Provokasi di YLBHI yang dipicu oleh berita bohong terkait PKI sengaja dimainkan untuk menyulut bentrokan dan perpecahan guna melemahkan pemerintah. Aparat kepolisian memeriksa 34 orang terduga pelaku bentrokan.
Iklan
Pengepungan dan bentrokan di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, oleh massa yang berasal dari berbagai kelompok dipicu oleh berita bohong, kata Setara Institute. Hendardi, ketua Setara Institute lewat rilis pers yang diterima DW Indonesia menyatakan ada pihak yang sengaja memainkan isu kebangkitan PKI demi memecah belah warga Indonesia.
"Pada peristiwa yang terjadi di YLBHI, tampak jelas kelompok penyerang adalah organ-organ intoleran yang selama ini menebar teror atas ketertiban dan bekerja atas desain aktor lain yang mengendalikannya. Masyarakat mesti sadar dan memahami bahwa isu kebangkitan PKI adalah cara untuk memecah belah warga dan hanya menguntungkan pihak-pihak yang menggerakkannya," ujar Hendardi lebih lanjut.
Polisi periksa terduga pelaku bentrokan
Polisi telah menahan 34 orang terkait aksi bentrokan antara aparat keamanan dengan massa yang mengepung kantor YLBHI, Senin dini hari tadi (18/09).
"Sekarang masih menjalani pemeriksaan di Polres Jakpus," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono seperti dikutip Kompas.com. Sejumlah orang tersebut diduga terlibat dalam aksi bentrokan, namun saat ini status mereka masih sebatas terperiksa.
Berita hoax menyulut aksi demonstrasi
Pengepungan di kantor YLBHI bermula saat massa yang berdemonstrasi mendengar isu bahwa YLBHI menggelar diskusi tentang Partai Komunis Indonesia. Melalui rilis pers, YLBHI menyatakan tudingan tersebut adalah berita bohong.
"Jelas hoaks atau berita-berita bohong telah disiarkan, propaganda tuduhan yang mengada-ada telah diviralkan," demikian pernyataan yang ditandatangani ketua YLBHI, Asfinawati. "Instruksi-instruksi untuk menyerang LBH dilakukan secara sistematis dan meluas bahwa (diskusi) ini acara PKI, menyanyikan lagu 'Genjer-genjer' dan lain-lain, padahal sama sekali tidak ada, kami khawatir ini ditunggangi oleh pihak-pihak yang menghendaki chaos dan rusuh" lanjut keterangan tersebut.
Rangkaian acara "Asik Asik Aksi" yang digelar YLBHI adalah kegiatan diskusi dan pagelaran seni yang dihadiri seniman, budayawan dan akademisi untuk membahas tentang darurat demokrasi.
Upaya melemahkan Jokowi?
Lebih lanjut, ketua Setara Institute mendesak agar aparat kepolisian menelisik lebih dalam siapa aktor di balik oknum di lapangan. "Aparat kepolisian harus mencari aktor intelektual di balik peristiwa itu. Indikasi keterlibatan individu dan organisasi jelas bisa ditelusuri dari hoax-hoax yang selama ini diproduksi dan disebarluaskan, yang pada intinya bertujuan melemahkan kepemimpinan Jokowi. Polri juga tidak boleh lagi berkompromi pada kelompok yang mengklaim anti-PKI yang melakukan banyak praktik persekusi dalam 3 tahun terakhir," ungkap Hendardi lebih lanjut.
Meski tak secara langsung menyinggung peristiwa bentrokan di YLBHI, Presiden Joko Widodo menyoroti perihal kabar bohong pada acara Perkemahan Wirakarya Pramuka Ma'arif NU Nasional, di Magelang, Jawa Tengah, Senin (19/09)
"Tetapi jangan lupa di media sosial sekarang yang jelek-jelek, yang menjelekkan, yang negatif, yang fitnah yang mencela, yang hoax, yang kabar bohong. Kejujuran menjadi tantangan kita ke depan," kata Presiden Joko Widodo. "Bagaimana kita beradu cepat dengan negara lain, kalau tidak ya, kita akan ditinggal.. Bagaimana kita beradu kreatifitas, kalau tidak kita kreatif ya kita akan ditinggal," ujar Jokowi menambahkan.
ts/hp (dpa, kompas.com, jakarta post, setkab.go.id)
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.