Bentrokan Berdarah di Myanmar
29 Oktober 2012Ratusan rumah dibakar selama akhir pekan yang lalu, sementara aparat keamanan berusaha menekan bentrokan antara kelompok Budha dan Islam di bagian barat Rakhine, di mana pertempuran sudah terjadi. Seorang pegawai pemerintah mengatakan, 49 pria dan 39 perempuan sejauh ini tewas, sehingga sejak Juni lalu korban tewas sudah mencapai 180 orang.
Ia menambahkan, sekitar 300 rumah dibakar di Pauktaw, hari Minggu, tetapi tidak ada korban jatuh. Kelompok HAM mengkhawatirkan jumlah yang tewas bahkan lebih banyak lagi. Kerusuhan pekan lalu itu diakibatkan aksi protes karena tertutupnya jalan menuju tempat pengambilan bantuan internasional di kota Sittwe, ibukota Rakhine, yang sudah dikepung sejak Juni.
Kelompok Masyarakat Paling Menderita
Permusuhan antara pemeluk agama Budha dan warga minoritas Rohingya, yang sudah berlangsung beberapa puluh tahun, meletus Juni lalu setelah adanya laporan akan pemerkosaan dan pembunuhan seorang perempuan dari kelompok etnis Rohingya. Sejak itu serangkaian serangan balas dendam berlangsung.
Sebagian besar penduduk Myanmar beragama Budha. Warga Rohingya, yang sudah tinggal di Rakhine sejak beberapa generasi lalu, sebagian besar berasal dari keluarga pekerja yang didatangkan dari Bangladesh di masa penjajahan Inggris. Warga minoritas Rohingya yang berjumlah 800.000 dianggap PBB sebagai salah satu kelompok masyarakat minoritas yang paling menderita di dunia.
Sedangkan bagi pemerintah Myanmar mereka adalah imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh. Mereka menghadapi tekanan berat dan pembatasan ketat atas pergerakan mereka dalam pencarian pekerjaan, pendidikan dan layanan publik. Mereka tidak dinyatakan secara resmi sebagai warga minoritas, dan tidak berhak mendapat kewarganegaraan menurut hukum sipil Myanmar tahun 1982.
Organisasi HAM, Human Rights Watch menerbitkan foto-foto satelit yang menunjukkan pemusnahan luas di daerah Kyaukpyu yang sebagian besar penduduknya warga Rohingya. Daerah itu adalah daerah utama penghasil gas yang diekspor ke Cina. Dari foto-foto tersebut tampaknya seluruh bangunan sudah musnah. Kelompok masyarakat lainnya yang beragama Islam juga telah diusir, termasuk Kaman, yang menjadi salah satu kelompok etnis yang diakui di Myanmar.
Membahayakan Reformasi Negara
PBB memperkirakan, sejak 21 Oktober lalu, 26.500 orang sebagian besar beragama Islam, terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka. Sementara itu, sekitar 75.000 orang sudah hidup berdesakkan di kamp-kamp pengungsi, sebagai konsekuensi dari kerusuhan yang terjadi Juni lalu. Pertempuran baru menyebabkan ribuan kapal yang mengangkut pengungsi berdatangan di ibukota Rakhine, Sittwe.
Hal itu menyebabkan terancamnya keamanan di Sittwe, demikian dikatakan seorang pejabat pemerintah, yang tidak ingin disebutkan namanya. Mereka tidak ingin melihat kerusuhan terjadi, sehingga pengungsi baru akan dipindahkan ke tempat lain. Pemerintah pusat dan lokal akan mengurus pemindahan. Demikian ditambahkannya. Kerusuhan itu telah menyebabkan seruan dunia internasional yang semakin keras. PBB memperingatkan, itu dapat membahayakan reformasi negara yang dipuji dunia internasional.
Kerusuhan terakhir menyebabkan pemerintah mengijinkan PBB beroperasi lebih luas ke kota-kota yang dilanda kerusuhan. Demikian keterangan PBB. 21 Oktober lalu, Presiden Thein Sein mengatakan, ijin bagi pemberian bantuan harus diberikan bagi kota yang mayoritas penduduknya Islam, walaupun kelompok masyarakat Budha menolak. Kamp pengungsi di Rakhine sudah mendapat bantuan dari PBB dan organisasi kemanusiaan Dokter Lintas Batas sejak Juni lalu.
ML/HP (dpa, afp)