1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bencana Kemanusiaan di Jalur Gaza

6 Januari 2009

Selama perang di Jalur Gaza berlangsung, situasi kemanusiaan begitu dramatis. Tak ada listrik, air bersih dan telefon. Penanganan rumah sakit pun begitu mencemaskan.

Mereka di Gaza, dalam kemelut penderitaan
Mereka di Gaza, dalam kemelut penderitaanFoto: AP

Di Jalur Gaza, sejak 30 Desember lalu tidak ada lagi listrik yang mengalir. Tak ada bahan bakar minyak untuk manyalakan pemanas ruangan. 70 persen penduduknya tidak memiliki akses air bersih. Jaringan telefon hanya berfungsi sebagian, tidak ada telefon rumah maupun pemancar radio komunikasi yang dapat diandalkan. Bensin dan diesel di Jalur Gaza sejak beberapa bulan menjadi barang langka. Terowongan yang terbentang diantara Mesir dan Gaza, yang mengalirkan bahan bakar ke Gaza, telah dibombardir oleh tentara Israel.

Militer Israel memang telah kembali menyetujui penyaluran bantuan dan membuka pintu perbatasan. Setelah Kementrian Luar Negeri Israel menyatakan persetujuannya, sekitar 80 truk pengangkut sebenarnya sudah dapat memasuki Gaza dengan membawa kebutuhan pokok, obat-obatan, peralatan kesehatan dan sekitar 200 ribu liter bahan bakar.

Namun kini tersisa pertanyaan, bagaimana barang-barang kebutuhan itu dapat sampai di tangan mereka yang membutuhkan? Setiap alat transportasi memiliki resiko dan dapat terjebak dalam baku tembak pihak yang bertikai.

Para korban luka yang dibawa ke rumah sakit pun terasa kekurangan bantuan. Eric Fosse, dokter yang berkewarganegaraan Norwegia di RS Shifa di Gaza City, menceritakan:„Rumah sakit ini selama seminggu diblokade. Pasien hilir mudir namun kami kehabisan obat-obatan dan kekurangan peralatan medis. Ketika serangan darat dilancarkan, kesulitan ini meningkat.“

Operasi rumah sakit terbesar di Gaza itu bergantung pada mesin generator diesel. Eric Fosse mencemaskan apabila generator tersebut mengalami gangguan. Maka jika hal itu terjadi 70 pasien di ruang intensif dan 30 bayi yang lahir bisa meninggal dunia. Mereka semua sangat tergantung pada peralatan medis. Penanganan higienis di rumah sakit menurut laporan Fosse, juga bagaikan malapetaka: „Rumah sakit ini diubah menjadi rumah sakit darurat. Hari Senin, kami mengoperasi dua orang di koridor rumah sakit. Di situ ada juga orang-orang yang menunggu operasi. Mereka tergeletak di koridor rumah sakit dan akhirnya meninggal dunia sebelum kami dapat menolong.“

Para dokter dan perawat bekerja keras di luar batas kemampuan. Setelah sepuluh hari masa perang mereka membutuhkan petugas pengganti. Namun tampaknya tidak mungkin. Setelah laporan kantor koordinasi Perserikatan Bangsa-bangsa bagi kemanusiaan, memang terdapat cukup tenaga bantuan yang tersedia bagi rumah-rumah sakit. Namun sulit membawa mereka masuk ke wilayah krisis itu.

Transportasi cepat dari rumah sakit di wilayah konflik pun tidak dimungkinkan. Demikian tandas Pierre Wettach, kepala komite Palang Merah Internasional untuk wilayah Israel dan Palestina:„Titik kritisnya disini adalah: bagaimana kami dapat membawa mereka yang terluka ke rumah sakit? Kadang-kadang hal itu memakan waktu tidak dalam sepuluh atau lima belas menit. Melainkan bisa sampai berjam-jam, hingga dapat membawa orang-orang malang ini mendapat akses pengobatan.“

Hanya gencatan senjata yang dapat membuat situasi penduduk di Jalur Gaza bisa lebih baik. Sedikit waktu menarik nafas yang dapat dimanfaatkan untuk mengantarkan mereka yang membutuhkan pertolongan darurat ke rumah sakit, menyalurkan tenaga medis dan kebutuhan pokok.(ap)