64 tahun setelah peristiwa pembantaian warga Rawagede Karawang oleh tentara Belanda, pemerintah Belanda meminta maaf. Ahli sejarah mengatakan, langkah ini sudah sangat terlambat.
Foto: Getty Images/Keystone
Iklan
Jumat (09/12), pemerintah Belanda secara resmi menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban kasus pembantaian Rawagede yang dilakukan militer Belanda pada tahun 1947.
Permohonan maaf disampaikan langsung Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd De Zwaan, bertepatan dengan peringatan pembantaian di Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat.
Duta Besar De Zwaan usai melakukan tabur bunga di makam para korban mengatakan kepada wartawan, "Kita harus melihat ke masa sekarang. Saya sangat senang dan bangga bisa berada di sini hari ini. Saya diberi kesempatan oleh pemerintah Belanda untuk menyampaikan pernyataan yang saya sudah buat terkait Rawagede. Hari ini jelas adalah hari Rawagede. Apa pun yang terjadi selanjutnya, terjadilah. Saya meminta maaf hari ini langsung kepada orang-orang yang bersangkutan. Dan saya percaya ini adalah hal yang sesuai dengan hari seperti ini.”
Eksekusi Putusan Pengadilan Den Haag
Pada peringatan itu, Duta Besar Belanda juga mengumumkan pemberian kompensasi terhadap sembilan korban Rawagede. Ahli waris delapan janda, dan satu korban luka tembak peristiwa itu akan menerima ganti rugi sebesar 240 juta rupiah. Sejumlah keluarga korban mengaku sudah bisa memaafkan peristiwa itu. Ketua Yayasan korban Rawagede, Sukarman, berharap kompensasi itu segera bisa dinikmati kelurga korban.
Perang Diplomasi demi Kemerdekaan Indonesia
Tanpa diplomasi Sjahrir dan tekanan internasional, Belanda masih akan bercokol di Indonesia, kendati proklamasi 45. Inilah empat tahun bersejarah yang dipenuhi intrik politik, pengkhianatan dan agresi milliter Belanda
Foto: picture-alliance/ANP
Kapitulasi Jepang, September 1945
12 Agustus 45, tiga hari setelah bom atom menghancurkan Nagasaki, Panglima Militer Jepang, Jendral Terauchi Hisaichi mengundang Soekarno dan Radjiman Wedyodiningrat ke Da Lat, Vietnam. Kepada keduanya Hisaichi mengindikasikan Jepang akan menyerah kepada sekutu dan membiarkan proklamasi kemerdekaan RI. Baru pada 2 September Jepang secara resmi menyatakan kapitulasi di atas kapal USS Missouri.
Foto: picture-alliance/dpa/United States Library Of Congres
Proklamasi, Agustus 1945
Setibanya di Jakarta, Soekarno diculik oleh pemuda PETA ke Rengasdengklok. Di sana ia dipaksa mengumumkan kemerdekaan tanpa Jepang. Malam harinya Soekarno menyambangi Mayjen Nishimura Otoshi. Kendati tidak mendukung, Nishimura menawarkan rumahnya untuk dipakai merumuskan naskah proklamasi. Keesokan hari Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56
Foto: picture alliance/CPA Media
Kabinet Sjahrir I, November 1945
Soekarno dan Hatta diangkat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Keduanya memerintahkan Sutan Sjahrir, diplomat ulung yang kemudian menjadi perdana menteri pertama, buat mencari pengakuan internasional. Tugas Sjahrir adalah mempersiapkan Indonesia menghadapi pertemuan Linggarjati. Pidatonya yang legendaris di sidang umum PBB 1947 hingga kini masih tercatat sebagai momen paling menentukan
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Perundingan Linggarjati, November 1946
Dalam pertemuan yang dimediasi Inggris, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di Jawa, Madura dan Sumatera. Tapi Belanda nyaris bangkrut dan berniat mengamankan akses ke sumber daya alam Indonesia. Sjahrir yang ingin menghindari perang sempat menyetujui pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Belanda. Idenya ditolak Sukarno, dan Sjahrir harus mundur sebulan setelah penadatanganan perjanjian.
Foto: Public Domain
Agresi Militer I, Juli 1947
Akibatnya Belanda menyerbu Sumatera dan Jawa demi merebut sumber daya alam dan lahan pertanian. Apa yang oleh Indonesia disebut sebagai Agresi Militer, dinamakan Belanda "misi kepolisian" untuk menghindari campur tangan internasional. Parlemen Belanda awalnya menginginkan perluasan agresi buat merebut ibukota Yogyakarta, tapi ancaman sanksi PBB membuat Den Haag menarik pasukannya dari Indonesia.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville, Desember 1947
Di atas kapal USS Renville, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda cuma mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan. Belanda kala itu sedang menunggu pemilu legislatif. Pemerintahan yang baru kemudian mengambil kebijakan yang lebih keras terhadap Indonesia.
Foto: Publilc Domain
Agresi Militer II, Desember 1948
Belanda memanfaatkan masa liburan natal PBB buat menggelar Agresi Militer II. 80.000 pasukan diterjunkan. Soekarno, Hatta dan Sjahrir ditangkap. Akibatnya Sjafruddin Prawiranegara diperintahkan membentuk pemerintahan darurat. Uniknya operasi militer di Indonesia didukung 60% penduduk Belanda. Sembilan hari setelah dimulainya agresi, PBB menelurkan dua resolusi yang menentang serangan Belanda
Foto: Getty Images/Keystone
Konferensi Meja Bundar, Agustus 1949
Setelah menjalin kesepakatan dalam perjanjian Roem Roijen, Indonesia dan Belanda sepakat bertemu di Den Haag atas desakan internasional. Belanda bersedia menarik mundur pasukan dan mengakui kedaulatan RI di semua kepulauan, kecuali Papua barat. Sebagai gantinya Indonesia harus membayar sebagian utang pemerintahan kolonial, termasuk yang dipakai untuk agresi militer selama perang kemerdekaan.
Foto: Getty Images/Keystone
Penyerahan Kedaulatan, Desember 1949
Ratu Juliana menandatangani akta penyerahan kedaulatan kepada RI di Amsterdam pada 27. Dezember 1949. Setelah kemerdekaan, Indonesia tenggelam dalam revolusi buat mengamankan kesatuan republik. Sementara Belanda menghadapi tekanan internasional. Sikap Den Haag soal Indonesia dan Papua bahkan nyaris membatalkan keanggotaan Belanda di NATO, yang kala itu mendukung kemerdekaan Indonesia.
Foto: picture-alliance/ANP
9 foto1 | 9
Permintaan maaf beserta pemberian kompensasi oleh pemerintah Belanda itu dilakukan menyusul putusan pengadilan sipil di Den Haag Belanda, tiga bulan lalu, yang mengabulkan gugatan janda korban pembantaian Rawagede dengan tergugat Pemerintah Kerajaan Belanda.
Peristiwa Rawagede terjadi pada 9 Desember 1947. Ketika itu tentara Belanda secara membabi buta menembaki warga, karena gagal menemukan Kapten Lukas Kustaryo, seorang pejuang kemerdekaan yang juga komandan kompi Divisi Siliwangi yang diduga bersembunyi di desa itu. Pemerintah Indonesia menyebut jumlah korban mencapai 431 orang, sementera pemerintah Belanda sejauh ini hanya mengakui jumlah korbannya sebanyak 150 orang.
Pengungkapan Kasus Kejahatan Perang Lain
Para pegiat HAM di Indonesia berharap, keputusan ini bisa menjadi peluang positif bagi pengungkapan kasus kasus kejahatan perang lain yang dilakukan Belanda di Indonesia. Namun Sejarahwan Anhar Gongong memandang, peluang itu sangat kecil.
Anhar Gonggong, yang keluarganya juga pernah menjadi korban militer Belanda, menganggap permintaan maaf dan pemberian kompensasi itu tidak penting bagi bangsa Indonesia. Dan pemeriintah Belanda dianggap terlambat dalam menyampaikan permintaan maaf ini. "Kenapa baru sekarang, kenapa tidak dari kemarin kemarin. Apa artinya pengakuan itu, semua orang juga tahu, Rawagede itu cuma salah satu. Yang sekarang aja masih setengah hati kok. Itu hanya terpaksa. Yakin saya kalau ada yang menuntut kasus lain, dia tidak akan akui."