Kemenangan partai konservatif dalam pemilu parlemen Belanda ditanggapi media internasional dengan nada lega. Belanda disebut mampu membuktikan diri sukses melawan tren populisme di dunia.
Iklan
Bukan hanya media di Eropa tapi di seluruh dunia menulis komentar bernada positif atas kemenangan partai konservatif VVD dari PM petahana, Mark Rutte yang mengalahkan partai populis PVV pimpinan Geert Wilders. Dengan hasil pemilu itu, warga Belanda melontarkan sinyal penting bagi negara-negara lain di Eropa yang akan menggelar pemilu.
Harian Amerika Serikat Washington Post dalam tajuknya menulis komentar: hasil pemilu parlemen Belanda yang menunjukkan kekalahan tokoh populis kanan Geert Wilders bisa jadi indikator bagi pemungutan suara di Perancis dan Jerman yang digelar tahun ini. Di kedua negara penting Uni Eropa itu, juga terlihat tren menguatnnya sikap anti warga asing. Hasil perolehan suara itu dinilai sebagai pukulan telak bagi sikap anti orang asing dan populisme. Belanda kini menjadi pemutus rangkaian distorsi yang dimulai dengan referendum Brexit, dilanjutkan dengan kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden AS serta munculnya skeptisme pada integrasi Eropa.
Sementara harian terkemuka AS lainnya The New York Times walau komentarnya juga bernada memuji, tapi di dalamnya terselip peringatan cukup keras. Hasil pemilu di Belanda menunjukkan adanya ketidak percayaan kepada kelompok ekstrim kanan untuk memegang tampuk kekuasaan. Walau begitu Wilders berhasil menanamkan gagasannya kepada kelompok "mainstream" Belanda. Sebagian pemilih tetap memberikan suara bagi partai kanan yang melontarkan pesan tanpa kompromi saat kampanye. Hal ini akan ikut mempengharuhi politik dari pemerintahan koalisi baru.
Di Eropa terutama harian-harian Perancis yang akan menggelar pemilu presiden lima pekan lagi yang mengomentari hasil pemilu di Belanda itu. Harian Perancis Les Echos daloam tajuknya berkomentar, Belanda dalam pemilu parlemen yang ibaratnya ujian yang dibuat untuk Eropa, berhasil mencegah hal paling buruk. Pemilih Belanda mengikuti seruan kepala pemerintahannya, untuk mengerem spiral populisme di Eropa.
Seradikal Apa Ekstrem Kanan Eropa?
Perkembangan ekonomi yang terseok-seok, ketidakpuasan akan kebijakan Uni Eropa dan krisis imigran menyebabkan partai ekstrem kanan Eropa meraih sukses besar. Inilah para tokohnya serta politik mereka:
Foto: picture-alliance/dpa
Frauke Petry, Partai Alternative (Jerman)
Ketua Alternative für Deutschland AfD, Frauke Petry, menyarankan penjaga perbatasan menggunakan senjata terhadap pelintas perbatasan ilegal. AfD awalnya partai yang skeptis terhadap Uni Eropa. Sekarang mereka sudah menjadi kekuatan anti Eropa dan anti pemerintah. AfD berhasil meraih suara cukup besar dalam pemilu di sejumlah negara bagian Jerman Maret 2016.
Foto: Reuters/W. Rattay
Marine Le Pen, Front National (Perancis)
Banyak orang khawatir, bahwa Brexit dan kemenangan Donald Trump di AS bisa menjadi dorongan baru bagi partai ekstrem kanan Perancis, Front National. Partai itu didirikan 1972, dan kini dipimpin Marine Le Pen, yang 2011 mengambilalih kepemimpinan dari ayahnya, Jean-Marie Le Pen. Partai nasionalis ini menggunakan retorika populis untuk mendorong sikap anti imigran dan anti Uni Eropa.
Foto: Reuters
Geert Wilders, Partai Kebebasan (Belanda)
Pemimpin Partij voor de Vrijheid Belanda ini adalah salah satu politisi ektrem kanan paling penting di Eropa. Ia dinyatakan bersalah atas komentar penuh kebencian yang dilontarkan 2014 terhadap warga Maroko. Partainya dianggap anti UE dan anti Islam. Hadapi pemilu Maret 2017, jajak pendapat tunjukkan, partainya yang menduduki 15 kursi di majelis rendah, dapat dukungan besar.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Koning
Nikos Michaloliakos, Chrysi Avgi (Yunani)
Partai Golden Dawn adalah partai neo fasis Yunani. Pemimpinnya, Michaloliakos ditangkap September 2013 bersama sejumlah anggota lainnya, dan dituduh membentuk organisasi kriminal. Michaloliakos dibebaskan Juli 2015. Golden Dawn memenangkan 18 kursi dalam pemilu parlemen September 2016. Partai itu bersikap anti imigran dan mendukung kesepakatan dengan Rusia mengenai pertahanan.
Foto: Angelos Tzortzinis/AFP/Getty Images
Gabor Vona, Partai Jobbik (Hongaria)
Partai Jobbik yang anti imigrasi, anti LGBT, populis dan dukung proteksi ekonomi berusaha masuk dalam parlemen Hongaria tahun 2018. Sekarang mereka sudah jadi partai ketiga terbesar di Hongaria. Dalam pemilu terakhir tahun 2014, partai ini mendapat 20% suara. Partai inginkan referendum keanggotaan negara dalam Uni Eropa. Jobbik dipimpin Gabor Vona.
Foto: picture alliance/dpa
Jimmie Akesson, Sverigedemokraterna (Swedia)
Nama partainya berarti Demokrat Swedia. Setelah kemenangan Trump di AS Akesson menyatakan, di Eropa, seperti di AS, ada gerakan yang melawan "establishment" dan pandangan yang selama ini berlaku. Partai Demokrat Swedia menyerukan restriksi imigrasi, dan menentang keanggotaan Turki dalam UE juga menginginkan referendum keanggotaan Swedia dalam UE.
Foto: AP
Norbert Hofer, Freiheitliche Partei (Austria)
Hofer dari Partai Kebebasan FPÖ yang nosionalis hanya kalah 30.000 suara dalam pemilu presiden terakhir. Mantan pemimpin Partai Hijau, Alexander Van der Bellen mendapat 50,3% suara, sementara Hofer 49,7%. Pemimpin FPÖ itu menyerukan penguatan perbatasan Austria dan pembatasan sokongan finansial bagi imigran.
Foto: Reuters/L. Foeger
Marian Kotleba, ĽSNS (Slovakia)
Pemimpin partai ekstrem kanan, Partai Rakyat-Slovakia Milik Kita mengatakan, "Satu imigranpun sudah terlalu banyak." Dalam kesempatan lain ia menyebut NATO organisasi kriminal. Partai Slovakia ini ingin negaranya meninggalkan Uni Eropa dan zona mata uang Euro. Mereka menang 8% suara dalam pemilu Maret 2016, dan mendapat14 kursi dari total 150 mandat parlemen. (ml/as)
Foto: picture-alliance/dpa
8 foto1 | 8
Harian Perancis lainnya Le Figaro menulis komentar, hasil awal pemilu di Belanda membuat lega partai-partai tradisional di Eropa, khususnya di Perancis. Tapi antusiasme sejumlah tokoh politik Eropa menyambut hasil pemilu itu, sekaligus juga menunjukkan kegugupan partai-partai politik Eropa.
Sementara harian Le Monde menulis komentar lebih tajam. Hasil pemilu Belanda yang menunjukkan naiknya suara sejumlah partai kecil memberikan konfirmasi atas tepecahnya tatanan politik di negeri kincir angin itu. Artinya, hasil pemilu akan semakin mempersulit pembentukan koalisi pemerintahan baru.
Harian Spanyol El Pais berkomentar partai anti-Islam di bawah Geert Wilders walau berhasil menaikkan perolehan kursi di parlemen dari 15 menjadi 20 mandat, tapi gagal mencapai target utamanya. Dengan begitu Wilders juga gagal memproklamasikan diri sebagai pemenang pertama dari kelompok anti Eropa, yang dinanti oleh tokoh populis dari Perancis, Jerman dan Austria.
Terakhir harian Italia La Republica juga menulis komentar senada. Eropa bisa kembali bernafas lega, menyaksikan gelombang populisme yang dibangkitkan Geert Wilders tidak berhasil meruntuhkan Belanda. Sukses ini, juga berkat sikap presiden Turki, Erdogan kepada Belanda beberapa hari terakhir. Tapi dari hasil pemilu itu bisa dipastikan perundingan pembantukan koalisi pemerintahan baru akan lama dan alot.
Belanda: Masihkah Negara Panutan di Eropa?
Belanda, salah satu negara pendiri Uni Eropa, terkenal dengan warganya yang liberal dan toleran. Ekonominya tumbuh stabil dan tingklat pengangguran rendah. Tapi dalam pemilu kali ini ada yang berubah.
Foto: Fotolia/samott
Negara Panutan di Eropa?
Menjelang pemilu sudah terlihat pertanda, bahwa partai populis terus memimpin dalam angket. Mengapa negara yang dulu dijuluki negara panutannya Eropa dalam toleransi ini berubah drastis?
Foto: NBTC Holland Marketing
Tokoh Penyederhanaan Masalah
Dalam globalisasi, masalah politik, ekonomi dan kemasyarakatan semakin kompleks. Banyak orang merasa kewalahan. Di sinilah letaknya peluang besar bagi partai populis. Geert Wildes dengan partainya PVV menawarkan jawaban simpel bagi masalah rumit. Karena itu ia sukses mendulang suara pendukung.
Foto: SHK
Gagal Penuhi Janji
Kepala pemerintahan Mark Rutte dulu maju dengan janji mengurus pemulihan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan. Data ekonomi menunjukkan nilai positif. Masalahnya, kalangan menengah dan bawah tidak merasakan perubahan apapun. Bagi mereka situasi saat ini tidak lebih baik dari 5 tahun silam.
Foto: Getty Images/AFP/F. Florin
Kehilangan Kepercayaan Publik
Rutte dulu berjanji, tidak akan mengalirkan uang bagi negara lain yang dililit utang. Tapi sesaat setelah diangkat jadi PM, pemerintah Belanda menyepakati paket bantuan bagi Yunani. Kepercayaan publik terus turun. Situasi makin parah, setelah pemerintah menaikkan umur pensiun jadi 67 dan memotong bantuan sosial.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Tak Ada Yang Merasa Diuntungkan
Warga Belanda dengan cepat merasakan, harus membayar ongkos pertumbuhan. Mereka harus menerima pemotongan tunjangan pengangguran dan dampak penghematan asuransi kesehatan. Konjungktur tidak dirasakan rakyat. Walau angka pengangguran turun, tapi banyak warga Belanda merasakan, gaji mereka tidak lagi mencukupi memenuhi standar kehidupan seperti sebelumnya.
Foto: Reuters/M. Kooren
Refleks Nasionalistis
Dalam situasi semacam itu refleks nasionalistis muncul. Juga di Belanda yang terkenal berpaham liberal dan bertahun lamanya jadi negara panutan di Uni Eropa. Warga menentang penerimaan pengungsi. Bagi tokoh populis kanan sekelas Geert Wilders, refleks ini bagaikan bahan bakar tambahan untuk mesin propagandanya.
Foto: Getty Images/AFP/P. van de Wouw
Takut Warga Asing
Warga asing terutama kaum Muslim terutama jadi incaran Wilders. Setiap tampilan publiknya selalu dimbumbui peringatan, Belanda tidak lama lagi akan dilanda Islamisasi. Wilders juga meniru gaya Donald Trump, dengan menuding etnis tertentu sebagai penyebab memburuknya situasi. Wilders selalu menyerang migran Maghribi dan menyebutnya kesasar masuk Belanda.
Foto: Getty Images/AFP/A. Johnson
Bukan Budaya Kami
Islam di Eropa terlihat lewat masjid yang mereka gunakan. Banyak warga Belanda yang tidak ingin melihat ada masjid di wilayahnya. Ini juga refleks berikutnya yang dimanfaatkan Wilders. Ia menuntut pelarangan masjid di seluruh Belanda dan membuka polemik soal ideologi Islam serta mengritik mata uang Euro. Di sisi lain ia berjanji memperbaiki perawatan manula dan menaikkan pensiun.
Foto: Getty Images/AFP/B. Maat
Melindungi Diri Sendiri
Dalam atmosfir ketidakpuasan dan ketidakpastian, Wilders kelihatannya bisa memetik keuntungan. Argumen yang sering dilontarkan Geert Wilders, Belanda perlu tanggul untuk menahan gelombang Laut Utara, dan sebentar lagi untuk menahan imigran asing dan pengungsi. Penulis: Dirk Kaufmann (as/yf)