meraih kemerdekaan muncul sebagai wacana yang signifikan dalam komik silat kita. Itu diperkuat dengan petualangan Jaka Sembung dan orang-orang dekatnya ramai-ramai menuju timur saat dihukum buang oleh penguasa kolonial, yakni Maluku (dalam episode Iblis Pulau Aru, Wori Pendekar Bumerang, dan Singa Halmahera) dan Papua (episode Badai di Laut Arafuru dan Papua). Kedua wilayah di ujung timur Nusantara itu bahkan "belum sempat" dirambah oleh Si Buta dari Goa Hantu alias Badra Mandrawata.
Lewat serial Jaka Sembung, Djair juga membangkitkan kesadaran akan pluralitas dan kebhinnekaan melalui beragam latar belakang karakter-karakternya, termasuk para pendekar tuna grahita. Dalam serial panjang itu terdapat tokoh protagonis Awom-jago panah asal Papua yang diangkat sebagai panglima "angkatan udara" benteng Kandanghaur, Matusea si panglima "angkatan laut" yang berasal dari Halmahera dan Tuhumuri yang berdarah Maluku, Wori si pendekar bumerang yang berasal dari suku Aborigin di Australia tapi bergabung dengan pasukan Jaka Sembung, A Siong yang Tionghoa tapi berjuang melawan penjajah, Thomas van den Smoeth yang berdarah Belanda tapi bertempur di pihak pribumi, Baureksa si kaki tunggal yang beretnis Sunda, serta sepasang pendekar asal Banten: Umang yang bertangan satu dan istrinya, Mira.
Mereka bersatu dan berjuang bersama Parmin alias Jaka Sembung dan istrinya Roijah si Bajing Ireng beserta para pengikutnya yang berbasis di Kandanghaur, Jawa Barat, untuk melawan penindasan kaum penjajah kolonial Belanda yang dibantu para kakitangan mereka, yakni orang-orang kita yang rela menggadaikan kemerdekaan demi harta, takhta, dan hidup sejahtera.
Dalam komik-komiknya itu, Djair menggambarkan tokoh jahat dan tokoh baik itu bisa berasal dari etnis atau bangsa apa saja. Ada bumiputra yang baik, tapi ada pula yang bajingan. Ada Tionghoa yang tamak, tapi ada pula yang dermawan. Ada bule yang bengis, tapi ada pula yang budiman.
Kita bisa belajar hal baik dari apa saja, termasuk dari komik. Nasionalisme atau rasa kebangsaan tak bisa dipaksakan meski melalui latihan bela negara ala militer. Namun, rasa itu harus dihayati dan dimaknai oleh pengalaman personal setiap individu untuk kemudian diamalkan secara adil dan beradab.
Penulis:
Anton Kurnia, penulis dan pembaca, bergiat di penerbit Baca dan Komite Buku Nasional.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Menciptakan Dunia Fantasi
Putri duyung, naga dan tukang sihir berkeliaran di dunia yang diciptakan penulis buku anak dan remaja yang paling terkenal di Jerman saat ini, Cornelia Funke. Ini sebagian karyanya, dalam pameran di Lübeck.
Foto: Loewe Verlag/Cornelia Funke
Dimulai dari Ilustrasi
Sejak 25 tahun lalu Cornelia Funke selalu ciptakan dunia fantasi. Awalnya ia bekerja sebagai pembuat ilustrasi buku anak-anak. Ide untuk membuat kisah dua putri duyung, Lilli dan Flosse timbul ketika membuat gambar dasar laut dengan kapal tenggelam, peti harga dan mahluk laut. "Lilli, Flosse und der Seeteufel" (Lilli, Flosse dan Setan Laut) adalah karya awalnya.
Foto: Dressler Verlag/Cornelia Funke
Kesuksesan di Seluruh Dunia
Lebih dari 50 judul sudah dipublikasikan Cornelia Funke. Terobosan ke dunia internasional dicapainya tahun 2000 dengan buku berjudul "Herrn der Diebe", sebuah cerita pengejaran lewat jalan-jalan sempit dan kanal kota Venesia. Kesuksesan terbesarnya, terutama trilogi "Tintenherz" dan seri "Reckless" diterjemahkan ke dalam belasan bahasa.
Foto: Dressler Verlag/Jörg Schwalfenberg
Beralih Dunia
Pameran berjudul "Cornelia Funke. Eine andere Welt" (Cornelia Funke, dunia lain) menunjukkan banyak fase karyanya sebagai penulis. Yang paling utama adalah 60 gambar yang dibuatnya, yang jadi sumber inspirasi bagi karya-karyanya. Selain itu ada juga sejumlah rekaman dan instalasi yang menunjukkan film.
Foto: picture-alliance/dpa
Juga Bagi Orang Dewasa
Pameran di Lübeck itu juga menunjukkan sejumlah ilustrasi karyanya yang tidak dipublikasikan. Misalnya tiga rancangan gambar sampul karya berjudul "Tintenherz", yang ditolak karena dianggap terlalu bersifat kanak-kanak. Penerbit yakin, dengan cerita itu, tidak hanya anak-anak melainkan orang dewasa juga bisa dijangkau.
Foto: Cornelia Funke
Hati, Darah dan Kematian
Pada gambar sampul "Tintenherz" bisa dilihat motif-motif, yang juga ada dalam cerita, misalnya sosok bayangan. Cornelia Funke menceritakan hidup sebuah keluarga yang tersedot ke dalam dunia fantasi buku ajaib. Karya ini sudah difilmkan dengan judul "Inkheart" (2009), yang antara lain diperani Brendan Fraser. Karya lanjutannya berjudul "Tintenblut" (darah tinta) dan "Tintentod" (kematian tinta).
Melalui Dunia Tinta
Bagaimana caranya mencari jalan di daerah fantasi trilogi Tintenherz? Peta ini tidak hanya dibuat Cornelia Funke bagi pembaca, tapi juga untuk mendorong proses penulisannya.
Foto: Dressler Verlag/Cornelia Funke
Semua Jenis Monster
Sebagian besar karyanya ditulis Cornelia Funke untuk anak-anak, juga diilustrasikan bagi anak-anak. Mahluk mengerikan dan dunia asing bisa ditemukan di sini dalam jumlah besar, misalnya dalam "Monstergeschichten" (cerita-cerita monster) dari tahun 1993. Dalam cerita pendeknya ia menulis, bahwa manusia juga bisa jadi monster.
Foto: Loewe Verlag/Cornelia Funke
Dan Buku Selalu Menarik
Tahun 1996 Cornelia Funke menciptakan tokoh "Mondscheindrachen" (naga sinar bulan). Ini jadi gambaran, bahwa karya sastra adalah jalan menuju dunia lain.