1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Beranjak Tua dengan Bahagia

Uly Siregar Blogger
Uly Siregar
28 Agustus 2020

Kerutan mulai tergaris di dahi Anda? Mulai membotak? Uban balapan tumbuh mewarnai rambut Anda yang dulu hitam lebat? Sudah pakai krim perawatan mahal, masih tak sanggup lawan efek penuaan? Bagaimana rasanya menjadi tua?

Berusaha tampil cantilk,melawan penuaanFoto: picture alliance/dpa/M. Scholz

Waktu seperti berlari ketika usia muda telah berlalu. Setelah usai usia dua puluhan, tiba-tiba usia tiga puluhan selesai begitu saja dan usia empat puluhan berjalan kencang menuju akhir. Menjadi tua adalah momok, bukan karena ajal semakin mendekat. Kalau soal ajal usia seringkali bukan jadi patokan kematian. Bayi yang berusia beberapa hari pun bisa tetiba mati dalam tidurnya karena SIDS (sudden infant death syndrome) sementara nenek berusia 75 tahun kadang harus menguburkan cucunya yang masih remaja. Lebih dari soa ajal, banyak kekhawatiran menyertai usia lanjut. 

Usia tua seharusnya karunia yang patut disyukuri. Tak semua orang memiliki kesempatan melampaui berbagai fase usia dalam hidup. Namun usia lanjut datang dengan berbagai permasalahan dan tantangan. Dari yang enteng hingga yang sulit dihadapi. Dari soal fisik seperti gampang penat di seluruh tubuh hingga menurunnya kemampuan berpikir. Ditambah lagi persoalan kelangsungan hidup. Di Indonesia kurangnya jejaring pengaman yang menjamin kesejahteraan kelompok usia lanjut menjadi persoalan tersendiri. Menjadi beban bagi orang lain meskipun keluarga sendiri bukan hal yang menyenangkan. 

Berapakah usia tua? Bila mengikuti kata WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), usia 65 tahun masih termasuk dalam kategori muda. Menurut riset terbaru WHO kriteria usia ditentukan oleh kualitas kesehatan dan harapan hidup. Berdasarkan hal tersebut, WHO menetapkan 80 tahun sebagai permulaan usia lanjut. Di Amerika Serikat seseorang dianggap tua ketika menginjak usia 70 tahun untuk laki-laki dan 73 tahun untuk perempuan. Sementara, di Indonesia batasan umur lanjut usia (lansia) adalah 60 tahun, sesuai UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. 
    
Perempuan lebih sulit menghadapi penuaan

Penulis: Uly Siregar Foto: Uly Siregar

Perempuan memiliki persoalannya sendiri dalam menghadapi usia tua. Krisis biasanya menyertai penuaan (aging) yang ditandai dengan perubahan fisik termasuk menopause. Kecantikan memudar seiring bertambahnya usia. Bahkan jauh sebelum memasuki usia tua yang sesungguhnya, di atas 60 tahun. Untuk saya pribadi, kekhawatiran menjadi tua mulai menyelinap ketika berada di penghujung usia 30. Memasuki usia 40 tahun kekhawatiran itu semakin membesar dan kini kian menghantui menjelang usia 50 tahun. 

Perempuan senang terlihat cantik. Dari masa Cleopatra hingga Taylor Swift, kecantikan kerap melekat sebagai salah satu nilai perempuan. Tak jarang menjadi nilai utama. Ketika usia beranjak, perempuan tetap ingin terlihat cantik. Semakin rumit, tak hanya cantik yang ingin terus dipertahankan tapi juga kesan usia muda. Penampilan muda menjadi sebuah tuntutan, sementara tanda-tanda penuaan dianggap memalukan. Sophia Latjuba, misalnya, yang baru saja merayakan ulang tahun ke-50 bulan Agustus, dipuja-puja karena fisiknya yang rupawan tak kalah elok dibandingkan perempuan usia 30-an bahkan 20-an. Jennifer Lopez dengan tubuhnya yang kencang, atletis, sekaligus seksi saat tampil menyanyi sambil menari di panggung menjadi ‘goal’ bagi perempuan-perempuan Barat yang dengan riang membawa slogan baru:50 is the new 30.

Keinginan untuk terus terlihat muda menjadi beban tersendiri bagi perempuan. Adalah penting menyembunyikan kerut-kerut di wajah, uban di kepala yang tiap hari semakin bertambah jumlah helainya, termasuk lemak di lengan, paha, dan perut yang semakin sulit dihilangkan. Tentu saja laki-laki juga punya rasa minder soal menua. Tapi bisa dibilang penuaan--di luar isu-isu kesehatan--lebih terasa membebani perempuan daripada laki-laki. Perempuan dituntut untuk “to age with grace”, menua dengan elegan. Sepertinya mulia, menjadi tua dengan anggun dan aristokrat. Tapi yang terjadi, lebih pada “Wahai Perempuan, ketika berada di usia 50 tahun pastikan dirimu terlihat seperti masih berusia 30 tahun”. 

Dengan beranjaknya usia, kaum perempuan kerap menjadi invisible. Mereka tak lagi dianggap eksis; secara fisik tak lagi menarik, secara karier dianggap tak lagi produktif. Meski banyak yang mencoba meyakinkan perempuan bahwa “Life begins at 40” tapi seringkali hanya omong kosong. Selain secara umum perempuan dibayar lebih kecil daripada laki-laki, setelah usia 40 perempuan makin sulit mengembangkan karier. Pada usia tersebut perempuan telah menyentuh ‘glass ceiling’. Sangat kecil--atau bahkan tak ada--ruang untuk berkembang. Dalam karier, perempuan menghadapi dua permasalahan besar: diskriminasi usia dan seksisme. 

Di luar urusan karier, perempuan juga direcoki dengan soal penampilan. Menjadi tua--atau lebih tepatnya terlihat tua--seakan aib dan sebisa mungkin diperlambat, ditunda dengan cara apa pun. Dari menjalani operasi plastik, menyelipkan benang ke wajah, hingga memakai susuk pun dilakoni. Berbagai krim anti penuaan dini dengan janji-janji mempertahankan kekenyalan kulit laris meski harganya kadang tak masuk akal. Krim pelembab wajah yang digandrungi sosialita kelas atas, La Mer, misalnya, dalam kemasan mungil 60 gram dijual dengan harga empat juta rupiah. Yang budget-nya pas-pasan dan terpikat janji awet muda nekad menempuh jalan ekstrem, seperti suntik silikon untuk mengembalikan kekencangan wajah tapi dilakukan dokter abal-abal. 

Harus cantik tapi jangan ketahuan ngotot

Yang bikin makin mumet, dalam memperlambat penuaan perempuan tak boleh terlihat ngotot. Sejatinya perempuan harus percaya proses alamiah dalam upaya memberikan kecantikan yang jujur. Karena itu perempuan dituntut mempertahankan kecantikannya dengan diam-diam mencari formula terbaik. Kami perempuan usia setengah baya tak boleh terlihat menua tapi juga pantang berterus-terang menjalani operasi pengencangan payudara, perut, dan wajah. Apalagi kalau ketahuan memakai susuk, bisa habis dicela. 

Seorang pesohor perempuan ketika diwawancara soal rahasia kecantikan dan awet muda diharapkan akan memberi jawaban yang elegan, seperti: “Saya memang terbiasa hidup sehat. Caranya dengan rutin berolahraga dan makan-makanan sehat. Jangan lupa juga banyak minum air putih. Secara spiritual mendekatkan diri pada Sang Pencipta, tidak pernah meninggalkan salat. Air wudu sangat ampuh menjaga kulit tetap cemerlang.” Yang tak boleh disebutkan adalah, seorang perempuan bisa terlihat cantik tanpa cela karena usaha yang luar biasa dalam merawat fisiknya.

Tak jarang perempuan memilih jalan diet ketat habis-habisan, berolahraga sesering mungkin, operasi kosmetik ke Singapura, penggunaan produk perawatan kulit yang mahal luar biasa, dan beragam perawatan di dokter kulit atau spa perawatan wajah dan tubuh demi mempertahankan kecantikan agar selalu tampak muda dan menawan. Paripurna. 

Menjadi perempuan berarti hidup dalam tekanan-tekanan yang harusnya tak penting tapi justru mengganggu. Dalam proses penuaan, perempuan menjalaninya dengan terseok-seok kepayahan akibat penghakiman dari masyarakat. Kiasan “Men age like wine and women age like milk” kedengarannya lucu. Tapi dalam kenyataannya ada benarnya, dan menyedihkan. Perempuan dilihat memiliki masa kadaluwarsa yang lebih singkat daripada laki-laki. Pada perempuan jam biologis selalu berdetak kencang. Ketika usia 30-an belum menikah dihakimi sebagai tak laku. Ketika sudah menikah tapi tak punya anak dianggap kurang berarti. Dan saat usia lanjut, dianggap sudah tak berarti.  Perempuan makin tua makin tak menarik, laki-laki makin tua makin digemari. 

Lantas, apa yang seharusnya perempuan lakukan?

Penulis dan penyair ternama asal Amerika Serikat, mendiang Maya Angelou, pernah mengatakan bahwa hal-hal di permukaan, superfisial, dan bagaimana penampilan fisik seseorang dihargai terlalu tinggi dalam masyarakat. Ketika kulit mulai kendur, perempuan mengatasinya dengan suntikan Botox. Mengapa seseorang mau saja menyuntikkan jarum di wajahnya untuk menghilangkan keriput? Apa yang harus kita lakukan supaya lebih menghargai usia? 

Menjadi tua adalah berkah, fase usia yang seharusnya diisi dengan rasa syukur.Penuaan adalah bagian dari hidup yang tak bisa dihindari. Lantas mengapa masih tak bisa menerima ketika melihat di cermin wajah tak secantik saat usia 20-an? Penting untuk selalu menjaga mental agar tak terhanyut dalam kesedihan akibat hal-hal yang bersifat superfisial. Maknai perubahan fisik sebagai ‘badge of honor’ yang mengingatkan diri akan berharganya usia. Kerut-kerut yang muncul di wajah anggaplah sebagai pengingat bahwa seseorang hidup melampaui usia muda. Lagipula fisik yang menua seharusnya tak menjadi masalah bagi orang-orang yang mencintai kita, orang-orang terpenting dalam hidup.  

Seiring berjalannya usia, memang betul perempuan sering merasa keberadaannya tak diperhitungkan lagi. Padahal kalau dipikir-pikir menua pun hadir dengan beberapa keuntungan. Di usia matang, perempuan tak lagi perlu peduli dengan omongan atau pikiran orang lain. She doesn’t need approval from anyone. Perempuan lanjut usia peduli hal-hal yang esensial, seperti relasi dengan orang-orang tercinta yang layak dipertahankan. Pertemanan pun menjadi lebih bermakna. Satu hal lagi, di usia lanjut ada begitu banyak kenangan yang tercipta yang tinggal dipilah-pilah untuk diingat bagian yang menyenangkan. Waktu pun terasa jauh lebih berharga. Usia lanjut juga biasanya membuat seseorang menjadi lebih bijaksana dan berpengalaman.  

Menjadi tua memang tak mudah. Khawatir dengan proses penuaan sangatlah manusiawi. Tapi sekhawatir apa pun, penuaan sifatnya absolut. Semua orang yang diberi umur panjang mengalaminya. Satu-satunya cara menyambut usia tua adalah dengan merayakannya. Persiapkan diri baik mental maupun fisik, seperti menjalani gaya hidup sehat dan mengatur dengan saksama urusan finansial untuk pensiun. Selain itu, sebaiknya tak perlu terlalu merepotkan diri dengan hal-hal yang tak kelewat penting. Apalagi ngotot harus terlihat seperti perempuan usia 30-an ketika usia jelas-jelas sudah lewat 50. Lagipula selain kebanggaan semu yang artifisial saat menerima pujian ‘Hah, sudah 50 tahun, kirain masih 30-an?” apa pentingnya menunda penuaan? Rasa-rasanya, sih, tak sebanding dengan kelelahan mental, fisik, dan finansial yang menyertainya. 

@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.