1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Tak Ada Kasus COVID-19 di NTT, Dokter: Terkendala Alat

Rizki Akbar Putra
6 April 2020

Hingga Senin (06/04) NTT menjadi salah satu provinsi yang tercatat belum melaporkan kasus positif COVID-19. Wawancara DW Indonesia dengan dr. Floriana Elfira Rosari Dugis.

Para dokter yang bertugas di Puskesmas Watu Alo, NTT, berpose di depan gedung puskesmas.
Puskesma Watu Alo NTTFoto: Floriana Elfira Rosari Dugis

Hingga Senin (06/04), sebanyak 31 Provisi di Indonesia sudah melaporkankasus COVID-19 dengan total kasus berjumlah 2.491. Namun, provinsi Nusa Tenggara Timur tercatat belum melaporkan kasus positif COVID-19. Lantas seperti apa kondisi di NTT saat ini terkait pandemi virus corona? Bagaimana kesiapan sarana dan prasarana, tenaga medis, hingga fasilitas kesehatan di sana? DW Indonesia melakukan wawancara dengan dr. Floriana Elfira Rosari Dugis, salah seorang dokter di Puskesmas Watu Alo, Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT, yang menceritakan pengalamannya selama bertugas di tengah pandemi virus corona.

Deutsche Welle: Provinsi NTT tercatat belum ada kasus positif COVID-19. Bagaimana kesiapan tenaga medis dan fasilitas kesehatan di lapangan sejauh ini?

Dr. Floriana Elfira Rosari DugisFoto: Floriana Elfira Rosari Dugis

dr. Floriana: Memang benar yang dilaporkan, kalau NTT kasusnya masih 0 tapi kami terkendala sarana prasarana untuk diagnostic test. Kalau untuk ODP sendiri NTT sudah banyak, PDP pun sudah ada. Cuma protapnya itu ODP harus tetap dites rapid test. PDP juga seperti itu. Tapi rapid test yang masuk itu baru 40 buah, itu pun hanya dikhususkan di rumah sakit. Di rumah sakit setengahnya juga sudah dipakai untuk tenaga medis. Di faskes tingkat I yakni puskesmas, kami belum ada pengecekan dengan rapid test sama sekali.

Tenaga medis di sini merasa agak was-was, apa benar 0 kasus, karena sebagaimana kita ketahui COVID-19 ini sekarang pun ada yang tanpa gejala atau dengan gejala ringan. Kalau masyarakat yang di Manggarai sebetulnya aman-aman saja, cuma dengan kantor, hotel, banyak tenaga yang di-PHK, sehingga kami di sini was-was pendatangnya banyak sekali dari zona merah yang kembali ke sini. Rata-rata yang pergi merantau di sini itu dari desa, jadi jelas akan kembali ke faskes tingkat I puskesmas. Bukan tidak mungkin besok-besok akan muncul kasus positif.

Bagaimana dengan ketersediaan APD di sana?

APD susah, puskesmas kami harus pakai mantel hujan. Maskernya sendiri dari dinas kabupaten hanya dijatah 2 box per puskesmas. Satu box Cuma 50, betul-betul untuk tenaga medis yang berkontak dengan pasien hanya memakai masker paling standar, masker bedah hijau. Sedangkan supir, administrtasi hanya pakai masker kain.  Sarung tangan pun kami dijatah sangat sedikit dari dinas kesehatan kabupaten, hanya yang betul-betul perlu yang pakai, yang lain tidak. 

Sudah ada tindak lanjut dari pemerintah daerah?

Kalau untuk pemda di sini sebetulnya sudah tahu masalah ini, cuma dari awal kasus COVID-19 ini pun hanya habis dengan menjanjikan. Mereka utamakan yang di rumah sakit dulu ketimbang di faskes-faskes tingkat I puskesmas. Mereka tidak berpikir jauh bahwa pendatang itu lebih banyak ke desa-desa. Kalau pun ke RS sudah jelas bahwa dia memang PDP. RS pasti sudah siap dengan baju pelindung dan APD lainnya. Karena ini puskesmas, kami ini penyaring awal, sedangkan kami tidak punya apa-apa. 

Bagaimana sikap masyarakat Manggarai dalam merespon wabah ini?

Waktu awal-awal kasus COVID-19 di Indonesia, saat itu dihimbau semua kantor-kantor, sekolah-sekolah, diliburkan, memang warga di sini semua patuh. Jalanan sepi, pasar sepi, cuma karena berlalunya waktu sekitar sebulan ini terlebih mendengar NTT masih 0, semua mulai mengabaikan, mulai ramai-ramai lagi di jalan. Kasus di puskesmas sendiri, karena kami wilayahnya tidak begitu luas, waktu awal-awal kami mengimbau masyakarat dengan calling-calling keliling. Karena kalau mengumpulkan warga sudah tidak mungkin, jadi kita keliling kita sampaikan ke warga seperti apa penyakit ini. Di sini sakit sedikit langsung ke puskesmas, kami imbau betul-betul yang sakit dan tidak bisa dirawat dengan istirahat saja yang ke puskesmas. Kalau batuk pilek segera datang. Pendatang segera lapor ke kantor desa dan isolasi diri selama 14 hari. Apabila dalam 14 hari ada gejala batuk, pilek, panas, sakit tenggorokan, atau diare bisa langsung ke puskesmas. Masyarakat kini lebih paham, jadi benar-benar yang datang ke puskesmas itu yang sakit, yang tidak bisa sembuh dengan istirahat saja.

Harapan Anda terkait pandemi corona khususnya di NTT?

Pertama, kami sebagai garda terdepan berharap ketersediaan APD yang kami butuhkan. Mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus tetap melayani, sedangkan kami juga sayang diri sendiri dan keluarga di rumah.  Kedua, rapid test bisa merata di seluruh wilayah Indonesia. Walau itu bukan untuk diagnostic test, hanya untuk screening. Mungkin saja NTT kita lihat masih 0 kasus, mungkin saja sudah ada sebenarnya. Karena yang tanpa gejala dan gejala ringan ada.  Ketiga, karantina wilayah karena itu saja kuncinya. Selama tidak ada orang keluar masuk, saya kira kita bisa benar-benar mengisolasi daerah masing-masing, menjaga daerah masing-masing. (rzn/hp)

Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Rizki Akbar Putra dan telah diedit sesuai konteks.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait