Mereka yang begitu bersemangat berbicara soal upaya menggapai surga dengan cara mendirikan negara berdasarkan syariah. NKRI bersyariah, begitu kata mereka. Seperti apakah surga? Inilah opini Ben Sohib.
Iklan
Saya sangat menikmati saat-saat bersepeda menyusuri jalan-jalan di kota Leiden. Di atas sadel sepeda yang saya pinjam dari induk semang saya itu, saya selalu terpukau pada panorama yang saya lihat. Jalanan yang bersih, trotoar yang lebar, kali yang bening dengan bebek-bebek berenang di atasnya.
Meski mungkin terkesan berlebihan, saya membayangkan seperti itulah suasana di surga. Tapi barangkali tidak berlebihan juga, mengingat tak seorang pun tahu bagaimana persisnya situasi di sana. Namun yang jelas, surga selalu mengaitkan pikiran saya pada sekelompok orang di tanah air. Yaitu mereka yang begitu bersemangat berbicara soal upaya menggapai surga dengan cara mendirikan negara berdasarkan syariah. NKRI bersyariah, begitu kata mereka.
Saya menduga cita-cita pendirian negara seperti itu didasarkan pada pandangan bahwa negara seharusnya berdiri di atas ideologi, aturan, dan hukum yang bersumber dari Tuhan yang maha benar. Dengan demikian, seluruh praksis kehidupan masyarakatnya merupakan pantulan dari suasana firdausi, sebuah tatanan ideal di muka bumi yang akan membimbing manusia dan masyarakat menuju inti surga: kebahagiaan.
Itu sebuah pandangan dan cita-cita yang bagus, jika saja mereka mau memulainya dari memikirkan hal-hal kecil seperti sepeda, trotoar yang lebar, kali yang bening, dan bebek yang berenang. Ideologi, hukum, dll, yang berdasarkan pada syariah, bisa menyusul.
Seperti hendak membangun rumah tangga yang bahagia dalam kehidupan modern ini, seseorang musti memenuhi syarat-syarat utamanya terlebih dulu. Yang pertama tentu saja memiliki pasangan, lalu mempunyai sumber penghasilan uang untuk menopang kehidupan sehari-hari, kemudian disusul dengan ketersediaan tempat tinggal, entah itu rumah milik sendiri, kontrak, atau rumah mertua. Tapi yang disebut terakhir itu lebih sering mendatangkan mudarat.
Saya banyak mendengar kisah pasangan yang dilanda pertengkaran lantaran hidup di rumah mertua. Biasanya perselisihan dipicu oleh sang mertua dari salah satu pasangan itu. Sudah mashur cerita-cerita tentang mertua yang cerewet dan cenderung mencampuri urusan rumah tangga anak dan menantunya. Mungkin memang begitulah tabiat kebanyakan mertua di mana-mana. Untuk itulah setiap pasangan yang hendak berumah tangga sebaiknya berumah sendiri.
Kebahagiaan hakiki
Tapi terpenuhinya syarat-syarat tadi tidak akan menjamin kebahagiaan sebuah rumah tangga. Terpenuhinya syarat-syarat adalah satu hal, kebahagiaan adalah hal lain. Dan saya tidak sedang berbicara tentang kebahagiaan, tidak juga soal mertua. Itu perkara-perkara yang sungguh pelik. Para filosof sudah membicarakan dan berusaha merumuskannya (maksud saya kebahagiaan, bukan mertua) sejak ribuan tahun yang lalu. Para nabi dan orang-orang suci juga begitu. Namun hingga hari ini orang masih memperdebatkan apa sebenarnya kebahagiaan yang hakiki itu.
Narasi Makar Hizb Tahrir
Keberadaan Hizb Tahrir sering dianggap duri dalam daging buat negara-negara demokrasi. Pasalnya organisasi bentukan Yusuf al-Nabhani itu giat merongrong ideologi sekuler demi memaksakan penerapan Syariah Islam.
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Buah Perang Arab-Israel
Adalah Yusuf al-Nabhani yang mendirikan Hizb Tahrir di Yerusalem tahun 1953 sebagai reaksi atas perang Arab-Israel 1948. Tiga tahun kemudian tokoh Islam Palestina itu mendeklarasikan Hizb Tahrir sebagai partai politik di Yordania. Namun pemerintah Amman kemudian melarang organisasi baru tersebut. Al Nabhani kemudian mengungsikan diri ke Beirut.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mimpi Tentang Khalifah
Dalam bukunya Al Nabhani mengritik kekuatan sekular gagal melindungi nasionalisme Palestina. Ia terutama mengecam penguasa Arab yang berjuang demi kepentingan sendiri dan sebab itu mengimpikan kekhalifahan yang menyatukan semua umat Muslim di dunia dan berdasarkan prinsip Islam, bukan materialisme.
Foto: picture-alliance/dpa/L.Looi
Anti Demokrasi
Tidak heran jika Hizb Tahrir sejak awal bermasalah dengan Demokrasi. Pasalnya prinsip kedaulatan di tangan rakyat dinilai mewujudkan pemerintahan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai hukum Allah. Menurut pasal 22 konstitusi Khilafah yang dipublikasikan Hizb Tahrir, kedaulatan bukan milik rakyat, melainkan milik Syriah (Hukum Allah).
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Kudeta Demi Negara Islam
Hizb Tahrir Indonesia pernah mendesak TNI untuk melakukan kudeta. “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!” tegas Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib di hadapan simpatisan HTI pada 2014 silam.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kemanusiaan Semu di Jantung Khalifah
Buat HT, asas kebebasan sipil seperti yang terkandung dalam prinsip Hak Azasi Manusia merupakan produk "ideologi Kapitalisme" yang berangkat dari prinsip "setiap manusia mewarisi sifat baik, meski pada dasarnya manusia hanya menjadi baik jika ia menaati perintah Allah."
Foto: Reuters
Tunduk Pada Pemerintahan Dzhalim
Kekhalifahan menurut HT mengandung sejumlah prinsip demokrasi, antara lain asas praduga tak bersalah, larangan penyiksaan dan anti diskriminasi. Namun masyarakat diharamkan memberontak karena "Syariah Islam mewajibkan ketaatan pada pemegang otoritas atas umat Muslim, betapapun ketidakadilan atau pelanggaran terhadap hak sipil yang ia lakukan," menurut The Ummah’s Charter.
Foto: Reuters
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Pluralisme dalam kacamata Hizb Tahrir sangat berbahaya, lantaran "merusak Aqidah islam," kata bekas Jurubicara HTI Muhammad Ismail Yusanto, 2010 silam. Perempuan juga dilarang menduduki kekuasaan tertinggi seperti gubernur atau hakim, meski diizinkan berbisnis atau meniti karir. "Pemisahan jender adalah fundamental", tulis HT dalam pasal 109 konstitusi Khilafah. (Ed: rzn/ap)
Saya hanya berbicara soal bagaimana suasana surgawi dibangun dari hal-hal sepele. Saya katakan sepele karena mengayuh sepeda tentu tidak termasuk dalam agenda utama perjuangan penerapan syariah, begitu pula dengan kali yang bening dan bebek-bebek yang berenang. Mereka selalu tertarik pada isu-isu besar seperti ideologi dan hukum-hukum, juga urusan pentingnya salat, menutup aurat, dan penyegelan tempat-tempat maksiat.
“Tapi sepeda, sungai yang bersih, bebek yang berenang, dan semua yang kau sebutkan itu, bukanlah perkara sepele. Ada kerja budaya besar di balik itu semua. Itu merupakan gejala-gejala sebuah peradaban,” kata Rana el-Ghali, mahasiswi tingkat doktoral di Universitas Leiden. Perempuan Mesir yang sedang belajar sejarah seni itu, saya kenal pada satu sore yang cerah saat sama-sama memarkir sepeda di halaman kampus. Perkenalan yang diawali dengan pujian saya terhadap kecantikan sepedanya itu, berlanjut hingga ke acara minum kopi pada satu sore yang lain.
Umat yang Terbelah: Pandangan Mayoritas Muslim Tentang Syariah dan Negara
Apakah Al-Quran dan Syariah Islam harus menjadi konstitusi di negara muslim? Inilah hasil jajak pendapat yang digelar Pew Research Centre di delapan negara sekuler berpenduduk mayoritas muslim
Foto: Ahmad Gharabli/AFP/Getty Images
Malaysia
Hasil jajak pendapat Pew Research Centre tahun 2015 silam mengungkap lebih dari separuh (52%) penduduk muslim Malaysia mendukung pandangan bahwa konstitusi negara harus mengikuti Syariah Islam secara menyeluruh. Sementara 17% mewakili pandangan yang lebih moderat, yakni ajaran Al-Quran hanya sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Sisanya (17%) menolak pengaruh agama pada konstitusi.
Foto: Getty Images/M.Vatsyayana
Pakistan
Dari semua negara berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan adalah yang paling gigih menyuarakan penerapan Syariah Islam sebagai konstitusi negara. Sebanyak 78% kaum muslim mendukung pandangan tersebut. Hanya 2% yang mendukung sekularisme dan menolak pengaruh agama dalam penyelenggaraan negara.
Foto: Reuters/P.Rossignol
Turki
Pengaruh Kemalisme pada masyarakat Turki masih kuat, kendati politik agama yang dilancarkan partai pemerintah AKP. Hanya sebanyak 13% kaum muslim yang mendukung Syariah Islam sebagai konstitusi, sementara mayoritas (38%) mewakili pandangan moderat, yakni Al-Quran sebagai acuan tak resmi. Uniknya 36% penduduk tetap setia pada pemisahan agama dan negara.
Foto: Getty Images/C. McGrath
Libanon
Mayoritas kaum muslim Libanon (42%) yang memiliki keragaman keyakinan paling kaya di dunia menolak pengaruh agama pada konstitusi. Adapun 37% penduduk mendukung Al-Quran sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Hanya 15% yang menuntut penerapan Syariah Islam secara menyeluruh.
Foto: J.Eid/AFP/Getty Images
Indonesia
Hingga kini Indonesia masih berpedoman Pancasila. Tak heran jika 52% kaum muslim menolak penerapan menyeluruh Syariah Islam. Namun mereka mendukung pandangan bahwa prinsip Al-Quran harus tercerminkan dalam dasar negara. Sebanyak 22% penduduk menginginkan Syariah sebagai konstitusi dan 18% menolak pencampuran antara agama dan negara.
Foto: Getty Images/O. Siagian
Yordania
Penduduk muslim di Yordania tergolong yang paling konservatif di dunia. Sebanyak 54% menginginkan Syariah Islam sebagai landasan negara. Sementara 38% menolak Syariah, namun mendukung pandangan bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Hanya 7% yang memihak Sekularisme sebagai prinsip dasar negara.
Foto: S. Samakie
Nigeria
Sebagian besar kaum muslim Nigeria (42%) lebih mendukung faham Sekularisme ketimbang Syariah Islam. Di negeri yang sering dilanda konflik agama itu hanya 22% yang mengingingkan Syariah Islam sebagai konstitusi. Sementara 17% mewakili pandangan moderat, dan puas pada konstitusi yang tidak melanggar hukum Islam.
Foto: DW/Stefanie Duckstein
Palestina
Tahun 2011 hanya 38% penduduk Palestina yang mendukung Syariah sebagai konstitusi, pada 2015 jumlahnya berlipatganda menjadi 65%. Sementara 23% mewakili pandangan yang lebih moderat terkait penerapan Syariah. Hanya 8% yang menolak agama mencampuri urusan negara. (rzn/hp - Pew Research Centre, Economist)
Foto: Reuters/I. A. Mustafa
8 foto1 | 8
Dan sore itu kami membuat janji bertemu di salah satu kafe di pusat kota Leiden. Saya dan Rana berbagi cerita tentang negara kami masing-masing. Betapa banyak persamaan persoalan yang sedang dihadapi negara kami. Dari masalah korupsi, kemiskinan, pengangguran, radikalisme agama, berkembangnya politik identitas yang mengancam keutuhan negara, hingga problem kesemrawutan kota.
“Di negaraku juga banyak orang yang memimpikan diterapkannya syariah dan tak kalah banyak yang menentangnya. Pro dan kontra soal itu telah menyebabkan negaraku dilanda kudeta militer dan beberapa kali aksi kekerasan sektarian,” Rana bercerita. Dari balik bola matanya yang hazel itu, saya menangkap kesan ia sedang mengkhawatirkan sesuatu.
Seperti apa suasana bersyariah?
Saya palingkan wajah saya ke jendela, memandangi sepeda saya yang terparkir di luar kafe, dan jalanan yang basah sisa hujan. Pikiran saya melayang ke Jakarta. Ke trotoarnya yang disesaki pedagang kaki lima dan juga dilalui motor, ke jalan-jalannya yang didera kemacetan tak terperikan, dan ke sungai-sungainya yang digenangi sampah.
Kami berpisah sebelum langit gelap. Saya kayuh sepeda pulang ke rumah, melewati jalan-jalan yang bersih, trotoar yang lebar, kali-kali yang bening dengan bebek-bebek berenang di atasnya. Rana benar, ada kerja budaya besar di balik ini semua. Tapi saya pikir itu bukan gejala-gejala peradaban, saya tetap bersikukuh bahwa ini suasana di surga. Atau minimal seperti inilah seharusnya suasana di negara bersyariah.
Judul tulisan ini terinspirasi buku “Berbasikal ke Neraka” (kumpulan cerpen karya Triyanto Tiwikromo edisi Malaysia dari judul asli “Bersepeda ke Neraka”).
Penulis: Ben Sohib (ap/vlz)
Sastrawan. Sedang mengikuti program Residensi Penulis Kemendikbud di Belanda.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Orang Bahagia Tidak Terlalu Memikirkan Hal-hal Ini
Peduli pada lingkungan sekitar itu baik, tapi kita juga perlu waktu pula untuk menyenangkan diri sendiri. Berikut hal-hal yang tak dipikirkan orang berbahagia:
Foto: Fotolia
Usia
Memang, usia hanyalah angka. Dan orang-orang bahagia tahu ini pastinya. Tapi mereka tidak membiarkan jumlah yang semakin meningkat ini membuat stres. Mereka hanya melakukan yang mereka inginkan. Yang penting tetap hidup sehat.
Foto: Fotolia/Werner Heiber
Apa kata orang
Ini adalah salah satu penghalang terbesar untuk kebahagiaan kita. Orang yang bahagia tidak peduli itu. Jangan sampai terbelenggu oleh penilaian orang-orang lain atas diri kita sendiri. Jika terlalu peduli kata orang, itu artinya, kamu hidup untuk orang lain, bukan untuk kebahagiaanmu sendiri.
Foto: picture-alliance/dpa
Karier
Ide utamanya adalah: jangan sampai pekerjaan membuatmu tak bahagia. Tentu, pekerjaan adalah penting bagi stabilitas dan kelangsungan hidup di masyarakat. Tapi selain itu, pisahkan kehidupan pribadi dengan urusan kantor. Jika tidak, kamu akan mudah merasa lelah, bosan atau stres.
Foto: Fotolia/E. Kharichkinan
Ketakutan berlebihan
Kadang orang merasa gugup dan cemas, yang konon datang dari rasa takut yang tidak nyata, sehingga orang-orang merasa berada di luar zona kenyamanan mereka. Tak perlu larut dalam rasa takut. Hadapi setiap masalah, cari solusinya.
Foto: Fotolia/lassedesignen
Pikiran negatif
Ada banyak gangguan di luar sana. Perang, aksi protes, kerusuhan, atau hal-hal buruk yang terjadi. Orang yang berbahagia tak menyangkal hal itu, tetapi paling tidak mereka melakukan hal-hal yang baik. Mereka mungkin tidak dapat membuat revolusi dalam semalam, tetapi mereka tahu bahwa dengan kebaikan dan kasih sayang kepada sesama manusia, mereka sudah berkontribusi positif pada dunia.
Foto: Fotolia/Jeanette Dietl
Pengaruh buruk orang-orang di sekitarmu
Pernah harus berurusan dengan teman yang mengganggu atau punya banyak sifat buruk? Tinggalkan mereka. Sudah waktunya untuk menciptakan lingkungan yang positif untuk diri sendiri.. Kadang-kadang, teman-teman yang menjengkelkan dn bersifat buruk, hanya menyeretmu larut dalam kesedihan.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Carstensen
Penyesalan dan kegagalan di masa lalu
Masa lalu tinggal sejarah, masa depan tergantung diri sendiri. Jika ingin bahagia, lepaskan masa lalu dan lanjutkan hidup. Belajar dari itu dan terus kembangkan diri, maka pastikan kamu tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Foto: fotolia/Mikael Damkier
Berandai-andai
Bisa gila jika amat mengkhawatirkan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Tidak ada yang bisa memprediksi masa depan dan tidak ada gunanya menyiksa diri untuk hal-hal yang mungkin tidak pernah terjadi. Ingatkan diri, bahwa jenis khawatir terbuang energi.
Foto: Fotolia/bluedesign
Mengharapkan imbalan
Mulai melakukan berbagai hal dengn ikhlas. Membantu orang lain adalah perbuatan welas asih, tak perlu mengharapkan imbalan. Orang-orang bahagia tidak ingin mendapat sesuatu sebagai balasannya. Dengan demikian, mereka tidak pernah merasa kecewa.
Foto: Fotolia
Mengeluh
Kadang-kadang hal-hal tidak berjalan seperti yang kamu harapkan. Tapi mengeluh pun tidak berguna. Daripada mengeluh, orang-orang bahagia lebih memilih untuk berterima kasih atau bersyukur atas apa yang mereka miliki dan menemukan solusi atas masalah dengan pola pikir yang positif.