Bekas Pejabat Rwanda Dituntut 30 Tahun Penjara Atas Genosida
20 Desember 2019
Jaksa penuntut Belgia mendesak pengadilan untuk menjatuhkan hukuman penjara 30 tahun pada mantan pejabat Rwanda yang didakwa terlibat genosida dalam pembantaian 1994 di negaranya.
Iklan
Fabien Neretse, insinyur pertanian berusia 71 tahun, ditangkap di Prancis tahun 2011 dan kini sedang diadili di pengadilan tinggi Belgia atas dakwaan genosida dan kejahatan perang di negaranya, Rwanda. Hari Jumat (20/12) jaksa penuntut meminta pengadilan menjatuhkan hukuman penjara 30 tahun. Sehari sebelumnya, pengadilan menyatakan Fabien Neretse bersalah.
Jaksa Arnaud D'Oultremont mengatakan kepada tim juri di pengadilan: "Ingatlah fakta-fakta yang ekstrem ini ... keinginan untuk memusnahkan orang lain." Dia mengatakan Fabien Neretse "tanpa belas kasihan" menargetkan minoritas Tutsi di Rwanda.
Fabien Neretse menjadi orang pertama yang dihukum di Belgia atas tuduhan genosida. Terdakwa selama persidangan menyatakan dirinya tidak bersalah. Selain dakwaan melakukan genosida, dia juga dihukum karena kejahatan perang dan 11 pembunuhan di Rwanda.
Belgia telah mengadakan empat persidangan dan mengutuk delapan pelaku pembunuhan di bekas koloninya, tetapi Neretse adalah terdakwa pertama yang secara khusus dihukum karena tuduhan genosida.
Persidangan genosida pertama
Selama persidangan, Fabien Neretse dituduh memerintahkan pembunuhan 11 warga sipil di Kigali dan dua di daerah pedesaan di utara ibu kota pada April dan Juli 1994. Namun tim juri membebaskan dia dari tuduhan dua pembunuhan, tetapi menyatakan dia bersalah atas 11 pembunuhan yang termasuk kejahatan perang.
Fabien Neretse adalah seorang ahli pertanian yang mendirikan sebuah perguruan tinggi di distrik asalnya, Mataba, di utara Rwanda. Dia kemudian menjadi pebisnis dan menjadi pejabat pemerintahan yang mengurus sektor ekspor. Tapi dia juga dipandang sebagai gembong milisi lokal di Mataba, dan kader partai yang berkuasa di bawah mendiang presiden Juvenal Habyarimana.
Di persidangan, Fabien Neretse menolak tuduhan terhadapnya. "Aku tidak akan pernah berhenti bersikeras bahwa aku tidak merencanakan atau mengambil bagian dalam genosida," katanya pada persidangan hari Selasa (17/12), sebelum tim juri menarik diri untuk menimbang putusannya.
"Harus ada keadilan"
Di bawah undang-undang tahun 1993, pengadilan Belgia punya wewenang yurisdiksi universal untuk menuntut genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di mana pun itu terjadi.
Neretse ditangkap 2011 di Prancis, di mana dia bermaksud membangun kembali kehidupan profesionalnya sebagai pengungsi. Dakwaan yang diajukan terhadap Neretse sebagian besar adalah berkat kerja keras mantan pejabat Uni Eropa asal Belgia, Martine Beckers, yang kini berusia 70 tahun.
"Pengadilan ini benar-benar bersejarah," kata Eric Gillet, seorang pengacara yang mewakili Beckers. Pihak kejaksaan dan aktivis telah bekerja selama 15 tahun mengumpulkan bukti-bukti untuk kasus ini.
Berbicara dengan kantor berita AFP, Martine Beckers menggambarkan perjuangannya sebagai "perjuangan bersama atas nama semua korban pembantaian."
"Harus ada keadilan," katanya. "Mereka yang merencanakan, mengorganisir, dan mengeksekusi genosida ini harus dihukum. Jika tidak di sini, lalu di mana?"
hp/yp (afp, dpa)
Pembantaian Rwanda
Pembantaian di Rwanda tahun 1994 masih meninggalkan jejak kengerian hingga saat ini. Lebih dari 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat dibantai oleh ekstremis Hutu.
Foto: Timothy Kisambira
Sinyal genosida
Pada tanggal 6 April 1994, sebuah rudal ditembakkan ke pesawat Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, saat mendekati ibukota Kigali. Habyarimana, rekannya dari Burundi dan delapan penumpang lainnya tewas. Keesokan harinya, mulai terjadi pembantaian yang berlangsung selama tiga bulan. Setidaknya 800.000 warga Rwanda tewas akibat pembantaian itu.
Foto: AP
Target pembunuhan
Setelah pembunuhan terhadap presiden, ekstremis Hutu membunuhi minoritas Tutsi dan Hutu yang moderat. Pembunuhan sudah dipersiapkan dengan baik dan sengaja dilakukan sebagái bentuk perlawanan. Korban pertama pada tanggal 7 April di antaranya adalah salah satu Perdana Menteri Agathe Uwiringiymana.
Foto: picture-alliance/dpa
Penyelamatan orang asing
Sementara pembunuhan terus berlangsung, pasukan khusus Belgia dan Perancis mengevakuasi sekitar 3.500 orang asing. Tanggal 13 April, pasukan Belgia menyelamatkan tujuh karyawan Jerman dan keluarga mereka dari stasiun penyiaran Deutsche Welle di Kigali. Hanya 80 dari 120 karyawan lokal yang bertahan hidup dalam aksi genosida itu.
Foto: P.Guyot/AFP/GettyImages
Seruan pertolongan
Petunjuk pemusnahan Tutsi yang terencana, tercium komandan penjaga perdamaian Kanada Romeo Dallaire sejak awal tahun 1994. Hal itu dikenal sebagai "Faks Genosida', yang menjadi pesan tertanda tanggal 11 Januari kepada PBB namun PBB tidak menanggapinya.
Foto: A.Joe/AFP/GettyImages
Media sebarkan kebencian
Stasiun radio Mille Collines (RTLM) dan surat kabar mingguan Kangura menghasut rasa kebencian terhadap Tutsi. Sekitar tahun 1990, Kangura menerbitkan "Sepuluh Perintah Hutu" yang berbau rasisme. Dengan musik pop dan laporan olahraga Radio Mille Collines menyerukan perburuan dan pembunuhan Tutsi.
Foto: IIPM/Daniel Seiffert
Pengungsi di hotel
Di Kigali, Paul Rusesabagina menyembunyikan lebih dari 1.000 orang di Hotel Des Mille Collines. Setelah manajer hotel tersebut meninggalkan negara itu, Rusesabagina mengambil alih jabatan. Dengan banyaknya alkohol dan uang, dia dapat menahan milisi Hutu untuk tak membunuh para pengungsi.
Foto: Gianluigi Guercia/AFP/GettyImages
Pembantaian di gereja-gereja
Bahkan gereja-gereja, di mana banyak orang mencari perlindungan, tidak mampu menghentikan aksi pembunuh. Sekitar 4.000 pria, perempuan dan anak-anak dibunuh di gereja Ntarama dekat Kigali, baik dengan kapak, pisau dan parang. Kini gereja itu menjadi salah satu dari banyak monumen. Tengkorak dan tulang manusia digantung dan lubang peluru di dinding mengingatkan pernah terjadinya genosida.
Foto: epd
Arus pengungsi
Selama aksi pembunuhan berlangsung, jutaan warga Tutsi dan Hutu melarikan diri ke negara-negara tetangga: Tanzania, Zaire dan Uganda. Dua juta pengungsi lari ke Zaire. Mantan anggota tentara dan mendirikan Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda (FDLR) dan menyebabkan ketidakamanan di Kongo Timur.
Foto: picture-alliance/dpa
Patroli pemberontak
Di depan Gereja Keluarga Kudus di Kigali, pada tanggal 4 Juli 1994, pemberontak RPF berpatroli. Mereka telah menguasai sebagian besar wilayah dan pelaku pembunuhan melarikan diri. Namun aktivis hak asasi manusia mengeluhkan, bahwa para pemberontak juga melakukan kejahatan dan sampai sekarang lepas dari hukum.
Foto: Alexander Joe/AFP/GettyImages
Akhir genosida
Mayor Jenderal Paul Kagame, pemimpin RPF, pada 18 Juli 1994 mendeklarasikan bahwa perang melawan pasukan pemerintah berakhir. Para pemberontak menguasai ibukota dan kota-kota besar lainnya. Pertama-tama, mereka menetapkan pemerintahan sementara. Sejak tahun 2000, Kagame menjadi presiden Rwanda.
Foto: Alexander Joe/AFP/GettyImages
Luka permanen
Genosida berlangsung kira-kira selama tiga bulan lamanya. Para korban biasanya dibunuh secara brutal dengan parang. Tetangga membunuh tetangga. Tubuh atau bagian tubuh dari bayi, anak-anak, orang dewasa dan orang-orang tua terhampar di jalan-jalan. Tak ada satupun keluarga yang tak mengalami luka batin karena anggota keluarganya menjadi korban. Luka itu menjadi memori terjadinya genosida.