Indonesia mulai ujicoba kantong plastik berbayar di 22 kota besar. Prakarsa ini dimaksudkan untuk mereduksi sampah plastik yang berasal dari kantong-kantong belanja di supermarket dan toko-toko.
Iklan
Mulai minggu ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan prakarsa kantong plastik berbayar di 22 kota besar di Indonesia. Tujuannya untuk mengurangi sampah dari bahan plastik.
"Plastik berbayar sekarang sudah diuji coba oleh 22 kota, seperti Jakarta, Bandung, Balikpapan, Makassar dan Surabaya. Sistemnya diatur oleh pemerintah provinsi sampai tingkat kota," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional di kawasan Bundaran HI Jakarta, Minggu (21/02).
Menteri Siti Nurbaya mengatakan, pemerintah pusat mendukung seluruh provinsi, kabupaten, kota hingga kecamatan dan desa untuk melakukan pengurangan sampah dengan program kantong plastik berbayar.
KLHK menetapkan harga minimal standar Rp 200,- untuk setiap kantong plastik. Tapi sejumlah kota memasang harga lebih tinggi, agar masyarakat lebih berinisiatif untuk membawa tas belanja sendiri. Harga Rp 200,- memang dinilai terlalu murah oleh banyak kalangan yang peduli lingkungan.
Jakarta misalnya memasang harga 5.000 rupiah per kantong plastik. Di Balikpapan, harganya 1.500 rupiah, sedangkan di Bandung tetap 200 rupiah per kantong plastik.
Jika uji coba itu dinilai berhasil, Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya ingin menerapkan hal itu untuk sebagai kebijakan nasional.
Ketua Yayasan Peduli Bumi Indonesia, Ananda Mustadjab Latif, mengatakan kebijakan itu tidak tepat karena hanya ditujukan pada pemilik usaha ritel. Padahal peredaran kantong plastik yang terbesar justru di pasar-pasar tradisional.
"Kebutuhan masyarakat tidak hanya di gerai modern. Itu hanya 30 persen, 70 persennya ada di pasar tradisional," kata Ananda di acara diskusi bertema "Mencari Solusi Komprehensif Pro Kontra Kebijakan Tas Belanja Berbayar" di Jakarta, belum lama ini, sebagaimana dikutip CNNIndonesia..
Menurut data dari lembaga riset Nielsen, tahun 2015 pangsa pasar industri ritel atau toko swalayan (minimarket, supermarket, hipermarket, dan perkulakan) di Indonesia hanya sebesar 26 persen. Sedangkan pasar rakyat atau pasar tradisional mencapai 74 persen.
Tak hanya soal kuantitas, soal kualitas, kantong plastik yang digunakan di indutri ritel dinilai lebih ramah lingkungan. Sebab, sebagian besar sudah menggunakan menggunakan bahan ramah lingkungan.
Senja di Bantar Gebang
Pemulung biasanya tidak mengenal kata pensiun. Jikapun ada, mereka tidak berhenti melainkan mewariskan pekerjaannya kepada anak-anaknya. Sebagian lain terpaksa mengais melewatii usia senja lantaran kondisi keuangan
Foto: DW
Minim Pengakuan
Muhaemin, 67, sudah mengais sampah di Bantar Gebang sejak 35 tahun. Ketika penglihatannya memburuk, ia memutuskan berhenti bekerja. Muhaemin dan isterinya tidak menerima uang kompensasi dari pemerintah kota. Keduanya dipersulit ketika hendak mengurus KTP lokal. Sebab itu ia masih membawa KTP dari Indramayu, kampung yang sudah ditinggalkannya sejak tiga dekade lalu.
Foto: DW/R. Nugraha
Pemberhentian Terakhir
Lebih dari 6000 ton sampah yang diangkut oleh 600 truk mendarat di Bantar Gebang setiap hari. Menjadikan tempat pembuangan akhir di Bekasi itu terbesar se Indonesia. 5000 pemulung mengais nafkah dan hidup dari sampah buangan penduduk. Kendati tidak diakui pemerintah lokal, keberadaan mereka tidak diusik.
Foto: DW
Turun Temurun
Muhaemin hidup di sebuah gubug berdinding rotan yang ditopang kayu bambu. Putra-puterinya hidup di gubug serupa berdampingan. Pria tua itu tergolong beruntung karena tidak lagi harus mengais sampah. Muhaemin mewariskan pekerjaannya itu kepada sang anak.
Foto: DW
Sepanjang Hari
Dayini, 57, menyortir sampah plastik buat dijual kepada penadah. Ia dan sang suami menempati sepetak tanah di atas tumpukan sampah untuk melakukan pekerjaan harian. Setiap hari keduanya mampu menjual lima keranjang sampah plastik yang bernilai kira-kira Rp. 30.000
Foto: DW
Ala Kadarnya
Pemulung biasanya mengenakan sepatu karet agar tidak terpapar zat-zat beracun selama bekerja di timbunan sampah. Tapi sebagian lain memilih cara yang lebih sederhana. Dayini misalnya memakai sepatu yang ia temukan di sampah. Penyakit bukan kekhawatiran terbesarnya. Ia sendiri bangga belum pernah sakit parah selama mengais di Bantar Gebang
Foto: DW
Ketergantungan
Rasja, 68, suami Dayini. Ia mendapatkan uang tambahan dengan menjahit karung buat dipakai para pemulung. Ia pernah bersumpah tidak akan meminjam uang dari penadah. Tapi kelahiran cucu pertama memaksanya berubah pikiran. Fenomena semacam ini menjamur di Bantar Gebang. Para penadah menjerat pemulung ke dalam ketergantungan melalui pinjaman berbunga tinggi.
Foto: DW
Kemiskinan
Rasja dan Dayini hidup beberapa ratus meter dari timbunan sampah, tanpa air bersih dan sanitasi yang memadai. Perlengkapan dapur yang mereka gunakan kebanyakan berasal dari sampah. Gambaran serupa sering ditemui di rumah-rumah pemulung di Bantar Gebang
Foto: DW
Kehidupan yang Lebih Baik
Rasja dan Dayini berharap nasib yang lebih baik jika sudah tidak lagi memulung. Keduanya berniat pulang ke kampung halamannya di Indramayu untuk menikmati sisa usia.
Foto: DW
8 foto1 | 8
"95 persen plastik di gerai modern sudah ramah lingkungan. Tapi, 99 persen plastik di pasar tradisional tidak ramah lingkungan," kata Ananda Mustadjab Latif.