1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiJerman

Bencana di Xinjiang: Akhir Kemitraan Strategis Jerman-Cina?

31 Mei 2022

Kebijakan brutal Cina terhadap etnis Uighur memaksa Jerman mengkaji ulang kebijakan ekonominya. Namun praktik isolasi terhadap Beijing berpotensi menjadi senjata makan tuan lantaran besarnya kebergantungan terhadap Cina.

Protes terhadap kebijakan Cina di Xinjiang
Protes terhadap kebijakan Cina di XinjiangFoto: Willy Kurniawan/REUTERS

Dokumen yang bocor dari provinsi Xinjiang di Cina menyimpan gambaran yang dramatis: foto-foto dari kamp re-edukasi yang lengkap dengan kursi penyiksaan, petugas bersenjatakan pentungan, tahanan yang dipermalukan, serta perintah eksekusi terhadap pelarian yang dikeluarkan oleh fungsionaris partai. Oleh Beijing, mereka disebut sebagai murid yang menjalani pendidikan vokasi.

Investigasi internasional terhadap "Dokumen Kepolisian Xinjiang" membuktikan kebijakan brutal pemerintah Cina terhadap etnis minoritas, Uighur. Publikasinya muncul ketika politik luar negeri Jerman semakin didorong untuk mematuhi nilai-nilai liberal. Di Berlin, kebocoran dokumen itu semakin memperkuat hasrat untuk mengkaji ulang doktrin luar negeri terhadap Cina. Karena selain pasokan energi dari Rusia, hubungan dagang dengan Cina ikut membangun pondasi perekonomian Jerman. Kini, kedua hal tersebut dipertanyakan oleh politisi lintas partai.

Utusan HAM pemerintah Jerman, Luise Amzsberg, misalnya menuntut perubahan terhadap hubungan dengan Cina. Menurutnya, saat ini dibutuhkan perdebatan tentang kebergantungan ekonomi terhadap negara-negara dengan catatan HAM bermasalah, kata politisi Partai Hijau itu. Adapun kader Uni Kristen Jerman (CDU), Michael Brand, menuntut agar pemerintah mulai menjauhi Cina, serupa seperti yang dilakukan terhadap Rusia.

Jarak dan kedekatan

Kanselir Jerman, Olaf Scholz, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ambisi Cina, saat tampil di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Dengan status sebagai "aktor global," Scholz meyakini Cina tidak bisa diisolasi dari perdagangan dunia, "sama mustahilnya bagi kami untuk tidak melihat ketika hak asasi manusia dilanggar, seperti yang kita saksikan di Xinjiang," kata dia.

Rabu (25/5) silam, giliran Wakil Kanselir Robert Habeck yang mengimbau Jerman untuk mulai menjaga jarak terhadap Cina. Karena meski tercatat sebagai mitra dagang terbesar, Cina masih punya "masalah-masalah yang sangat relevan," terkait penegakkan HAM. "Hal ini diabaikan selama bertahun-tahun," ujar Habeck. "Pemerintahan kali ini sudah mengubah pendekatan kita terhadap Cina."

"Kita sudah melakukan diversifikasi dan mengurangi kebergantungan ekonomi dari Cina. Hak Asasi Manusia punya bobot yang lebih tinggi," imbuhnya lagi.

Selama seperempat abad, Jerman dan Cina semata disibukkan oleh hubungan dagang. Kedekatan kedua negara sedemikian besar, pada 2021 Cina menjadi mitra dagang terbesar bagi Jerman untuk enam tahun berturut-turut. Maraknya arus perdagangan antara kedua negara terutama berlangsung di bawah perlindungan politik melalui pertukaran bilateral.

Cina dan Jerman secara resmi menjalin "kemitraan strategis menyeluruh," dan rutin bertemu setiap dua tahun sekali untuk rapat konsultasi. Selain kepala negara, pertemuan itu biasanya dihadiri pejabat setingkat menteri. Forum dagang yang diwariskan bekas Kanselir Angela Merkel itu tetap akan dipertahankan oleh pemerintahan baru. Dalam program kerja koalisi, Partai Sosialdemokrat, Partai Hijau dan Partai Demokrat Bebas berkomitmen "melanjutkan rapat konsultasi antarpemerintah," yang kini akan diadakan dengan fokus "yang lebih kuat bagi Eropa."

Mitra, pesaing dan rival

Sejak baru-baru ini, kemitraan Jerman dan Cina semakin bergeser ke arah rivalitas, yang ditandai oleh sikap partai koalisi untuk "mengembangkan strategi terhadap Cina di dalam kerangka Uni Eropa, demi menegakkan nilai-nilai dan kepentingan kami dalam rivalitas sistemik dengan Cina," seperti yang ditulis did alam program koalisi pemerintah Jerman. Saat ini strategi baru tersebut sedang digodok di Berlin.

Diyakini, sikap Cina terhadap Rusia dalam invasi Ukraina akan turut mempengaruhi perdebatan. Mikko Huotari, Direktur lembaga wadah pemikir Merics, menulis Mei silam betapa kebijakan Cina "harus diukur berdasarkan besarnya dukungan Beijing terhadap Vladimir Putin," tulisnya di majalah International Politik. Dia menegaskan prioritas Jerman "harus mengurangi kebergantungan dari Cina, yang bisa membatasi keleluasaan politik luar negeri Jerman di masa krisis."

Siapa yang lebih bergantung?

Sebenarnya Cina lebih bergantung kepada pasar Eropa ketimbang sebaliknya, kara Jörg Wuttke, Presiden Kamar Dagang Eropa di Cina. "Kita setiap hari mengekspor barang senilai 600 juta Euro ke Cina. Sebaliknya Cina setiap hari menjual barang senilai 1,3 miliar Euro ke Eropa."

Namun situasi berbeda untuk investasi langsung. "Saat ini banyak perusahaan otomotif, kimia atau mesin yang memproduksi di Cina untuk pasar dalam negeri." Menurut Kementerian Perdagangan, nilai investasi langsung dari Jerman menuju Cina mencapai 86 miliar Euro pada 2018 silam. Dan investasi ini dianggap sangat menguntungkan. "Haruskah kita menutup pabrik-pabrik" di Cina? tanya Wuttke.

"Keuntungan dari pasar Cina ikut menopang harga saham di dalam negeri dan mengamankan lapangan kerja," imbuhnya, merujuk pada jutaan lapangan kerja di Jerman yang bergantung dari Cina.

Namun hasrat perceraian tidak hanya datang dari Eropa. Cina baru-baru ini juga mencanangkan program jangka panjang untuk mengurangi kebergantungan dari negara barat, "dan mencapai level kemandirian yang tinggi," tulis Kamar Dagang Eropa di Cina. Tren ini, jika berlanjut, akan semakin menghambat globalisasi ekonomi. Indikasinya bisa dilihat pada perjalanan perdana kanselir baru Jerman, Olaf Scholz, yang memilih Jepang, bukan Cina, untuk kunjungan pertamanya.

Artikel ini diterjemahkan dan disadur dari Bahasa Jerman.

(rzn/pkp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya