1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bencana Kemanusiaan Mengintai Lembah Swat

26 Mei 2009

Bagi banyak orang di Lembah Swat yang tercabik perang, pilihan yang dihadapi bukanlah antara hidup dan mati, melainkan mati karena peluru atau bom, dan mati karena kelaparan atau penyakit.

Peta Pakistan, wilayah Swat ditandai dengan warna kuning.Foto: GFDL / Pahari Sahib

Ratusan ribu warga sipil yang terjebak dalam serangan militer terhadap Taliban di Lembah Swat menghadapi bencana kemanusiaan, kecuali pemerintah mencabut larangan, agar warga bisa keluar dan bantuan bisa masuk.

Organisasi Human Rights Watch yang berpusat di New York mengatakan, warga di kawasan barat laut Pakistan kekurangan makanan dan air, sementara tentara memborbardir militan Taliban untuk menghabisi perlawanan mereka selama dua tahun terakhir.

Serangan terhadap pusat kekuatan Taliban di Swat, sekitar 120 km barat laut Pakistan, menyebabkan eksodus besar-besaran. Pemerintah memperkirakan, sekitar 2,3 juta orang mengungsi ke wilayah tetangga yang lebih aman. Namun, sekitar 200 ribu orang diperkirakan masih berada di lembah yang keindahannya dahulu menjadi magnet bagi turis mancanegara.

Kekurangan makanan, air dan obat-obatan menciptakan krisis kemanusiaan besar bagi warga yang terperangkap. Brad Adams, Direktur Asia HRW mengatakan, "Pemerintah tidak bisa membiarkan warga tetap terjebak dalam kondisi itu, sebagai taktik untuk mengalahkan Taliban."

Human Rights Watch mendesak Islamabad agat mencabut larangan keluar rumah bagi warga Lembah Swat dan daerah sekitarnya. Laporan mengenai terbunuhnya warga sipil masih berdatangan, kata organisasi kemanusiaan tersebut.

Warga bertaruh nyawa saat melanggar larangan keluar rumah untuk mencari makanan dan air bagi keluarga mereka. Atau, mencoba melarikan diri kawasan yang menjadi medan pertempuran antara tentara Pakistan dan pejuang Taliban itu.

Warga yang mengungsi mengatakan, harga bahan pangan pokok di wilayah konflik melejit 10 kali lipat. Mayat-mayat bergeletakan tak dikuburkan sementara mereka yang luka parah seperti tak punya pilihan selain mati, karena fasilitas medis di lembah Swat sudah ditutup.

Sebagian besar pekerja medis ikut pergi mengungsi, dan beberapa dokter yang memberanikan diri tetap tinggal, tidak punya obat-obatan, bahkan yang dasar sekalipun.

Pemenggalan kepala warga sipil yang ditahan oleh pejuang Taliban juga masih berlangsung, kata Human Rights Watch. Selain itu ada laporan bahwa militer melancarkan serangan ke tempat publik seperti pasar, dan menelan korban sipil.

Laporan semacam ini sulit diverifikasi secara independen, kata HRW, karena kawasan dimana pertempuran berlangsung merupakan zona militer tertutup. Jurnalis dan pemantau HAM tidak boleh memasukinya.

Direktur Asia HRW, Brad Adams, mengatakan, "Rakyat sipil masih terus menderita di tangan Taliban dan kini penderitaan mereka diperberat oleh ketidakpedulian militer terhadap sipil dan penolakan untuk mengijinkan mereka meninggalkan daerah konflik."

Jika ingin sepenuhnya menumpas taliban, militer Pakistan harus bertindak meringankan penderitaan warga Swat dan bukan malah memperberatnya, tambah Adams.

Operasi militer di lembah Swat telah memasuki fase menentukan, tetapi sumber resmi pemerintah mengatakan tekanan terakhir akan dilakukan 'perlahan tapi menyakitkan'. Artinya, tidak ada jeda bagi warga sipil yang terjebak pertempuran dan larangan keluar rumah.

Sabtu lalu tentara memasuki Mingora, ibukota provinsi Swat dan menambah kekuatiran akan semakin banyaknya kematian warga sipil, seiring pertempuran yang bergerak dari kawasan pegunungan ke kota.

HP/RP/ap/afp/dpa/rtr