1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Paylater Bukan Cuma Bayar Nanti, Nanti Bayarnya Bagaimana?

Betty Herlina
26 September 2022

Hadir dengan tawaran menggiurkan hingga promo cashback, paylater jadi pola pembayaran populer. Tanpa matangnya perencanaan finansial, paylater bisa berujung tumpukan utang.

Ilustrasi perempuan panik di depan komputer
Ilustrasi perempuan panik di depan komputerFoto: picture-alliance/Bildagentur-online/Begsteiger

Dewi Kumala, 22, mahasiswi semester akhir salah satu perguruan tinggi di Tanggerang, sudah dua tahun menggunakan paylater sebagai sistem pembayaran. Awalnya hanya iseng, dalam hitungan menit pengajuannya diterima. Ia mendapatkan plafon senilai Rp3 juta.

Dewi mulai menggunakan plafon tersebut untuk berbelanja. Paling sering membeli pakaian saat ada promo diskon. Skema cicilan yang dipilih bervariasi, mulai dari 1 bulan hingga 6 bulan.

Saat itu, cicilan Dewi per bulan ada di kisaran Rp300 ribu. Jatah bulanan dari orang tuanya lancar, ia mampu membayar tepat waktu. Namun, tanpa disadari kini cicilannya merangkak naik, mencapai setengah dari uang bulanannya. Karena mendapat kenaikan plafon, akhirnya Dewi ketagihan belanja terus.

"Sekarang cicilan saya sudah hampir Rp2 juta. Kebayang 'kan tiap bulan cuma bayar utang," ucap Dewi menyesal.

Sementara Ayu Damayanti, 36, ibu muda sekaligus pekerja di sebuah instansi mengaku hanya menggunakan paylater karena ada kebutuhan mendesak.

"Pinjamannya kecil, simpel, dan pengajuannya mudah. Lumayan sering dipakai sejak 6 bulan terakhir. Biasanya untuk membayar tagihan bulanan juga," katanya. Ayu mengutamakan membayar tepat waktu sehingga plafonnya tetap bisa digunakan dan tidak dikenai denda.

"Paylater cukup membantu, dan tidak membuat saya ketagihan untuk menggunakan. Sebisa mungkin cicilan masih dalam jangkauan budget bulanan," tambahnya.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan, paylater adalah transaksi pembiayaan barang atau jasa, di mana lembaga penyedia layanan memberikan dana talangan pada debitur untuk membayar transaksi barang atau jasa. Konsepnya mirip kartu kredit, tapi tanpa kartu. Cukup lewat ponsel pintar, paylater sudah bisa digunakan.

Hasil survei unit bisnis Katadata, Katadata Insight Center (KIC), bersama portal hiburan dan gaya hidup, Zigi.id, menunjukan bahwa 14% gen Z dan milenial menggunakan paylater. Produk yang paling banyak dibeli yakni pakaian, gadget, dan pulsa.

Danai kebutuhan dari pemasukan bulanan

Perencana keuangan sekaligus pendiri Finansialku.com, Melvin Mumpuni, mengatakan perencanaan finansial yang tepat akan memberikan dampak positif bagi kondisi keuangan seseorang, sehingga tidak terjerat utang konsumtif. Menurutnya, instrumen keuangan berupa alat bayar seperti paylater bisa memberikan dampak positif jika digunakan dengan benar. 

"Misal kita ada pekerjaan ke luar kota dari kantor, kemudian kita pesan tiket dan hotel pakai kartu kredit atau paylater. Nanti langsung direimburs ke kantor. Itu boleh-boleh saja. Cuma kalau nyicil HP atau belanja-belanja yang konsumtif, aku rasa kurang pas ya. Tunda dulu upgrade lifestyle-nya, lebih baik menabung atau cari sumber pendapatan lain," terangnya.

Kebiasaan menggunakan paylater untuk mengantisipasi kebutuhan belanja bulanan seperti pembelian token listrik, dan lainnya menurut Melvin menandakan kondisi keuangan seseorang tidak baik.

"Untuk kebutuhan bulanan sebaiknya didanai dari pemasukan, dianggarkan, di-budgeting untuk pengeluaran bulanan. Bukan dengan paylater," lanjutnya.

Berutang untuk beli aset?

Melvin mengatakan, berutang hampir dilakukan semua kelas ekonomi. Mulai dari orang dengan pendapatan rendah hingga orang dengan ekonomi mapan, dan orang dengan ekonomi kelas menengah. Hanya saja pola utangnya berbeda. Orang kaya cenderung berutang untuk membeli aset seperti rumah atau investasi tanah, ujarnya.

"Intinya beli aset. Sedangkan orang kelas menengah berutang untuk gaya hidup, beli tas, beli baju sehingga hidupnya dari cicilan ke cicilan untuk memenuhi lifestyle. Dan kadang-kadang apa yang dibelinya itu nilainya malah turun. Nah orang dengan ekonomi di bawahnya berutang untuk menutupi utang sebelumnya. Jadi lingkaran utangnya terus berputar," papar Melvin.

Ia menambahkan ada 2 indikator yang perlu diperhatikan ketika akan berutang. Pertama, cicilan bulanan yaitu tidak lebih dari 35% dari penghasilan bersih. Jika seseorang penghasilan bulanannya Rp10 juta, cicilannya maksimal Rp3,5 juta. Kedua, total utang maksimal setengah dari aset yang dimiliki. Artinya jika memiliki aset Rp100 juta maka utangnya maksimal Rp50 juta.

"Tapi tidak berarti dengan angka yang ada lantas utang dimaksimalkan. Ya tidak begitu, kalau tidak perlu utang ya jangan utang. Jika ada kebutuhan semisal membeli smartphone baru untuk kebutuhan kerja membuat konten ya lebih baik kita alokasikan tiap bulan dengan menabung," katanya. 

Memastikan ada pemasukan untuk pembayaran utang sebelum mengambil utang, menurut Melvin dapat menjadi kiat agar generasi Z dan milenial agar tidak terjerat utang.

"Kalau berencana utang pastikan berutang untuk kebutuhan produktif, seperti aset bukan untuk gaya hidup. Sebisa mungkin ketika mengambil utang pastikan ada uang untuk membayarnya. Jika belum jelas dan tidak pasti, ya jangan nyerempet risiko deh," katanya.

Dibayangi inflasi, debitur batasi penggunaan

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan tren pengguna paylater di Indonesia terus bertambah dalam dua tahun terakhir. Data menunjukan tahun 2021 pengguna paylater meningkat 28%. Riset Kredivo dan Katadata Insight Center (KIC), sepanjang tahun 2022 menyebutkan penggunaan paylater di e-commerce meningkat menjadi 38%.

Hadir di setiap marketplace dan terhubung dengan ekosistem digital yang baik membuat sistem pembayaran paylater mudah diterima masyarakat. Selain itu, proses pengajuannya relatif mudah dengan plafon menyamai kartu kredit.

Melihat dari pertumbuhan yang ada, Bhima mengatakan paylater akan terus menjadi pola pembayaran di masa depan.

"Masyarakat lebih percaya paylater daripada pinjaman online yang tidak terhubung dengan ekosistem digital. Sehingga dari sisi kebutuhan untuk mengatur keuangan, paylater menjadi pilihan. Meskipun memasuki kuartal kedua tahun ini, pengguna paylater mulai dibayangi risiko inflasi, akibatnya beberapa debitur paylater mulai menahan (membatasi) penggunaannya," ujar Bhima. (ae)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Daftarkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait