1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Benarkah Islam Abangan Mengakar Kuat di Blora?

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
20 Desember 2024

Fenomena menarik dari Blora adalah pluralitas dan pluralisme agama. Karakteristik "abanganisme” yang sering disematkan ke masyarakat agama di Blora tidak selalu akurat. Sumanto al Qurtuby mengupas hal ini lebih dalam.

Karakteristik "abanganisme” yang sering disematkan ke masyarakat agama di Blora tidak selalu akurat. Foto: Sumanto Qurtuby/DW

Jika masyarakat luar cenderung memandang atau mengidentikkan Blora dengan daerah yang cenderung tidak memiliki ikatan identitas keagamaan yang solid, praktik keberagamaan yang kurang, atau sikap oposisi terhadap Islam, maka sesungguhnya asumsi itu tidak sepenuhnya benar, meskipun tentu saja selalu ada pengecualian.

Secara umum, masyarakat Blora adalah masyarakat beragama dan tidak menegasikan dunia keagamaan. Umat Islam juga sangat kuat dan menjadi agama mayoritas di daerah ini. Bahkan Bupati Blora saat ini, Arief Rohman, berlatar Islam-NU yang kuat. Ini menunjukkan karakteristik "abanganisme” yang sering disematkan ke masyarakat agama di Blora tidak selalu akurat.

Perkembangan agama dan corak keberagamaan

Meskipun muslim menjadi pengikut agama mayoritas, umat Katolik dan Protestan juga berkembang sangat signifikan. Ada cukup banyak gereja megah di Blora dari berbagai denominasi Kristen yang menunjukkan pertumbuhan dan signifikansi umat kristiani di daerah ini. Begitu pula dengan Buddha, Hindu, Kejawen dan lainnya yang berkembang dengan baik.

Untuk umat Islam, seperti daerah-daerah lain di Jawa Tengah, warga NU dan Muhammadiyah yang paling menonjol, kemudian disusul sejumlah faksi Islam mini seperti pengikut mendiang ormas HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).

Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Dominasi NU dan Muhammadiyah ini misalnya bisa dilihat dari sejumlah indikator seperti pertumbuhan pesantren, madrasah, atau perguruan tinggi yang berafiliasi NU  (misalnya STAI Khozinatul Ulum dan STAI Al-Muhammad) dan lembaga pendidikan formal yang berafiliasi Muhammadiyah (misalnya STAI Muhammadiyah dan STKIP Muhammadiyah).

Walaupun dimensi keagamaan menjadi bagian penting dari identitas masyarakat Blora, corak atau karakter keberagamaan mereka cenderung berwatak nasionalis, inklusif, toleran, dan pluralis.

Relasi antarumat beragama berjalan dengan baik dan sehat. Harmoni sosial antarkelompok etnis dan agama berkembang sangat signifikan. Dialog dan pergumulan antarumat beragama, khususnya di level praktis, juga tumbuh dengan baik.

Sependek pengetahuan saya, belum pernah terjadi kasus-kasus kerusuhan kolektif berbasis agama seperti di Ambon, Poso dan lainnya; persekusi seseorang atas nama agama seperti terjadi di beberapa daerah lain; intoleransi antarumat beragama, atau diskriminasi atas dasar agama. Sesekali pernah terjadi ketegangan kecil antarsekelompok agama tetapi bisa diselesaikan dengan baik sehingga tidak menjelma menjadi kerusuhan komunal.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Integrasi agama dan adat

Kemudian integrasi atau harmoni antara agama dan adat menjadi fenomena menarik lain dari Blora yang patut digarisbawahi. Menarik karena setiap pembicaraan mengenai Islam di Indonesia, para pengamat–baik dari dalam negeri maupun mancanegara–sering berbicara tentang kembalinya konservatisme, militanisme, dan radikalisme ke panggung sosial, politik, dan agama kaum muslim pasca tumbangnya rezim Suharto, seperti tersurat dalam buku yang diedit oleh Martin van Bruinessen, Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the Conservative Turn.

Benar bahwa kelompok Islam konsevatif, militan, dan radikal berkembang biak di sejumlah daerah, khususnya di kawasan urban yang sangat mengkhawatirkan bagi pembangunan relasi antarumat beragama yang lebih baik di masa mendatang, tetapi pemandangan seperti ini nyaris tak tampak di Blora.

Kelompok Salafi-Wahabi yang tumbuh lumayan subur di beberapa daerah juga nyaris tidak kelihatan di Blora. Sementara itu, pengikut HTI yang mendukung ideologi khilafah memang ada dulu dan kerap melakukan aksi demonstrasi tetapi populasinya sangat minim apalagi sekarang karena pemerintah sudah membubarkan HTI.

Implikasi dari minimnya kelompok konservatisme dan puritan agama, khususnya di kalangan umat Islam, dapat dilihat dari fenomena tumbuh berkembangnya praktik budaya, tradisi, kesenian, adat, dan ritual lokal yang sering atau selalu diharamkan, dikafirkan, dan dibid'ahkan oleh mereka lantaran dinilai atau diasumsikan tidak sesuai dengan doktrin dan ajaran normatif Islam.

Fenomena praktik aneka ragam budaya, tradisi, adat, kesenian, dan ritual lokal di Blora ini, misalnya, bisa dilihat di saluran YouTube "Sahabat Al Arif Blora.”

Hampir di setiap acara atau event sosial seperti pendirian rumah, mantenan (pesta perkawinan), lairan (kelahiran), sunatan (khitanan), panen produksi hasil pertanian (padi atau jagung), sedekah bumi, dan lain-lain selalu dipenuhi dengan upacara ritual-keagamaan yang penuh dengan nuansa sinkretisme berbagai elemen seperti keislaman dan kejawaan (dan dalam batas tertentu sisa-sisa tradisi Hinduisme) yang menjadi ciri khas Islam Jawa, yakni varian keislaman yang mengintegrasikan doktrin Islam dengan tradisi Jawa.

Blora, kota dengan ragam keunikan.Foto: Sumanto Qurtuby/DW

Acara selametan dengan aneka makanan dan sesajen yang komplet khas Jawa (seperti kupat lepet, ingkung ayam, dan beragam kue yang disebut "jadah pasar”) selalu mewarnai setiap ada acara acara sosial-kemasyarakatan.

Yang menarik dari upacara ritual yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di Blora (khususnya "Islam nonsantri”) yang cukup berbeda dengan daerah lain di Jawa (dan Indonesia secara umum), pemimpin upacara dan doa (dalam antropologi disebut "ritual specialist”) bisa seorang perempuan meskipun ada peserta laki-laki.

Adapun bahasa yang digunakan untuk berdoa adalah campuran bahasa Arab dan Jawa, meskipun pelafalan bahasa Arab mereka jauh dari fasih atau sempurna sesuai dengan kaedah dan tata bahasa Arab (sebut saja "bahasa Arab-Jawa”). Lain halnya jika pemimpin doa adalah santri atau kiai NU, maka bahasa Arab yang mereka lafalkan bisa dipastikan sangat fasih dan sesuai dengan tata bahasa Arab.

Sementara itu busana yang mereka kenakan saat mengikuti upacara ritual juga beraneka ragam. Misalnya, perempuan tidak selalu mengenakan hijab atau kerudung dan "busana muslimah” berupa gaun panjang (kecuali warga santri NU).

Untuk laki-laki busana yang digunakan biasanya celana, kemeja, sarung, dan terkadang dilengkapi dengan peci hitam sebagai penutup kepala. Sedangkan busana upacara ritual di kalangan Sedulur Sikep Samin biasanya didominasi warna hitam. Bahkan jika upacara ritual dilakukan di sawah atau ladang, pakaian yang mereka kenakan lebih simpel lagi karena menggunakan "busana kerja.”

Harmoni keislaman dan kejawaan

Dari uraian singkat di atas dapat ditarik benang merah bahwa keislaman dan kejawaan bisa bersanding dengan baik dan harmonis di Blora tanpa ada upaya untuk saling menundukkan atau menegasikan.

Dalam konteks "Islam Blora,” identitas keislaman dan kejawaan menjadi lumer dan lebur sehingga tidak mudah untuk diurai dan dikenali lagi mana unsur yang lebih dominan di antara keduanya karena relasi keduanya bukan dalam bentuk "superordinat-subordinat” yang saling menundukkan satu sama lain, melainkan "koordinat” di mana elemen keislaman dan kejawaan bersanding sejajar dan saling menghormati keunikan masing-masing tradisi. Dengan kata lain, baik keislaman maupun kejawaan tidak pongah atau arogan harus menaklukkan unsur-unsur asing. 

Selain itu, bentuk keislaman yang luwes yang dipraktikkan kaum muslim Blora, khususnya kelompok Islam NU dan "wong nasional” (sebut saja, "Islam nasional”) yang dominan di daerah tersebut berdampak pada relasi harmonis antara umat Islam dengan umat lain seperti Kristen, Buddha, Hindu, Kejawen, Abangan, Samin, dan lainnya.

Corak keagamaan dan keberagamaan yang luwes inilah yang diperlukan bagi bangsa supermajemuk seperti Indonesia. Tanpa itu, konflik dan kekerasan antarkelompok masyarakat dan agama, baik agama lokal maupun transnasional, sulit dihindari.  

 

 

Sumanto Al Qurtuby

Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals