Usut Kerusuhan 22 Mei 2019 Lewat Tim Investigasi Independen
Rizki Akbar Putra
27 Mei 2019
Apa sebenarnya penyebab delapan orang tewas dalam aksi Mei 2019? Jika peluru karet, maka itu tak termasuk pelanggaran HAM, kata aktivis HAM Andreas Harsono. Pemerintah pun didesak untuk bentuk tim investigasi independen.
Iklan
Delapan orang tewas saat kerusuhan 21-22 Mei 2019 terjadi di Jakarta. Saat ini, Mabes Polri sudah membentuk tim investigasi untuk mengusut kematian para korban bekerja sama dengan lembaga seperti Komnas HAM dan SETARA Insitute. Namun, aktivis HAM dari organisasi Human Right Watch (HRW) Indonesia, Andreas Harsono beranggapan pemerintah sebaiknya tetap membentuk tim investigasi independen oleh negara dan bukan swasta untuk mengungkap teka-teki aksi 22 Mei tersebut, mulai dari dugaan kekerasan yang dilakukan aparat, korban tewas yang masih remaja, hingga dugaan mobil ambulans milik Gerindra yang berisi batu.
DW: Apa tanggapan Anda selaku aktivis HAM terkait kerusuhan 22 Mei 2019?
Andreas Harsono: Secara umum kami (Human Rights Watch) mengusulkan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan investigasi yang independen terhadap kerusuhan minggu lalu. Sekarang memang sudah ada investigasi dari pihak polisi, telah menangkap cukup banyak orang. Beberapa media juga melakukan investigasi. Tentu dari istana, Jenderal Moeldoko juga mengeluarkan beberapa statement yang sudah kurang lebih menyimpulkan beberapa hal. Termasuk pihak TNI polisi militer menangkap beberapa tentara termasuk jenderal pensiun.
Persoalan ini complicated karena persoalan hukum tidak sekadar bisa disamakan dengan pernyataan-pernyataan di media, maka itu kami usul bentuklah tim investigasi yang independen. Mungkin seperti dulu Presiden Habibie membentuk Komisi Penyidik Mei 98. Atau juga DPR yang bikin, Komnas HAM juga bisa. Yang penting tim ini kredibel, bukan orang-orang yang tidak independen. Di DPR juga ada yang independen, tidak semua politisi kehilangan independensinya. Misalnya orang yang punya integritas, kredibilitas, yang mengerti hukum, yang tidak mudah mengeluarkan statement. Biarkan mereka bekerja cukup lama, setahun pun gapapa, tapi polisi harus tetap jalan. Nanti setahun kemudian tim ini memberikan hasil agar orang tahu duduk perkara Mei 2019.
Kisruh Berdarah Protes Hasil Pilpres
Eskalasi kekerasan memuncak 21 Mei malam dan menyisakan sejumlah korban tewas. Presiden Joko Widodo mengatakan tidak akan menolerir para perusuh dan memerintahkan penangkapan atas mereka yang terlibat pelanggaran hukum.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Eskalasi Berawal Dari Lemparan Batu
Sedikitnya enam orang meninggal dunia dan ratusan luka-luka saat massa pendukung Prabowo Subianto bentrok dengan aparat keamanan saat memrotes hasil penghitungan suara di depan gedung Bawaslu, Jakarta. Kisruh diklaim berawal ketika pendemo melempar batu ke arah barisan kepolisian.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Api di Jalan Raya
Para pendemo mengamuk saat hendak dibubarkan polisi. Sebagian lalu merusak asrama Brigade Mobil Kepolisian dan membakar sejumlah kendaraan. Polisi menangkap sejumlah orang yang diduga sebagai provokator kerusuhan. Kabarnya sebuah mobil ambulans milik partai Gerindra juga ikut diamankan setelah kedapatan membawa batu untuk demonstran.
Foto: AFP/D. Krisnadhi
Arus Balik di Media Sosial
Sebelum aksi protes, Prabowo Subianto sempat meminta massa pendukungnya agar tetap berlaku damai dan tenang. Namun himbauan itu tidak digubris sebagian pendemo. Akibatnya tagar #TangkapPrabowo menggema di Twitter dengan lebih dari 220 ribu cuitan. Netizen juga menyoroti pidato Amien Rais yang menyamakan aksi polisi layaknya PKI dengan menyerukan penangkapan tokoh Partai Amanat Nasiona (PAN) itu.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Mempermasalahkan Angka, Menggoyang Negara
Massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) menuntut agar penghitungan suara diulang lantaran mencurigai kecurangan sistematis. Prabowo Subianto sendiri berniat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun gugatan sebelumnya ke Bawaslu ditolak lantaran BPN hanya mengirimkan tautan berita online sebagai barang bukti.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Manuver SBY dari Singapura
Koalisi Prabowo-Sandiaga Uno mulai mengalami keretakan. Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono yang sebelumnya mendukung capres 02 berbalik badan mengakui hasil penghitungan suara dan memberikan ucapan selamat atas kemenangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Ucapan serupa sebelumnya sudah dilayangkan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan kepada Joko Widodo.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Tudingan Miring Kepolisian
Polisi mengklaim demonstrasi di Jakarta bukan aksi spontan, melainkan telah direncanakan. Sejumlah demonstran diklaim mengaku mendapat bayaran untuk ikut bergabung dalam aksi protes. Pemerintah sebelumnya berusaha meredam demonstrasi dengan menebar isu makar kepada kubu oposisi.
Foto: DW/R.A. Putra
Pukulan Balik Pemerintah
Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, mengaku pemerintah memblokir akses media sosial demi menghadang penyebaran kabar palsu. Hal ini dipicu oleh maraknya fitnah kepada kepolisian yang diposisikan berhadapan dengan "umat Islam." Wiranto juga mengklaim telah mengantongi daftar berisikan nama-nama terduga provokator kerusuhan.
Foto: DW/R.A. Putra
Manuver Hukum Jelang Pelantikan
BPN Prabowo-Sandiaga memiliki waktu hingga 11 Juni untuk mengajukan gugatan terkait hasil penghitungan suara kepada Mahkamah Konstitusi. Seusai jadwal yang telah ditetapkan KPU, proses hukum tersebut akan berakhir pada 24 Juni saat pembacaan keputusan. Sementara presiden dan wakil presiden terpilih akan dilantik pada bulan Oktober 2019. (rzn/rap/hp: dari berbagai sumber)
Foto: DW/R.A. Putra
8 foto1 | 8
Tim ini harus di luar lingkaran istana kah?
Ini kan mencari pihak yang tidak gampang di Indonesia hari ini. Kalau itu dibentuk presiden dituduh pro Jokowi, kalau dia dibentuk DPR nanti dikira isinya politisi saja, dibentuk jaksa agung yang sekarang dianggap terlalu konservatif, dibentuk Komnas HAM tapi Komnas HAM sudah banyak kehilangan wibawa. Saya tidak tahu persis siapa, tapi idenya adalah membentuk tim investigasi independen oleh negara bukan swasta.
Menurut Anda, adakah indikasi pelanggaran HAM pada kerusuhan 22 Mei silam?
Ini ada unsur kejahatan, satu. Jelas-jelas membawa batu dalam ambulans, itu kejahatan. Melanggar prinsip alat kesehatan dilarang untuk kegiatan kekekerasan, itu sudah dilanggar. Kalau itu benar punya Gerindra, berarti Gerindra telah melakukan kejahatan. Kalau dari delapan orang yang mati ditembak, tujuh mati karena peluru karet. Berarti tidak bisa dikatakan itu pelanggaran Hak Asasi Manusia, itu lebih ke kecelakaan. Karena seyogianya peluru karet tidak membunuh, tetapi ada satu mati dengan peluru tajam. Yang satu perlu dicari karena itu merupakan pelanggaran. Ambulans, kasus Soenarko soal senjata satu pucuk saja dikirim pakai pesawat terbang, dan satu orang mati menggunakan peluru tajam siapa yang menembak itu? Karena (ada) prosedur polisi (terkait) peluru karet.
Tentu ada korban, tapi kami menganggap polisi maupun tentara menunjukkan secara umum menahan diri. Tapi ada satu kasus, orang dipukuli sama Brimob itu menurut saya pelanggaran. Orang tidak boleh dipukuli seperti itu walaupun ia menjengkelkan. Ia membawa batu, tetap tidak boleh dipukuli. Setelah ia ditangkap ya sudah ditangkap saja tidak usah dibawa. Walaupun ia membawa pistol kemudian berhasil dilumpuhkan ya tidak boleh dipukuli.
Jadi sudah tepat langkah-langkah yang diterapkan oleh aparat keamanan dalam menangani kerusuhan minggu lalu?
Menurut Human Rights Watch, polisi dan tentara sudah menunjukkan sikap sesuai prosedur. Menurut kami sementara ini, polisi dan TNI menunjukkan crowd control. Crowd control itu menimbulkan korban tak terelakkan, itu dimana-mana. Itu bisa diterima di mata internasional, hukum PBB.
Persoalannya harus dicari dulu kenapa mereka ada di sana. Anda tahu di Ambon itu pasukan paling ganas namanya agas dan ini anak remaja. Persoalannya mereka harus dilihat dulu terlibat atau by tender. Kalau mereka ikut demonstrasi ya saya kira harus ditanya kepada orangtuanya karena anak-anak tanggung jawab orang tuanya. Kenapa mereka diperbolehkan ikut?
Mengenang Kerusuhan Mei 1998
Menurut data Tim Relawan Untuk Kemanusian, Mei 1998 terdapat 1.190 korban tewas dalam keadaan terbakar dan ratusan korban hilang. Sementara korban dan/atau saksi mata perkosaan ada 189 orang.
Foto: Monique Rijkers
Hampir Dilalap Api
Mei 1998, Steven Winata berjalan kaki mengantar sabun, 500 meter dari rumahnya di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Dalam keadaan tangan penuh barang bawaan, murid sekolah dasar ini dituduh menyenggol dan membuat seorang anak pribumi jatuh ke dalam selokan. Massa yang mengamuk hampir membakar tubuh Steven. “Saya selamat karena Ketua RT mengenali saya dan mengantar saya pulang.”
Foto: Monique Rijkers
Api Reformasi Akan Terus Menyala
Suara tuntutan agar Presiden Soeharto lakukan reformasi politik bergema di sejumlah kampus termasuk dari Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Namun aksi unjuk rasa damai itu dilawan dengan tembakan peluru tajam yang tewaskan 4 mahasiswa Trisakti. Taman Reformasi adalah inisiatif mahasiswa dan diresmikan bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tahun 2014 agar Api Reformasi terus menyala
Foto: Monique Rijkers
Terjebak Api
Mei 1998, tahun lokasi pusat perbelanjaan ini menjadi sasaran penjarahan massa. Namun bangunan itu terbakar dan ditemukan 118 jasad tewas terbakar yang tak dapat dikenali. Kini pusat perbelanjaan baru yang semarak dengan papan iklan di Klender, Jakarta Timur itu seakan ingin meredam ingatan pada teriak tubuh-tubuh yang dijilati api.
Foto: Monique Rijkers
Akibat Api Sentimen Rasial
Penjarahan saat Kerusuhan Mei ’98 bukan hanya menyasar pusat perbelanjaan, rumah warga pun tak luput dari sasaran massa. Rumah Sudono Salim, pemilik Bank BCA di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat diserbu massa dan sempat dibakar. Kini deretan aset keluarga Sudono Salim menjadi “monumen” sentimen rasial yang kembali menyala dua dekade lalu.
Foto: Monique Rijkers
Melawan Api Kebencian
Salah satu lokasi kerusuhan 98 adalah kawasan Glodok, Jakarta Barat. Pada sebuah lorong sempit di Glodok, Jakarta Barat sebuah pintu rumah terbuka dan terlihat sejumlah pria duduk sambil mendengar musik Mandarin. Bapak yang tak mau disebut namanya itu mengaku rumahnya dibakar orang pada Mei 1998 lalu. Kini rumah-rumah ini kembali dibangun. Warga mengurung diri dalam pagar tinggi demi rasa aman.
Foto: Monique Rijkers
Sisa Dari Yang Terbakar
Sepotong balok kayu bekas rumah yang terbakar Mei 1998 lalu masih dipertahankan oleh pemiliknya sebagai tonggak kesaksian peristiwa yang ingin ia lupakan. Informasi berasal dari petugas Perlindungan Masyarakat setempat.
Foto: Monique Rijkers
Bertugas Saat Api Melanda
Widodo adalah petugas Perlindungan Masyarakat di RW 01, Taman Sari, Jakarta Barat. Mei 1998, ia bertugas di lokasi dalam foto dan menyaksikan api menjalar seluruh tempat usaha sekaligus rumah warga. Widodo mengaku tidak mampu mencegah massa karena massa dan warga sudah berbaur sedangkan ia sibuk membantu petugas pemadam kebakaran. “Semua rumah yang sekarang ini rumah baru”, kata Widodo.
Foto: Monique Rijkers
Bangkit Dari Abu
Toko alat sembahyang agama Buddha ini sebelum kerusuhan adalah percetakan sekaligus rumah tiga lantai di Glodok, Jakbar. Setelah ludes terbakar, rmereka memulai dari nol. “Tak mau ingat-ingat lagi”, kata ibu yang menolak sebut namanya. “Kerugian alat cetak ratusan juta rupiah dan materi bisa dihitung tetapi kerugian mental tak ternilai.”, ujar anak laki-laki pemilik toko yang turut menjaga toko.
Foto: Monique Rijkers
Saksi Mata Selamat
Hendry (68 tahun) mempunyai rumah sekaligus bengkel las bubut di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Mei 1998 keluarganya menyelamatkan diri, menumpang di bedeng di sebelah rumahnya. Sementara Udin (50 tahun) saat itu jualan rokok di trotoar sebelah bengkel las bubut Hendry. Saat kerusuhan terjadi ia memilih pulang ke kampung di Kuningan, Jawa Barat. Udin dan Hendry sudah bersahabat selama 30 tahun
Foto: Monique Rijkers
Korban Tragedi
Pemerintah memakamkan korban tewas yang tidak bisa dikenali atau tidak beridentitas di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur. Seratusan nisan tak bernama menandai tragedi kemanusiaan 1998. Tahun 2015, pemerintah Jakarta resmikan Prasasti Tragedi Mei’98 bertuliskan pesan “Pengorbanan jiwa mereka telah menyalakan api reformasi menuju Indonesia yang lebih rukun, bermartabat dan cinta damai.”
Foto: Monique Rijkers
Pemerkosaan Itu Ada
Tim Relawan Untuk Kemanusian Mei ’98 menerima laporan korban perkosaan saat kerusuhan. Laporan yang bisa diverifikasi dengan menemui korban dan/atau saksi mata ada 189 orang. Ita.F. dan Dr Lie Dharmawan memeriksa fisik serta merawat sejumlah korban pemerkosaan. Korban pemerkosaan Mei ’98 Ita Martadinata tewas dibunuh Oktober 1998 saat akan bersaksi di PBB. Penulis: Monique Rijkers (ap/vlz)
Tidak dong, kalau 98 dibiarkan. Kalau kemarin pemerintah polisi bertindak. Kalau 98 didiamkan. Bukan dibantu tapi kelihatan polisi maupun tentara tidak bekerja cukup keras untuk menjaga keamanan saat itu. 98 yang mati 2500 lebih loh, kerusakan ekonominya enggak tahu berapa. Itu rupiah kehilangan nilainya sampai 60 persen, kemarin satu persen saja enggak sampai.
Rekomendasi apa yang bisa Human Rights Watch berikan kepada pemerintah?
Butuh investigasi independen. Satu sisi ada dari pendukung Prabowo yang melakukan kekerasan dan mengunakan ambulans untuk batu. Buktinya ada. Sisi lain polisi yang memukuli orang itu tidak boleh, orang yang sudah dilumpuhkan tidak boleh dipukuli. Ketika orang mau melempar kemudian ditembak peluru karet ya enggak apa-apa, kebetulan ditembak mati ya nasib sial, kan peluru karet. Khusus satu orang ini (peluru tajam) matinya bagaimana, siapa yang disitu, kan banyak rekamannya. Kira-kira itu ya persoalannya. Kebencian anti-Tionghoa juga mesti dicari. Polisi tidak boleh over reactingmukulin orang.