Bencana Atom Jepang Warnai Konferensi Iklim
3 April 2011Sesi khusus Konferensi Tingkat Tinggi PBB untuk Perubahan Iklim atau UNFCCC mulai digelar di Bangkok, Thailand, hari Minggu hingga Jumat (8/4) mendatang. Sesi berlangsung bersamaan dengan bencana atom terburuk Jepang yang dipicu gempa bumi dan tsunami 11 Maret lalu. Upaya untuk mengatasi kebocoran radiasi belum juga berhasil dalam waktu hampir sebulan.
Dampak Bencana Atom Jepang
Banyak negara Asia yang terpaksa meninjau ulang rencana nuklir jangka panjang. Begitu juga dengan biaya investasi yang diperlukan. Inilah langkah yang telah diambil oleh negara-negara Uni Eropa. Saat ini Uni Eropa mengklaim terdepan dalam upaya global mengurangi emisi karbon serta membantu negara-negara lain dalam mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Delegasi konferensi membawa pesan bahwa Uni Eropa berada dalam jalur untuk mengurangi level emisi karbon sebanyak 20 persen pada tahun 2020. Uni Eropa juga telah menghabiskan sepertiga dari dana sebesar 7,2 miliar Euro hingga tahun 2012 untuk membantu negara-negara berkembang dalam mengurangi emisi karbon. Uni Eropa mendesak negara-negara berkembang untuk mengeksplorasi energi terbarukan dan teknologi lainnya meski mengakui biayanya akan lebih besar.
Para pengamat lingkungan menilai timbulnya keraguan terhadap energi nuklir dapat meningkatkan kepercayaan terhadap energi terbarukan dalam jangka panjang. Namun dalam jangka pendek dan menengah, perubahan pandangan dapat memicu meningkatnya emisi dengan membakar lebih banyak batu bara, minyak bumi dan gas alam.
Artur Runge-Metzger, direktur perubahan strategi energi Uni Eropa, berbicara di hadapan wartawan, merasa yakin bahwa bencana atom tidak akan mengurungkan niat negara-negara untuk menghentikan upaya melawan perubahan iklim. Namun ia tidak menampik kemungkinan negosiasi akan semakin alot dengan adanya bencana tersebut.
Topik Pertemuan di Bangkok
Berbagai delegasi dari lebih 200 negara memulai konferensi hari Minggu dengan membuat kerangka pakta iklim yang lebih mengikat untuk mendorong upaya global dalam mengendalikan emisi akibat industri, pertanian, dan penggundulan hutan. Konferensi ini menjadi yang terbesar sejak pertemuan terakhir di Meksiko bulan Desember lalu. Saat itu, delegasi dari 190 negara menyetujui adanya dana iklim hijau dan menjaga kenaikan temperatur bumi tidak lebih dari 2 derajat celcius.
Target di Bangkok kali ini adalah mempertahankan momentum di Cancun dengan membuat kerangka kerja sehingga negara-negara dapat tiba di Konferensi Tingkat Tinggi PBB untuk Perubahan Iklim yang digelar tahunan bulan November nanti, kali ini di Afrika Selatan, dengan siap untuk membuat persetujuan yang konkret dan substansial. Negara-negara harus memikirkan cara menggalang dana iklim hijau yang diperuntukkan bagi negara-negara berkembang. Isu lain yang harus diperbincangkan adalah cara mengalokasikan dana, siapa yang mengelola dan siapa yang bertanggung jawab.
Janji Amerika Serikat
Amerika Serikat sebagai emiten polusi kedua terbesar di dunia terus mendapat desakan dari negara-negara berkembang untuk memerangi perubahan iklim di negaranya sendiri. Negosiator Jonathan Pershing mengatakan, Amerika akan menggunakan berbagai kebijakan dan peraturan untuk memenuhi janjinya. Yakni mengurangi emisi sebanyak 17 persen pada tahun 2020. Janji yang diragukan pemenuhannya karena pemerintahan Barack Obama gagal meloloskan undang-undang iklim.
dpa/rtr/afp/Carissa Paramita
Editor: Edith Koesoemawiria