Pengungsi Diperlakukan Tidak Manusiawi oleh Polisi Yunani?
Florian Schmitz | Efthymis Angeloudis
28 Januari 2020
Para pembela dan aktivis HAM menuduh kepolisian Yunani terlibat berbagai tindakan kekerasan terhadap para pengungsi. Namun pihak berwenang menolak tuduhan itu, yang sebagian terdokumentasi.
Iklan
Warga Yunani yang tinggal dekat Sungai Evros, yang merupakan perbatasan alami dengan Turki, sudah terbiasa menyaksikan berbagai insiden dengan pengungsi. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pengungsi berusaha menyeberangi sungai dari Turki ke Yunani, untuk mencapai Uni Eropa.
"Saya sudah menarik puluhan mayat dari sungai," kata seorang nelayan kepada DW, sambil menunjukkan foto-foto mayat di ponselnya. Beberapa dari mereka yang berhasil menyeberang, akhirnya juga mati kedinginan ketika bersembunyi dari kejaran polisi perbatasan Yunani di sepanjang tepi sungai.
Arus pengungsi terjadi sejak Perang Teluk pada awal 1990-an. Sejak itu, warga di tempat itu secara teratur menemukan mayat orang-orang yang tenggelam di sungai atau mati di tepiannya.
Kekerasan polisi
Marianthi Tasouli, yang tinggal di desa Mikro Dereio, mengatakan situasinya belakangan makin memburuk. Penduduk setempat selalu membantu para pencari suaka yang hampir putus asa dengan memberi mereka makanan dan pakaian.
"Empat orang mengancam putra saya dengan pisau, menyuruhnya untuk membawa mereka ke desa berikutnya," kata Tasouli.
Menurut sebuah LSM lokal, salah satu alasan mengapa banyak pengungsi berusaha menghindari jalur legal dengan mendaftarkan diri pada pihak berwenang adalah karena unit kepolisian diberitakan melakukan operasi ilegal untuk mengusir pengungsi. Antara lain dengan mendorong mereka kembali ke perbatasan atau menangkap dan kemudian mendeportasi mereka dengan paksa kembali ke Turki.
Seorang pemilik kafe di desa Praggi mengatakan kepada DW: "Semua orang di sini tahu bahwa mobil-mobil tanpa plat nomor milik polisi lalu lalang dan para pengungsi dideportasi secara ilegal."
Seorang lelaki berusia 19 tahun dari Afghanistan mengatakan kepada DW, dia berhasil menyeberangi sungai setelah mencoba empat kali. Dia lalu berjalan kaki ke kota Thessaloniki. "Dua kali saya ditangkap polisi Turki, ketiga kalinya oleh polisi Yunani. Mereka memukuli saya dan menghancurkan ponsel saya, kemudian mengirim saya kembali ke Turki."
Orang-orang 'dideportasi secara ilegal'
Bulan Desember lalu, Jaringan Pemantau Kekerasan Perbatasan, yang mendokumentasikan upaya-upaya semacam itu di sepanjang rute pengungsian di kawasani Balkan, melaporkan sebuah insiden dari November 2019. Dua pria dari Maroko, berusia 25 dan 26 tahun, melaporkan bahwa mereka telah menyeberangi sungai Evros bersama seorang lain. Mereka mengatakan polisi Yunani menangkap orang yang ketiga, mengikat tangan dan kakinya dengan kabel dan melemparkannya ke dalam air.
Salah satu pria mengatakan kepada Jaringan Pemantau Kekerasan Perbatasan, dia tidak tahu apakah pria itu masih hidup atau mati. Sementaran kedua warga Maroko itu dideportasi dengan paksa ke Turki. Permintaan DW kepada polisi Yunani untuk menanggapi tuduhan itu ditolak.
"Orang-orang yang tiba di Yunani sering dibawa oleh mobil polisi ke lokasi dengan 60 atau bahkan sampai 100 orang lainnya," kata Selma Mesic dari Tim Info Mobile, sebuah LSM Yunani yang bertujuan membantu para pengungsi dan mendokumentasikan operasi deportasi mereka.
Foto Ikonik Krisis Pengungsi Di Eropa
Jutaan pengungsi hijrah ke Eropa antara tahun 2015 dan 2016. Pemberitaan migrasi gelap dan penderitaan para pengungsi beberapa tahun terakhir turut mempengaruhi opini publik di Eropa.
Foto: picture alliance/AP Photo/E. Morenatti
Upaya mempertahankan hidup
Pengungsian dan penderitaan: Ratusan ribu orang, kebanyakan berasal dari Suriah, masuk ke Yunani dari Turki tahun 2015 dan 2016. Sekitar 10.000 orang terdampar di pulau Lesbos, Chios dan Samos. Tahun 2017, tercatat sudah lebih dari 6.000 pengungsi yang datang dari Januari sampai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/A. Messinis
Berjalan kaki menembus Eropa
Tahun 2015 dan 2016, lebih satu juta orang mencoba mencapai Eropa Barat dari Yunani atau Turki melalui rute Balkan - lewat Makedonia, Serbia dan Hungaria. Aliran pengungsi hanya terhenti ketika rute ini ditutup secara resmi. Saat ini, sebagian besar pengungsi memilih rute Mediterania yang berbahaya dari Libya ke Eropa.
Foto: Getty Images/J. Mitchell
Kemarahan global
Gambar ini mengguncang dunia. Mayat bocah Aylan Kurdi berusia tiga tahun dari Suriah hanyut di pantai di Turki, September 2015. Foto ini tersebar luas dengan cepat lewat jejaring sosial dan menjadi simbol krisis pengungsi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/DHA
Kekacauan dan keputusasaan
Kerusuhan di menit-menit terakhir: Ribuan pengungsi mencoba masuk ke dalam bus yang sudah penuh sesak dan kereta api di Kroasia setelah mengetahui rute melalui Eropa akan segera ditutup. Pada Oktober 2015, Hongaria menutup perbatasannya dan membuat kamp penampungan tempat pengungsi tinggal selama proses pendaftaran suaka.
Foto: Getty Images/J. J. Mitchell
Perbatasan ditutup
Penutupan resmi rute Balkan bulan Maret 2016 menyebabkan kondisi kacau-balau di seberang perbatasan. Ribuan pengungsi yang terdampar mulai marah dan putus asa. Banyak yang mencoba menyeberangi perbatasan dengan segala cara, seperti para pengungsi ini di perbatasan Yunani-Makedonia tak lama setelah perbatasan ditutup.
Seorang anak berbalut debu dan darah: Foto Omran yang berusia lima tahun mengejutkan publik saat dirilis tahun 2016. Ini menjadi gambaran kengerian perang saudara dan penderitaan rakyat di Suriah. Setahun kemudian, gambar-gambar baru Omran beredar di internet dalam kondisi yang sudah lebih baik.
Foto: picture-alliance/dpa/Aleppo Media Center
Belum tahu tinggal di mana
Seorang pria Suriah membawa putrinya di tengah hujan di perbatasan Yunani-Makedonia di Idomeni. Dia berharap bisa hidup aman dengan keluarganya di Eropa. Menurut peraturan Dublin, permohonan suaka hanya bisa diajukan di negara pertama tempat pengungsi menginjak Eropa. Yunani dan Italia menanggung beban terbesar.
Foto: Reuters/Y. Behrakis
Mengharapkan pertolongan
Jerman tetap menjadi tujuan utama para pengungsi, meski kebijakan pengungsi dan suaka di Jerman sejak munculnya arus pengungsi diperketat. Tetapi Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan Jerman tetap terbuka bagi pengungsi. Sejak 2015, Jerman telah menerima sekitar 1,2 juta pengungsi. Kanselir Merkel jadi ikon harapan bagi banyak pengungsi baru.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Situasi darurat di penampungan
Di utara Prancis, pihak berwenang membersihkan "hutan" yang terkenal di Calais. Kamp itu terbakar saat dilakukan evakuasi bulan Oktober 2016. Sekitar 6.500 penghuninya disalurkan ke tempat-tempat penampungan lain di Perancis. Setengah tahun kemudian, organisasi bantuan melaporkan banyak pengungsi anak-anak yang menjadi tunawisma di sekitar Calais.
Foto: picture-alliance/dpa/E. Laurent
Tenggelam di Laut Tengah
Kapal penyelamat organisasi bantuan dan pemerintah setempat terus melakukan pencarian kapal migran yang terancam tenggelam. Meski pelayaran sangat berbahaya, banyak pengungsi tetap berusaha melarikan diri dari konflik dan kemiskinan. Mereka berharap menemukan masa depan yang lebih baik di Eropa. Pada tahun 2017 ini saja, sudah 1.800 orang meninggal di perjalanan. (Teks: Charlotte Hauswedell/hp,rn)
Foto: picture alliance/AP Photo/E. Morenatti
10 foto1 | 10
Selma Mesic menuntut agar kasus-kasus itu diselidiki aparat keamanan. "Banyak organisasi independen dan lembaga Uni Eropa yang sudah mengumpulkan cukup banyak data tentang deportasi ilegal," katanya. "Semua dari mereka menyimpulkan bahwa laporan-laporan tentang operasi deportasi ilegal itu dapat dipercaya. Orang-orang dari berbagai negara telah melaporkan insiden serupa pada waktu yang berbeda-beda."
Selma Mesic mengatakan, operasi itu tampaknya sudah menjadi bagian dari strategi keamanan di perbatasan. "Sangat tidak mungkin bahwa begitu banyak orang yang berbeda bisa mengarang begitu saja insiden yang terjadi persis dengan pola seperti ini," katanya. (hp/yf)