1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menambang Seng, Membibit Bencana di Dairi

Rizki Nugraha | Ajit Niranjan
12 Juni 2021

Sebuah bendungan tailing yang ingin dibangun perusahaan tambang Cina di zona gempa di Dairi, Sumut, diprediksi membahayakan jiwa penduduk. Perusahaan membantah, namun KLHK menuntut data tambahan demi keamanan.

Lokasi pembangunan tambang seng dan timah hitam milik PT DPM di Dairi, Sumatra Utara.
Lokasi pembangunan tambang seng dan timah hitam milik PT DPM di Dairi, Sumatra Utara.Foto: Fiqih Prasetya/DW

Gereja bercat hijau itu terbuat dari kayu, dan berdiri di atas sebuah bukit kecil yang menjulang di atas lembah Sopokomil, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Atapnya terbuat dari seng yang mulai lapuk. Namun begitu, saban minggu nyanyian jemaat bergema syahdu di antara tembok gereja, meski entah sampai kapan. 

Di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut, dusun-dusun di Dairi mencoba bertahan. Di desa Longkotan dan Parongil itu, kelak akan dibangun tambang seng dan timah, beserta bendungan penampungan limbah.

HKBP Sikem sendiri berdiri di atas wilayah yang kelak akan dijadikan bendungan tailing. Perusahaan mengklaim sudah mendapat persetujuan relokasi dan tukar guling bagunan dengan pengelola gereja. Namun hal ini dibantah oleh warga. 

Jaben Sahiloho sudah mendiami lembah Sopokomil sejak berpuluh tahun. Dia mengaku sebagian warga sudah menyerah. Ketimbang dipaksa hidup di tepi kolam limbah, penduduk Desa Longkotan lebih memilih tambang terbuka. Karena dengan begitu mereka setidaknya akan direlokasi.

"Apa bisa tailing dekat dengan pemukiman?” tanyanya dalam nada tak percaya. "Menurut saya karena pernah dulu studi banding ke Pongkor melihat taling, tidak ada pemukiman berada di dekat tailing.”

Hal serupa diungkapkan istrinya, Asmarina Karosekali, yang mengaku tidak sampai hati menjual tanah sendiri. "Ini adalah tanah wasiat kami untuk anak dan cucu kami. Jadi kami sayang dengan tanah ini,” kata dia saat disambangi DW.

Potensi bencana dari langit dan Bumi

Rencana PT Dairi Prima Mineral selaku pengelola tambang untuk membangun bendungan tailing di Dairi dinilai bermasalah karena rawan gempa dan dipenuhi patahan geologi. 

Rencananya, bendungan tailing kelak akan dibangun tak lebih dari 14 km dari Sesar Besar Sumatra. Menurut studi yang digelar Masyarakat Geoteknik Jepang (JGS) pada 2009 lalu, permukaan tanah di lembah Sopokomil didominasi oleh abu vulkanik dari letusan Toba. 

Kemelut Tambang di Zona Gempa Dairi, Sumatra Utara

06:08

This browser does not support the video element.

Artinya, bendungan akan dibangun di atas pondasi yang lembek, kata ahli Geologi AS, Richard Meehan, yang diminta oleh yayasan lokal buat memeriksa Analisa Dampak Lingkungan milik PT DPM.

Meehan adalah veteran tambang yang berpuluh tahun ikut mendesain bendungan tailing di seluruh dunia. Tapi kendati seorang saintis, dia tak jengah menggunakan kata-kata dramatis seputar bendungan di Dairi.

AMDAL yang diserahkan DPM mencantumkan kekuatan maksimal gempa sebesar 9,0 SR yang bisa ditanggung bendungan.

Tapi mengingat tanah yang tidak stabil, bendungan dengan desain sekarang "sudah pasti” akan jebol, dan berpotensi menciptakan bencana bagi penduduk dan lingkungan, kata Meehan.

Dia bahkan tak ragu membandingkan potensi kecelakaan limbah di Dairi dengan kasus jebolnya bendungan tailing di Brasil yang menewaskan 270 orang, 2018 silam.

Bendungan milik perusahaan tambang besi Kanada, Vale S.A. itu jebol usai limbah padat tailing mengalami likuifaksi, yang dipicu oleh sebuah pengeboran bawah tanah. Polisi mendakwa sejumlah pegawai lantaran dituduh memanipulasi dokumen pengawasan keamanan bendungan.

Hal serupa dikhawatirkan terjadi di Dairi. Kawasan Bukit Barisan dikenal memiliki curah hujan tahunan yang rata-rata bisa mencapai 5.000 mm. Untuk kawasan lain di ketinggian yang sama, rata-rata curah hujan tahunan hanya separuhnya.

Menurut desain teranyar, tembok bendungan didesain untuk memenuhi standar minimal keamanan, yakni kemampuan menahan banjir maksimal sekali dalam 100 tahun. Kriteria ini, menurut Steve Emerman, Guru Besar Hidrologi di Utah Valley University, adalah "bukan hal besar,” dan biasanya hanya digunakan untuk bendungan "yang kalau jebol pun tidak membahayakan jiwa,” kata dia kepada DW.

Bersama Meehan, Emerman diminta menganalisa AMDAL milik PT DPM. Menurutnya, "mengingat konsekuensinya yang besar, setiap bendungan tailing seharusnya didesain sesuai standar keamanan tertinggi, tapi yang kami temukan di sini adalah kebalikannya.”

Peta sebaran gempa bumi melebihi 6,0 SR di sepanjang Zona Subduksi Sunda, di barat Sumatra, antara 2000-2020. (Sumber: USGS)

Standar keamanan bendungan tailing biasanya diukur pada debit air maksimum yang bisa terjadi. Di kebanyakan negara, standar paling minimal adalah periode banjir maksimal sekali dalam 1000 atau 10.000 tahun. 

Sebab itu pula izin tambang yang diberikan pemerintah kepada DPM pada 2005 dinilai bermasalah. Namun begitu PT DPM mengaku akan mengikuti arahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang meminta pengambilan data geoteknikal di lokasi bendungan dalam sidang Amdal, akhir Mei silam.

"Kami akan patuh. Perusahaan akan patuh,” kata Ryno Chandra Mulya, yang mengawasi pembangunan Infrastruktur PT DPM. "Jika nanti dalam perjalanannya Komite keamanan bendungan mengatakan desainnya belum memenuhi syarat, kami akan mengajukan revisi lagi, sampai disetujui.”

Tekanan pasar dunia

Drama tambang di Sopokomil bermula sejak 1998, ketika perusahaan Australia, Herald Resources, menemukan cadangan timah hitam dan seng dalam jumlah besar di Dairi. Usai mendapat izin tambang pada 2005, kegiatan di lapangan mangkrak menyusul krisis ekonomi 2008.  Alhasil, Herald Resources dicaplok Abu Rizal Bakrie, lewat Bumi Resources Minerals (BRM) pada 2009. 

Pada 2014, Shanghai Metals Market melaporkan Bakrie mengontrak China Nonferrous Metal Industry's Foreign Engineering and Construction Co. (NFC) untuk membangun tambang dan bendungan tailing di Dairi. Nilai kontrak saat itu diperkirakan USD 632 juta. 

Warga berdemonstrasi menolak bendungan tailing yang dianggap membahayakan di Desa Parongil, Kabupaten Dairi, Sumut.Foto: Sarah Naibaho/YPDK

Tapi fluktuasi harga seng global menyusul derasnya arus produksi di tambang-tambang seng raksasa di seluruh dunia meredupkan harapan BRM membuka tambang di Dairi. Buntutnya, pada 2018 NFC malah membeli 51% persen saham di PT Dairi Prima Mineral, sementara sisanya dikuasai Bumi Resources. Selambatnya pada 2022, bendungan sudah harus berdiri. 

Seng kebanyakan digunakan untuk proses galvanasi di industri manufaktur dan otomotif. Ia berguna dalam bentuk cair. Tanpa dimandikan dengan logam non-ferro itu, setiap suku cadang kendaraan atau bahan bangunan akan mudah mengalami korosi. 

Meski tergolong solid, pasar seng dunia rentan mengalami gejolak akibat faktor eksternal. Baru-baru ini harga seng sempat anjlok, ketika pemerintah Cina mewajibkan pabrik-pabrik smelter di Yunnan mengurangi penggunaan listrik sebanyak 10%. Akibatnya kapasitas produksi berkurang.

S&P Global Market Intelligence memprediksi kapasitas produksi seng dunia akan mencapai puncaknya pada 2025. Artinya sesuai cadangan yang ada, laju produksi akan berkurang, ditandai oleh ancaman kelangkaan pada 2026, menurut lembaga analis perdagangan itu.

Pasrah pada perubahan

Bagi warga lokal, dinamika perdagangan seng global hanya menggandakan tekanan untuk segera membuka tambang baru di lembah Sopokomil. 

Saat ini kebanyakan warga hidup dari pertanian. Meski area tambang tidak merambah hingga ke kebun rakyat, kekhawatiran pencemaran logam berat terhadap sumber air tetap meruak, terlebih ketika PT DPM enggan mengungkap dari mana air untuk tambang diambil. 

Kawasan di kaki Bukit Barisan ini sudah menghidupi warga dengan lahan yang subur dan asri. Lembah Sopokomil merupakan wilayah suku Pakpak, yang mulai dihuni suku Batak Toba sejak abad ke20.

Di dalam Amdal-nya pun, PT DPM mengakui menemukan sarang orangutan ketika menjelajah hutan di sekitar, dan bahwa pembukaan hutan akan merenggut wilayah berburu sejumlah satwa langka.

Keasrian itu sudah direlakan oleh sebagian warga, klaim Jaben Sihaloho. Mereka pada dasarnya tidak berkeberatan dengan keberadaan tambang, namun menuntut relokasi menjauhi bendungan tailing. 

Namun bagi istrinya, Asmarina, melepas tanah kelahiran tidak semudah menjual barang. "Ini adalah tanah wasiat kami untuk anak dan cucu kami. Kami takut, ke mana anak cucu kami, masa depannya bagaimana,” kata dia.

"Sekiranya rumah ini diambil, mau ke mana orang itu, sekiranya dapat duit, sebentarnya itu. Mau sebanyak apapun, sebentarnya itu.” 

Semuanya bergantung pada sepucuk lahan milik HKPB Sikem di pungung bukit itu. Setelah sempat dikabarkan setuju tukar guling lahan, pihak gereja Rabu (9/6) silam secara resmi menolak menjual tanah untuk dijadikan bendungan limbah.

*)Koresponden DW, Fiqih Praestya, turut berkontribusi dalam pembuatan tulisan ini

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya