Militer Myanmar melancarkan kudeta dan menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi. Dengan berkuasanya para jenderal, eksperimen demokrasi di Myanmar dengan sendirinya gagal, menurut editor senior DW, Rodion Ebbighausen.
Iklan
Ketika militer Myanmar mulai menarik diri dari panggung politik pada 2011, satu pertanyaan menyeruak ke kesadaran umum, seberapa besar kekuasaan yang akan diserahkan oleh militer kepada pemerintahan sipil?
Saat itu tidak sedikit yang meragukan niat para jendral, dan mencurigai lahirnya kedikaturan militer di balik jubah demokrasi. Sebaliknya kaum optimis memahaminya sebagai sebuah awal baru, dan peluang bagi demokratisasi di Myanmar.
Kemajuan dini
Awalnya transformasi di Myanmar berhias kabar positif. Jendral Thein Sein yang berkuasa ternyata serius ingin membuka seisi negeri bagi dunia internasional. Aung San Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah, sebagaimana tokoh dan petinggi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) lain yang ditangkap. Militer juga secara perlahan membuka ruang bagi kebebasan pers.
Ketika NLD memenangkan pemilu legislatif pada 2015 silam, militer dan partai bentukannya, Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP) legowo menerima kekalahan. Tidak ada kerugian dalam sikap tersebut: Karena menurut konstitusi baru Myanmar, militer menguasai seperempat kursi di parlemen, serta Kemeterian Pertahanan, Perlindungan Perbatasan dan Kementerian Dalam Negeri.
Terlebih, Aung San Suu Kyi dilarang menjadi presiden. Tapi setidaknya militer masih mengindikasikan kesediaan berkompromi.
Berbekal legitimasi elektoral pada 2015, NLD melangkahi militer dengan membentuk jabatan khusus bagi Suu Kyi, sebagai kanselir negara yang berwenang serupa perdana menteri, namun tanpa status resmi di dalam konstitusi.
Sosok yang mengarsiteki manuver politik itu adalah seorang pengacara bernama Ko Ni, yang dikenal kritis terhadap militer. Dia ditembak mati di depan bandar udara Yangon tidak lama berselang. Pelakunya berhasil ditangkap, tapi dalang di balik pembunuhan itu gagal terungkap.
Kematian Ko Ni membiaskan peringatan kepada pemerintahan sipil agar tidak mengusik kepentingan militer. Tatmadaw yang menganggap diri sebagai penjamin stabilitas dan kesatuan, tidak bersedia membiarkan pihak lain mendikte aturan main di Myanmar.
NLD sebaliknya merawat sikap konfrontatif terhadap kekuasaan para jendral. Ketika warga Myanmar membutuhkan reformasi untuk meningkatkan layanan publik, petinggi partai malah menghabiskan energi untuk mengupayakan amandemen konstitusi, yang kemudian dicegah oleh militer melalui fraksinya di parlemen.
Hubungan antara Suu Kyi dan Panglima Militer, Jendral Min Aung Hlaing, akibatnya mencapai titik nadir. Kehadiran Suu Kyi di depan Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda, di mana dia membela negerinya dari tuduhan genosida terhadap Rohingya – yang berarti juga melindungi militer – gagal menghangatkan relasi kedua pemimpin.
Iklan
Arus balik
Pada November 2020 lalu NLD dan Suu Kyi kembali membukukan kemenangan mutlak dengan 83% suara. Kali ini, militer menggugat hasil penghitungan suara dan menuduh adanya kecurangan pemilu. Komisi Pemilihan Umum yang dibentuk pemerintahan sipil Myanmar sontak menepis tudingan miring tersebut. Gugatan yang dilayangkan militer kepada Mahkamah Agung saat ini masih ditangguhkan.
Kini, militer melancarkan kudeta dan ingin menguasai pemerintahan selama satu tahun, antara lain untuk merombak komisi pemilu. Pasal 417 dalam konstitusi negara membenarkan kudeta Min Aung Hlaing, karena mengizinkan militer merebut kekuasaan dalam situasi darurat atau ketika kedaulatan negara sedang terancam.
Tatmadaw meyakini langkahnya sudah benar. Tapi kudeta di Myanmar membiaskan sebuah paradoks, bahwa militer harus merobohkan demokrasi untuk membangunnya kembali.
Jadi seberapa banyak kekuasaan yang ingin dibagi oleh militer? Jawabannya adalah tidak secuilpun.
Rodion Ebbighausen (rzn/hp)
Aung San Suu Kyi: Ironi Pejuang Kemerdekaan
Aung San Suu Kyi dari Myanmar memiliki komunitas global yang mendukungnya ketika dia menjadi tahanan politik belasan tahun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir dia dihujani protes soal militer membantai Muslim Rohingya.
Foto: picture-alliance/dpa
Lahir untuk demokrasi
Aung San Suu Kyi lahir tanggal 19 Juni 1945 di Yangon, yang dulu merupakan ibu kota Myanmar di yaman koloni Inggris. Ia anak perempuan pahlawan nasional Jenderal Aung San yang menjadi korban serangan tahun 1947. Suu Kyi mengenyam pendidikan di Inggris dan pulang ke Myanmar pada akhir 1980an. Dia menjadi tokoh kunci dalam pemberontakan 1988 melawan kediktatoran militer di negara tersebut.
Foto: dapd
Tahanan Rumah
Tahun 1989, sesaat sebelum pemilu, Aung San Suu Kyi untuk pertama kalinya menjadi tahanan rumah. Hampir selama 15 tahun ini hanya mendekam di rumahnya. Setelah tahun 1995, Suu Kyi dilarang bertemu kedua putra dan suaminya, Michael Aris, bahkan setelah suaminya didiagnosis menderita kanker. Aris, terlihat di foto menampilkan gelar doktor kehormatan yang diberikan kepada istrinya.
Foto: TORSTEN BLACKWOOD/AFP
Nobel Perdamaian
Tahun 1991 Aung San Suu Kyi diberi penghargaan Nobel Perdamaian bagi "usahanya memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia." Karena ia khawatir, junta militer tidak akan mengizinkannya kembali ke Myanmar, putranya Kim yang menerima penghargaannya di Oslo. Setelah 20 tahun berselang, Aung San Suu Kyi baru bisa menyampaikan pidato penerimaannya.
Foto: AP
Bebas dari tahanan rumah
Masa tahanan rumahnya benar-benar berakhir tanggal 13 November 2010. Ini momen yang menandakan proses pendekatan antara Aung San Suu Kyi dan junta militer. Militer tidak ingin terus diisolasi oleh dunia internasional dan Aung San Suu Kyi sadar, bahwa ia hanya akan sukses juga melakukan dialog dengan pihak militer.
Foto: picture alliance/epa/N. C. Naing
Kunjungan Pertama Seorang Presiden AS
Akhir 2012, Presiden AS Barack Obama berkunjung ke Myanmar. Ia bertemu dengan Aung San Suu Kyi di rumah tempat ia menjadi tahanan selama bertahun-tahun. Lewat kunjungannya, Obama seakan menghormati perjuangan sang tuan rumah dan membantu Myanmar keluar dari isolasi.
Foto: Reuters/K. Lamarque
Penghargaan dari Berlin
Tahun 2014 Aung San Suu Kyi berkunjung selama dua hari ke Berlin. Ia bertemu dengan Presiden Jerman Gauck dan meraih penghargaan Willy-Brandt atau upayanya memperjuangkan HAM dan demokrasi. Saat itu ia menegaskan, masa depan demokrasi negaranya masih belum jelas.
Foto: picture-alliance/dpa
Disumpah sebagai anggota parlemen
Usahanya selama puluhan tahun akhirnya membuahkan hasil, dan pada tahun 2012 Suu Kyi diizinkan mencalonkan diri dalam pemilu. Dia memenangkan kursi di parlemen saat Myanmar memulai peralihannya dari pemerintahan militer. Ia menjadi pemenang dalam pemilu tahun 2015, tapi pada akhirnya ia menjabat sebagai menteri luar negeri dan penasihat negara - peran yang mirip perdana menteri.
Foto: AP
Dikritik soal Rohingya
Krisis pengungsi Rohingya sedikti mencoreng namanya. Lembaga pembela hak asasi manusia melontarkan kritik terhadap pemenang hadiah Nobel perdamaian itu. Ia dtuding tidak berupaya untuk mengatasi krisis ini. Suu Kyi dianggap takut ditinggalkan pendukungnya yang mayoritas Buddha dalam Pemilu Parlemen.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Tidak lagi disukai
Ketika menjadi penasihat negara di tahun 2016, Suu Kyi membentuk komisi untuk menyelidiki klaim tindak kekejaman negara terhadap kaum Rohingya di negara bagian Rakhine. Suu Kyi menuding Rohingya menyebarkan "segunung informasi yang salah", dan prihatin dengan "ancaman teroris" yang ditimbulkan oleh para ekstremis. Sikapnya memicu protes di negara-negara mayoritas Muslim di seluruh dunia.
Foto: picture-alliance/Zumapress/J. Laghari
Pemilu kontroversial
Pada tahun 2020, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi(NLD) yang berkuasa di Myanmar memenangkan pemilu 8 November, dengan kursi yang cukup untuk membentuk pemerintahan berikutnya. Namun, pihak militer, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan, mengklaim penipuan dan menuntut pemilihan baru yang diawasi oleh militer. Dengan itu muncul komentar-komentar yang menyinggung kemungkinan kudeta.
Foto: Shwe Paw Mya Tin/REUTERS
Militer menahan Aung San Suu Kyi
Aung San Suu Kyi bersama dengan beberapa sekutu politiknya, ditahan dalam penggerebekakan dini hari pada 1 Februari 2021 yang dipimpin oleh militer. Langkah itu dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil dan militer. Junta militer mengklaim kecurangan pemilu dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun dan menunjuk seorang mantan jenderal sebagai penjabat presiden.