Kekeringan ekstrem di Tanduk Afrika menempatkan sebanyak 20 juta penduduk dalam risiko kelaparan. Hujan tidak turun sejak tiga musim terakhir. Tanpa bantuan, penduduk akan kewalahan menghadapi kemarau, Maret mendatang
Iklan
Kemarau biasanya datang dan pergi. Tapi di Tanduk Afrika, musim kering sudah berlangsung sejak hampir dua tahun.
Foto anak-anak yang berjalan melintasi bangkai binatang yang mati kehausan adalah gambaran paling mencolok dari bencana kekeringan yang melanda kawasan tersebut. Sebanyak 20 juta penduduk terancam krisis pangan dan air bersih.
Saat ini pemerintah di Somalia, Kenya, dan kini Etiopia sudah mengumumkan darurat air menyusul curah hujan yang rendah. Musim kering dikhawatirkan berpotensi memicu darurat pangan terparah sejak 35 tahun, lapor Laboratorium Observasi Bumi NASA.
Menurut lembaga tersebut, perubahan iklim dan fenomena La Niña di Samudera Pasifik berkontribusi terhadap cuaca kering di timur Afrika. Negara-negara di kawasan diminta bersiap menghadapi kelangkaan pangan, setidaknya sampai musim huja berikutnya.
Di kawasan Somali, Etiopia, penduduk yang kebanyakan peternak dan penggembala, berusaha sebisanya memitigasi dampak cuaca ekstrem. Tiga musim hujan berlalu tanpa curahan air dari langit.
Ethiopia: Satu Tahun Krisis Tigray Bergejolak
Perang yang telah berlangsung selama satu tahun di Ethiopia tidak juga menunjukkan tanda-tanda mereda. Kedua belah pihak saling menyalahkan atas krisis kemanusiaan yang semakin parah.
Foto: AP Photo/picture alliance
Sebuah kota terbakar
Penduduk ibu kota Tigray, Mekele, mengais reruntuhan setelah serangan udara oleh pasukan pemerintah pada 20 Oktober. Militer mengatakan pihaknya menargetkan fasilitas manufaktur senjata yang dioperasikan oleh Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), yang kemudian dibantah oleh pasukan pemberontak Tigray.
Foto: AP Photo/picture alliance
Kabut perang membubung tinggi
Asap dari serangan udara militer mengepul di langit Mekele. Pejuang Tigray menuduh pemerintah membunuh warga sipil, sementara pemerintah federal mengklaim pihaknya menargetkan depot senjata. Penduduk setempat mengkonfirmasi bahwa setidaknya satu kompleks industri besar di Mekele telah hancur.
Foto: Million Haileselassie/DW
Pasukan yang ditangkap
Tentara pemerintah Ethiopia yang ditangkap oleh pasukan Tigray duduk berbaris dan menunggu untuk dibawa ke pusat penahanan pada 22 Oktober. Tentara tersebut diarak di jalan-jalan Mekele dengan truk terbuka sebagai bentuk unjuk kekuatan menyusul serangan udara hari keempat di ibu kota.
Foto: picture alliance/AP
Bantuan dalam perjalanan
Kendaraan Masyarakat Palang Merah Ethiopia berjalan melalui Mekele, menyusul serangan udara pemerintah. Palang Merah berupaya untuk memberikan perawatan medis dan tempat penampungan di wilayah Tigray. Di tengah pemadaman telekomunikasi regional, organisasi ini merupakan kunci untuk membantu menghubungkan kembali keluarga yang terpisah oleh konflik.
Foto: Million Haileselassie/DW
Bantuan yang langka
Sebuah pesawat kargo dari organisasi bantuan Samaritan's Purse menyalurkan bantuan di Bandara Mekele pada Maret lalu. Aliran bantuan kemanusiaan ke Tigray sejak itu mengalami gangguan akibat penghalang jalan di rute-rute utama yang menghentikan konvoi untuk melewatinya dan serangan udara yang memaksa penerbangan bantuan dibatalkan.
Foto: AA/picture alliance
Permohonan yang putus asa
Pekerja kesehatan menggelar protes di luar kantor PBB di Mekele, mengutuk kematian pasien karena kekurangan makanan dan obat-obatan. Stok pasokan vital berkurang di ibu kota, dengan tingkat malnutrisi di antara anak-anak meroket. PBB belum lama ini mengumumkan akan menarik setengah pekerjanya dari Ethiopia.
Foto: Million Haileselassie /DW
Korban perang
Seorang korban serangan udara Togoga dirawat di rumah sakit. Pada tanggal 22 Juni, Angkatan Udara Ethiopia melancarkan serangan udara di kota Tigray dan menewaskan 64 warga sipil, melukai 184 orang. Ambulans yang berusaha mencapai tempat kejadian awalnya diblokir oleh tentara sebelum konvoi lain berhasil melewatinya dan membawa 25 korban ke rumah sakit di Mekele.
Foto: Million Haileselassie/DW
Protes internasional
Di sisi lain dunia, ratusan orang berunjuk rasa di Whitehall, London pada 19 Oktober lalu dengan membawa bendera dan slogan. Mereka menyerukan diakhirinya kekerasan dan blokade bantuan di Tigray. Banyak dari pengunjuk rasa adalah anggota diaspora Tigray, Ethiopia, dan Eritrea.
Foto: Tayfun Salci/picture alliance/ZUMAPRESS
Kemarahan di kedua sisi
Demonstran di ibu kota Addis Ababa berkumpul di luar kantor Program Pangan Dunia PBB pada September, untuk memprotes pengiriman bantuan ke wilayah Tigray. TPLF ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh pemerintah Ethiopia. Pejabat dan kelompok hak asasi juga menuduh pejuang Tigray melakukan kekejaman, termasuk merekrut tentara anak. (rs/ha)
Foto: Minasse Wondimu Hailu/AA/picture alliance
9 foto1 | 9
Situasinya belum pernah separah ini, menurut Zaynab Wali, ketika menjamu delegasi Lembaga Anak PBB, UNICEF, di kediamannya. Saat bencana kekeringan terakhir melanda lima tahun silam, pemerintah memberikan bantuan makanan dan bibit tanaman kepada penduduk.
"Sekarang kami tidak punya makanan cukup buat satu keluarga,” tutur ibu tujuh anak tersebut.
Iklan
Bencana kemanusiaan
Lebih dari enam juta penduduk Etiopia diprediksi akan membutuhkan bantuan pangan darurat pada pertengah Maret, lapor UNICEF pada Selasa (01/02). Adapun di Somalia, jumlah warga yang mengalami rawan pangan mencapai tujuh juta orang.
Situasi yang mendesak menuntut bantuan cepat, menurut LSM Somali, Consortium, dalam sebuah keterangan pers. Lembaga kemanusiaan itu mengimbau lembaga donor internasional untuk mengalokasikan lebih banyak dana.
Cara Beradaptasi dengan Iklim Yang Terus Berubah
03:42
"Kita hanya satu bulan sebelum musim kering, dan saya sudah kehilangan 25 kambing dan domba,” kata Hafsa Bedel, peternak di kawasan Somali, kepada UNICEF. "Saya juga kehilangan empat unta. Tidak ada lagi susu yang bisa diperah,” pungkasnya.
Hafsa mengatakan hasil dari beternak tidak lagi cukup untuk menghidupi keenam orang anaknya.
UNICEF memperkirakan lebih dari 150.000 anak-anak di Etiopia akan dipaksa bolos sekolah untuk membantu orang tua mencari air, atau mengurus pekerjaan rumah lain.
"Hewan-hewan mati dalam kecepatan yang luar biasa, dan bertambah setiap bulannya. Matinya hewan-hewan ini berarti kelangkaan pangan untuk anak-anak, untuk keluarga,” kata Gianfranco Rotigliano, utusan UNICEF untuk Etiopia, Selasa (01/02).
Dia mengatakan beberapa sumber air alami telah kering secara permanen. Salah satu solusi yang ditawarkan UNICEF adalah merehabilitasi sumur air yang sudah ada, atau mengebor yang baru.
Menurut Rotigliano, perang antara pemerintah Etiopia dan pemberontak Tigray tidak berdampak pada operasi UNICEF menyalurkan bantuan bagi warga.