Belajar Penuh Rintangan di India
20 Juni 20124 Aprill 2009 merupakan tanggal bersejarah di India. Di hari itu, ditetapkan dalam konstitusi, bahwa pendidikan sekolah untuk anak-anak berusia antara 6 sampai 14 tahun adalah hak mendasar. Sejak saat itu pendidikan sekolah untuk anak sampai berusia 14 tahun gratis. Hanya pendidikan yang baik bagi anak-anak dapat menjamin pertumbuhan selanjutnya ekonomi India dan kemajuan menjadi negara adidaya. Demikian selalu ditekankan PM Manmohan Singh.
Meskipun niatnya baik, realita di India berbeda. 80 persen sekolah yang ada di India dikelola pemerintah. Dari pemeriksaan rutin selalu terbongkar kasus baru, dimana di sejumlah negara bagian yang miskin 40 persen guru tidak hadir secara teratur untuk mengajar.
Masalahnya adalah upah yang rendah. Seorang guru sekolah dasar mendapat gaji rata-rata 12 ribu Rupee per bulan. Atau sekitar dua juta rupiah per bulan.
Gambaran yang suram
Karena kurangnya tenaga guru, lebih dari separuh murid sebuah kelas di kawasan pedesaan terdiri dari berbagai tingkat kelas. Kadang satu kelas berisi 50-80 murid.
Pelajaran tidak jarang terdiri dari teknik yang dihafal. Meskipun demikian pakar pendidikan terkenal Indu Shahani dari Mumbai, yang sejak 30 tahun duduk sebagai penasihat dalam berbagai dewan, merasa optimis. "Murid-murid India ingin belajar, terserah apapun hambatan yang dihadapinya." Ditekankan Shahani.
Di India pendidikan menjadi simbol status. Oleh karena itu orang tua berusaha sekuat tenaga agar anak-anaknya dapat menempuh pendidikan bagus pada sebuah sekolah swasta.
Juga meskipun mereka hanya memiliki pendapatan sedikit dan sebagian diantaranya tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Banyak juga yang memiliki hutang.
Kecilnya anggaran pendidikan?
Pemerintah India tahu bahwa pendidikan seluruh penduduknya adalah masalah yang besar. Semakin banyak kritik terhadap pemerintah, dimana anggaran untuk pendidikan terlalu minim. Dalam anggaran belanja aktual jumlahnya meliputi 7,8 milyar Euro. Itu berarti kurang dari empat persen pendapatan domestik bruto PDB. Juga meskipun India di dunia masih memiliki tingkat buta huruf tertinggi, terdapat kemajuan. Jumlah orang yang dapat membaca, menulis dan menghitung dalam satu dekade terakhir meningkat 9 persen, yakni dari 65 persen menjadi 74 persen.
Pakar pendidikan Indu Shahani tidak yakin, bahwa pengeluaran anggaran yang besar bagi pendidikan dapat mengatasi masalah yang beragam di India. "Tidak diragukan bahwa pendidikan dan kesehatan masalah mendesak yang dialami India." Lebih lanjut dikatakan Shahani, "tapi hanya dengan mengucurkan dana ke dalam sistem tidak ada gunanya. Orang harus banyak menyesuaikan strateginya dengan kondisi waktu."
Pendidikan elit
Beberapa waktu lamanya India melakukan investasi terutama pada apa yang disebut universitas elit seperti "Indian Institute of Technology". Di universitas elit itu setiap tahunnya dididik 80000 mahasiswa jurusan teknik dalam tingkat pendidikan kelas dunia.
Hanya sekitar 20 universitas yang disubsidi pemerintah pusat. Lebih dari 200 perguruan tinggi dan sekitar 20.000 college dibiayai oleh masing-masing negara bagian di India. Itu berarti hanya sekitar 10 persen murid yang setelah lulus sekolah dasar dapat memperoleh kursi di perguruan tinggi. Harian-harian dipenuhi berita kasus bunuh diri dari mahasiswa muda yang pada masa ujian tidak mampu memenuhi harapan keluarganya.
Hanya sebagian kecil dari lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya, yang benar-benar menjadi akademisi elit di India. Kebanyakan dari lulusan tersebut hijrah ke Amerika Serikat, Inggris, Australia atau Kanada dimana mereka dengan kemampuan Bahasa Inggrisnya yang lancar cepat menjadi betah di negara-negara tersebut. Untuk menghentikan "Brain-Drain" ini, menteri kesehatan India Ghulam Nabi Azad baru-baru ini merancang rencana baru. Yakni setiap mahasiswa kedokteran yang untuk studi lanjutan pergi ke Amerika Serikat, harus kembali ke India. Jika tidak ia tidak dapat membuka praktek di Amerika Serikat. "Dalam tiga tahun terakhir kami hampir kehilangan 3000 dokter di Amerika Serikat", disampaikan Nabi Azad.
Tantangan pada pendidikan anak perempuan
PM Indira Gandhi sudah menjadi perempuan pertama yang menjabat kepala pemerintahan India pada tahun 1970-an. Meski demikian di banyak sektor, perempuan tetap kurang terwakili di India.
Diskriminasi dimulai setidaknya di tingkat pendidikan sekolah. Pada keluarga yang punya banyak anak, pendidikan sekolah anak perempuan seringkali dikalahkan demi pendidikan sekolah anak laki-laki.
Dalam masyarakat patrilineal seperti India, masih kental anggapan bahwa di masa tua hanya anak laki-laki yang dapat menghidupi keluarga. Anak perempuan akan menikah dan nantinya tidak akan lagi menjadi bagian keluarga.
Untuk itu Indu Shahani punya jawaban mudah "Orang tidak cukup mengatakan: Jika anak laki-laki dididik maka orang menanam investasi pada satu individu. Tapi jika seseorang mengirim anak perempuan ke sekolah, maka itu berarti menanam investasi pada satu keluarga atau bahkan pada seluruh desa".
Priya Esselborn/Dyan Kostermans
Editor : Vidi Legowo-Zipperer