1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan HukumIndonesia

Benarkah Anak Pejabat Mudah Melenggang dari Jerat Hukum?

9 Agustus 2024

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti mengatakan kasus penganiayaan oleh anak pejabat jangan sampai menimbulkan impunitas dalam penanganannya.

Timbangan dan palu. Ilustrasi pengadilan
Ilustrasi pengadilan tidak memihakFoto: fikmik/YAY Images/IMAGO

Vonis bebas yang diterima RT, terdakwa kasus penganiayaan DS di Surabaya, pada medio Juli 2024 membuat geram masyarakat. Seperti dikutip dari detik.com, jaksa sebelumnya menuntut hukuman 12 tahun penjara kepada RT karena terbukti melanggar pasal 338 KUHP.

Namun yang terjadi, Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan membebaskan RT dari segala dakwaan dan menyatakan korban DS meninggal karena mengonsumsi alkohol, bukan karena penganiayaan sebagaimana yang didakwakan. Sementara hasil visum menyebutkan bahwa penyebab kematian DS adalah akibat luka dalam. Tapi, bukti tersebut dinilai tak cukup kuat untuk memenjarakan RT yang adalah anak mantan anggota Komisi IV DPR RI ini.

Putusan ini pun bikin masyarakat meradang. Pasalnya, kasus ini dinilai menambah panjang rentetan kasus impunitas hukum kala berhadapan dengan pejabat dan keluarga mereka.

Sebelumnya pada akhir tahun 2023, pemberitaan diramaikan dengan putusan hakim yang memvonis Mario Dandy Satriyo, anak pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo atas kasus penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen pada korban David Ozora. Vonis 12 tahun penjara yang diberikan hakim, dianggap sebagai buah 'pengawalan ketat' masyarakat atas kasus ini.

Lebih jauh pada dua dekade silam, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto pernah divonis 15 tahun penjara karena kasus pembunuhan Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita dan kepemilikan senjata api ilegal. Baru menjalani hukuman sekitar 6 tahun, Tommy pun dinyatakan bebas.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Rawan terjadi kesewenang-wenangan

Tingginya status sosial dinilai rawan berkorelasi dengan potensi tindakan semena-mena karena adanya daya tawar yang lebih tinggi, demikian menurut sosiolog Sunyoto Usman.

Dalam kasus penganiayaan yang dilakukan keluarga dan kerabat pejabat, pelaku merasa lebih dominan dan lebih punya kuasa atas diri korban sehingga merasa bisa bersikap semena-mena, ujar Sunyoto.

"Ada yang namanya klientelisme, yaitu orang-orang yang mengelilingi seseorang dengan jabatan politik. Kalau ada patron (aktor politik yang memberi sesuatu) yang memiliki masalah, maka klien (pihak penerima) juga bisa kena masalah. Jadi ada faktor saling melindungi di sini," kata Sunyoto kepada DW Indonesia.

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial menyelidiki hakim yang memvonis bebas RT, anak mantan anggota DPR, yang dituduh melakukan penganiayaan dan pembunuhan terhadap pacarnya, DS.Foto: Grandy/detikcom

Profesor sosiologi UGM ini menilai, kekhawatiran atas kesewenang-wenangan dari keluarga pejabat ini tak hanya sebatas sikap arogansi lisan dan fisik. Menurutnya, relasi kuasa dalam penegakan hukum di Indonesia bisa berbuntut pada hal yang lebih fatal, yakni "mempermainkan" konstitusi. 

Sunyoto menegaskan, "yang tidak kalah berbahaya adalah jika relasi kuasa ini menjadi sebuah kelumrahan dan berujung dengan dimanfaatkannya hukum untuk kepentingan politik, untuk mengubah kebijakan." Ia juga menambahkan, "itu bisa jadi akar dari korupsi dan kolusi."

Peran hakim sebagai pemegang kompetensi absolut

Secara konstitusional, setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tak memandang latar belakang kelas maupun hubungan relasi dan kekerabatan dengan pejabat atau penguasa. 

Karenanya, Abdul Fickar Hadjar, ahli hukum pidana Universitas Trisakti mengatakan kasus penganiayaan oleh anak pejabat jangan sampai menimbulkan impunitas dalam penanganannya.

Abdul Fickar menjelaskan bahwa kewenangan untuk mengadili suatu perkara atau kompetensi absolut yang dimiliki hakim harus diemban dengan penuh tanggung jawab.

"Di tangan seorang hakim itu ada kekuasaan yang besar. Rasa keadilan masyarakat saja tidak bisa jadi tameng untuk mengawasinya, sehingga penggunaannya terkadang serampangan dan tidak memedulikan rasa keadilan di masyarakat," ujarnya kepada DW Indonesia.

"Dengan kewenangan yang tinggi dan kebebasan absolut, terkadang hakim menggunakannya tanpa koridor yang jelas. Padahal hukum sudah mengatur secara jelas," imbuhnya. 

Abdul Fickar meyakini, hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri utamanya di kota-kota besar adalah mereka yang sudah memiliki sekurang-kurangnya 20 tahun pengalaman dalam profesi kehakiman. Dengan ini, kapabilitas mungkin tak jadi soal. Namun bicara tentang integritas, jelas masih harus dipertanyakan, ujarnya.

Bagaimana pengawasan kinerja hakim?

Meski punya kompetensi absolut, bukan berarti kinerja hakim lepas dari pengawasan. Evaluasi dan pengawasan berada di tangan Mahkamah Agung sebagai pemegang kewenangan tertinggi administrasi dan organisasi peradilan, dengan catatan: penilaian kerja ini tak boleh melanggar asas kemerdekaan dan independensi hakim.

Ia pun menambahkan, hakim yang terbukti bersalah melakukan pelanggaran dalam memutus perkara bisa dikenakan sanksi, baik administrasi maupun pidana.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir masyarakat seolah memiliki andil lebih besar dalam mengawasi. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus yang baru diusut jika sudah ramai diperbincangkan, sampai akhirnya muncul istilah no viral, no justice

"Peran masyarakat untuk mengawasi ini tidak boleh dilepaskan, baik itu pers, masyarakat umum, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ini disebut juga sebagai sine qua non, sesuatu yang mutlak harus ada dalam setiap persidangan, utamanya pada kasus-kasus yang punya keterkaitan dengan kekuasaan. Baik kekuasaan politik maupun kekuasaan uang," jelas Abdul Fickar. 

(fr/ae)

Fika Ramadhani Fika Ramadhani, jurnalis multi-media untuk Deutsche Welle Program Indonesia.