1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sepak BolaJerman

Benarkah Sepak Bola Jerman Sudah Mengakui LGBTQ?

2 Desember 2022

Timnas sepak bola Jerman banyak dicibir ketika mengampanyekan pengakuan bagi minoritas seksual pada Piala Dunia 2022 di Qatar. Sebenarnya sudah sejauh apa pencapaian DFB dalam menjamin hak LGBTQ di dalam negeri?

Pendukug tim nasional sepak bola Jerman
Pendukug tim nasional sepak bola JermanFoto: Frank Hoermann/Sven Simon/IMAGO

Ketika tim nasional sepak bola Jerman menghadapi Kosta Rika di babak penyisihan grup di Doha, Qatar, Sven Kistner tidak sejenak pun menonton jalannya pertandingan. Bagi penggemar berat sepak bola sepertinya, aksi boikot terhadap Piala Dunia 2022 di Qatar adalah sebuah pengorbanan. 

“Kami, suporter dari kalangan queer, sudah merasa pemilihan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia sebagai ide gila demi uang,” katanya kepada DW. “Terutama dengan tingginya angka pelanggaran HAM di Qatar, entah itu terhadap buruh migran, perempuan, dan tentu juga terhadap komunitas queer.” 

Selama 15 tahun terakhir, Kistner berkampanye untuk membuat sepak bola kian ramah bagi kaum LGBTQ. Pada 2006, dia ikut mendirikan Queerpass Bayern, klub suporter pertama bagi kaum gay dan lesbian di Bayern München, ketika yel-yel homofobia masih sering bergema di dalam stadion. 

“Jumlahnya sudah banyak berkurang selama 15 tahun terakhir,” kata dia. “Insiden homofobia sekarang sifatnya individual. Butuh waktu untuk sampai ke sana, dan sangat naif untuk menuntut negara lain berbuat serupa.” 

Kistner juga menggalang jejaring dengan suporter LGBTQ lain di Eropa. Mereka ingin agar minoritas seksual lebih dilibatkan dalam aktivitas di dalam dan luar stadion.  

Inisiatif federasi DFB 

Bersama Christian Rudolph, Federasi Sepak Bola Jerman, DFB, kini memiliki pusat keragaman seksual dan gender. Lembaga itu dibentuk dengan kerja sama Asosiasi Lesbian dan Gay di Jerman pada awal 2021 silam. 

Bersamanya DFB terlibat aktif merayakan Pride Month atau mengkampanyekan pengakuan bagi minoritas seksual di sela-sela pertandingan. 

“Pencapaian besar lain adalah impelementasi hak bermain bagi atlet trans atau nonbiner, yang kini berlaku secara nasional,” kata dia. “Hal itu adalah langkah penting.” 

“Kami tidak menyangka akan mendapat sambutan sebesar itu ketika berdialog dengan anggota timnas saat persiapan menuju Qatar.” 

Namun demikian, dia meyakini masih banyak ruang untuk pengakuan yang lebih besar bagi minoritas seksual. “Saya bisa melihat bagaimana Premier League di Inggris atau liga sepak bola Amerika Serikat sudah jauh lebih maju,” ujarnya. “Di sana, seisi liga berpartisipasi dalam Pride Month.” 

Di Eropa, pemain gay satu persatu membuka diri. Jake Daniels yang bermain di klub Blackpool, menjadi atlet sepak bola pertama Inggris yang mengaku gay. 

Kaus bertuliskan dukungan bagi Jake Daniels, atlet pertama yang mengaku gay di InggrisFoto: Joe Giddens/empics/picture alliance

“Fenomena ini digerakkan oleh sikap manajemen dan suporter klub yang bersama-sama mendukung jejaring queer,” kata Rudolph. “Klub yang berpartisipasi dalam Christopher Street Day atau yang mengunggah pesan pribadi,” imbuhnya, merujuk pada hari demonstrasi bagi minoritas seksual yang dirayakan setiap tahun. 

Perubahan dimulai sejak dini 

Dia adalah suporter klub amatir, Tennis Borussia Berlin, yang tidak jarang disambut dengan yel-yel homofobik ketika bertandang ke Chemnitz atau rival sekota, FC Dynamo. Di liga bawah, kata dia, para pendukung tidak jengah melontarkan ujaran seksis atau kebencian terhadap perilaku homoseksual atau kaum queer

“Sangat penting bagi kaum muda untuk mendapat penguatan di pusat-pusat kebugaran remaja, agar mereka bisa merasa percaya diri untuk menerima semua identitas seksual atau gender,” kata Rudolph.  

“Tapi, kaum dewasa yang melatih mereka harus juga mendapat pelatihan, karena tidak cukup kita meyakinkan kaum muda, jika para pelatihnya masih tertinggal dalam mengakui hak dasar,” imbuhnya. 

Menurut jajak pendapat terbaru, sebanyak 60 persen suporter sepak bola Jerman mendukung pengakuan bagi minoritas seksual. Pencapaian tersebut ingin dirayakan ketika Jerman menjadi tuan rumah Piala Eropa, dua tahun ke depan. 

“Kejuaraan Eropa pada 2024 nanti adalah kesempatan besar bagi kami untuk mengorganisir sebuah pesta, di mana semua orang benar-benar di sambut,” pungkasnya. rzn/pkp

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Oliver Pieper Reporter meliput isu sosial dan politik Jerman dan Amerika Selatan.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait