1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bencana Iklim Tingkatkan Risiko Pernikahan Anak di Pakistan

4 September 2024

Bencana cuaca ekstrem menciptakan risiko bagi anak perempuan di Pakistan, kata kelompok HAM. Pasalnya, keluarga pengungsi iklim terdorong untuk menikahkan paksa anak perempuan dengan imbalan uang karena kemiskinan.

Perempuan Pakistan
Perempuan PakistanFoto: Abdul Ghani Kakar/DW

Saima baru berusia 15 tahun saat dia dinikahkan tahun lalu dengan seorang pria yang berusia dua kali lebih tua di distrik Dadu, di provinsi Sindh selatan Pakistan.

Pernikahan tersebut berlangsung sesaat sebelum musim hujan, yang disertai hujan lebat dan banjir.

Keluarga tersebut khawatir situasi tersebut dapat terulang pada tahun 2022, saat hujan lebat dan banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya menenggelamkan sepertiga wilayah Pakistan,merusak panen musiman dan menyebabkan jutaan orang mengungsi.

Keluarga Saima juga mengungsi akibat bencana iklim ketika sang ayah, buruh tani Allah Bukhsh, kehilangan mata pencahariannya.

Karena tidak mampu memberi makan keluarga, Bukhsh memutuskan untuk menikahkan Saima dengan imbalan USD720 atau sekitar Rp11 juta.

"Kami membuat keputusan untuk menghindari hujan monsun dan penderitaan di kamp pengungsi. Itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan," kata Bukhsh kepada DW.

Saima mengatakan bahwa awalnya dia "senang menikah tetapi segalanya tidak semudah yang saya harapkan."

Gadis yang kini berusia 16 tahun itu melahirkan seorang anak tahun ini. "Tanggung jawab saya kini berlipat ganda,” kata dia.

Why climate change is harder on women

01:56

This browser does not support the video element.

Pernikahan untuk bertahan hidup

Menurut data pemerintah yang diterbitkan pada bulan Desember lalu, Pakistan merupakan negara dengan jumlah anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun tertinggi keenam di dunia.

Usia legal untuk menikah bervariasi dari 16 hingga 18 tahun di berbagai wilayah, tetapi hukum jarang ditegakkan.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa peristiwa cuaca ekstrem semakin membahayakan anak perempuan.

"Ada 45 kasus pernikahan anak yang terdaftar di Dadu dalam satu tahun terakhir dan saya yakin masih ada puluhan lagi yang tidak terdaftar," kata Niaz Ahmed Chandio, koordinator LSM lokal Komite Hak Anak, kepada DW.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Para aktivis mengatakan dalam kasus-kasus ini, pernikahan sering kali berkaitan dengan kondisi perekonomian, di mana keluarga yang putus asa mencari segala cara untuk bertahan hidup.

Mashooque Birhmani, pendiri LSM Sujag Sansar, yang bekerja sama dengan para ulama untuk memerangi pernikahan anak, mengatakan kemiskinan dan pengungsian memaksa keluarga untuk menikahkan anak perempuan dengan imbalan uang.

"Ini adalah pernikahan untuk bertahan hidup yang dipicu oleh musim hujan dan alasan di balik pernikahan anak perempuan adalah untuk mengurangi biaya makan di rumah selama bencana iklim," kata Sansar.

Osama Malik, seorang pengacara, memiliki pandangan yang sama. "Banjir beberapa tahun terakhir sangat dahsyat, mengakibatkan hancurnya tanaman dan ternak, dan petani miskin terpaksa menikahkan anak perempuan mereka segera setelah mereka mencapai masa pubertas," kata dia.

Child marriage in India's Rajasthan

03:11

This browser does not support the video element.

Cuaca ekstrem meningkatkan 'risiko pernikahan dini'

Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNICEF, mengatakan bahwa Pakistan telah membuat "langkah signifikan" dalam mengurangi pernikahan dini selama dua dekade terakhir.

Namun, negara tersebut telah menderita dampak perubahan iklim yang signifikan, katanya, dengan mencontohkan banjir besar pada tahun 2022.

"Bukti menunjukkan bahwa peristiwa cuaca ekstrem seperti ini berkorelasi dengan peningkatan risiko pernikahan dini," kata UNICEF dalam sebuah laporan setelah banjir.

"Dalam setahun dengan peristiwa seberat ini, kami memperkirakan akan melihat peningkatan 18 persen dalam prevalensi pernikahan dini, yang setara dengan penghapusan kemajuan selama lima tahun."

Namun, pemerintah Sindh membantah laporan bahwa kerentanan ekonomi akibat iklim menyebabkan lonjakan angka pernikahan anak di provinsi tersebut.

"Tidak ada pernikahan di bawah umur yang terjadi di Dadu, dan anak perempuan yang menikah adalah orang dewasa, bukan pengantin anak," kata Hidayat Ali Shah, wakil direktur Otoritas Perlindungan Anak di distrik Dadu, kepada DW.

Namun begitu, ”anak perempuan tetap dianggap sebagai beban dalam keluarga besar, dan seseorang yang harus segera disingkirkan," kata Afia Salam, seorang jurnalis yang fokus pada isu lingkungan dan gender. "Pemikiran patriarki ini harus ditangani melalui kampanye kesadaran," tegasnya.

rzn/yf

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait