Tahukah Anda, negara penjajah dulu saling bersaing di expo internasional dengan menampilkan negara jajahannya, lengkap dengan kebhinnekaannya. Kebhinnekaan yang hanya bila perlu? Berikut opini menarik Geger Riyanto.
Iklan
Bayangkan sebuah expo sebagaimana yang wajar Anda temui. Hal-hal menarik berjajar dan mencegat penerawangan Anda sepanjang perjalanan menyelusuri areal pameran. Satu per satu penjaja berusaha menata agar apa yang ditampilkannya lebih gemerlap dan memikat dibandingkan penjaja lainnya.
Hanya saja, bayangkan pula, ini bukan expo otomotif, elektronik, perumahan, maupun expo lainnya yang bisa Anda temui hari ini. Ini adalah expo kolonial. "Exposition coloniale internationale”—pameran internasional kolonial yang dihelat di Paris, tahun 1931. Anda, tentu saja, tak akan menjumpai lapak-lapak menawarkan teknologi termutakhir, konsep bisnis menggiurkan atau lisensi makanan unik. Apa yang bisa Anda temukan adalah negara-negara Barat memamerkan kekayaan budaya negeri jajahannya.
Di anjungan Belanda, misalnya, Anda dapat menjumpai bangunan dengan ornamen rumit bermotif Jawa. Gerbangnya merupakan gapura khas Bali. Atapnya merupakan atap rumah gadang yang megah. Dalam areal anjungan, terdapat lumbung padi, kandang ternak, serta perkakas pencaharian yang menunjukkan keseharian orang-orang negeri jajahan. Pada waktu-waktu yang telah diatur, para seniman negeri jajahan akan mementaskan tari legong dan musik gamelan.
Dan di anjungan Perancis, tuan rumah dan penyelenggara yang harga dirinya paling dipertaruhkan dalam pameran ini, Anda dapat menemukan Angkor Wat direkacipta beserta segala kemegahannya. Replika Angkor Wat tersebut bukan hanya setara ukurannya dengan bangunan aslinya di Kamboja. Dari satu ujung ke ujung yang lain, pada replika ini terukir secara teliti pula relief nan kompleks candi aslinya.
Dalam pameran yang melibatkan Prancis, Belanda, Belgia, Portugal, Italia ini, para seniman sekaligus orientalis terandal didatangkan dan diminta merekacipta secara akurat ekspresi kebudayaan dan artistik adat negeri jajahan. Persiapannya memakan waktu 25 tahun. Hasilnya, tulis sebuah iklan yang dimuat harian Prancis L'Echo de Paris, adalah "Perjalanan paling indah menjelajahi dunia!” Pusparagam keunikan yang memotret kehidupan eksotik negeri kolonial—dari makanan, kerajinan, musik, potret kehidupan sosial dan ekonomi, flora dan fauna—tersaji dalam pameran yang berlangsung sepanjang enam bulan tersebut.
Mengabadikan Kekuatan Supranatural
Men, Mountains and Sea merupakan proyek foto hitam putih Rony Zakaria yang mengabadikan hubungan antara manusia dengan alam. Ia memotret panorama Indonesia dengan ritual berbagai kepercayaan dan penghormatan kepada alam.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2009
Kawah Tengger, Gunung Bromo, Gunung Batok dan Semeru di malam hari, sebelum puncak perayaan Hindu Yadnya Kasada, dimana orang-orang Tengger memohon berkah dari Hyang Widi Wasa, dengan melemparkan sesajen berupa makanan dan hasil panen mereka ke kawah Gunung Bromo.
Foto: Rony Zakaria
Merapi, Jawa Tengah, 2008
Seorang pria berjalan di puncak gunung. Puncak Gunung Merapi, dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sebagai latar belakangnya. Gunung Merapi merupakan salah satu dari lebih 100 gunung berapi aktif di Indonesia.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2012
Para peziarah tengah beristirahat di pinggiran kawah Gunung Bromo. Masyarakat setempat sangat menghormati gunung di pulau Jawa yang dianggap sakral ini.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur 2009
Para pemuka adat Tengger mengumpulkan air suci di air terjun Madakaripura sebagai bagian dari ritual perayaan Yadnya Kasada. Selama festival berlangsung, para warga memohon berkat dari Hyang Widi Wasa dengan memberikan sesajen.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Para wisatawan di pantai Parangtritis menikmati matahari terbenam. Di pantai ini diyakini sebagai wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul, penguasa pantai selatan. Para pengunjung biasanya tidak disarankan memakai pakaian berwarna hijau, karena ada kepercayaan bahwa mereka yanag berpakaian hijau akan diambil oleh Ratu Pantai Selatan.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Warga Yogyakarta bersembahyang di Pantai Parangkusumo, dalam upacara Labuhan Alit. Mereka memohon jalan keluar dari masalah-masalah kehidupan yang dihadapi. Mulai dari masalah keuangan, karir, keluarga, percintaan dan lain-lain.
Foto: Rony Zakaria
Bali, 2008
Seorang pria di pantai Batubolong Bali sedang mencuci topeng tradisional di laut untuk upacara penyucian. Emas dan mutiara hiasan topeng ini dicuri beberapa waktu sebelumnya. Jadi warga lokal ingin membuang sisa-sisa kejahatan itu dengan melarungkannya di laut.
Foto: Rony Zakaria
Jepara, 2012
Parade perahu nelayan di pantai Jepara dalam ritual “Sedekah Laut“, merupakan tradisi rutin memberikan sesajen kepada penguasa laut. Ritual dipercaya dapat memberikan berkah bagi musim mencari ikan berikutnya.
Foto: Rony Zakaria
8 foto1 | 8
Terlepas dari cibiran sejumlah jurnalis, pameran ini memperoleh ulasan media yang marak. "[Pameran ini merupakan] sebuah negeri dongeng, sebuah kota magis yang teramat unik di dunia ini, di mana warga Paris dibius dengan pemandangan yang menakjubkan dan eksotik,” tulis koran Le Petit Journal, 8 Mei 1931. Ia mempengaruhi budayawan disegani Eropa seperti Antonin Artaud dan mengundang ekspo tandingan dari kelompok kiri yang kritis. Pada saat pameran ini ditutup pada 15 November 1931, tak kurang dari 9 juta orang mendatanginya.
Jelas bukan sebuah expo yang bisa Anda dapati hari ini, bukan?
Namun, pertanyaan pentingnya, apa yang menggugah pihak-pihak bersulit-sulit memindahkan dunia jajahan yang dianggap masih biadab itu ke jantung metropolitan Prancis? Apa yang tetap menguatkan tekad para penyelenggara kendati mereka harus menantinya terselenggara sepanjang lebih dari dua puluh tahun?
Jawabannya barangkali tersurat pada tujuan mulia yang dibayangkan Marshal Lyautey, salah satu komisioner pameran akbar ini. Banyak orang, dalam anggapannya, tak menyadari atau bahkan bebal dengan arti penting penjajahan Barat bagi negeri-negeri jajahannya. Jerman, yang tak memiliki lagi negeri jajahan seturut kekalahannya di Perang Dunia Pertama, bahkan secara terbuka mengkritik Perancis mengeksploitasi masyarakat jajahannya dan menyebabkan mereka tertinggal. Pameran ini dengan demikian merupakan pembuktian—yang sangat mahal, tentunya—bahwa kolonialisme merupakan anugerah bagi negeri-negeri jajahan. Berkat keberadaan bangsa penjajah, kearifan paripurna masyarakat pribumi tak koyak oleh waktu. Adat mereka tetap utuh dan murni.
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.
Foto: Public Domain
9 foto1 | 9
Dan pembuktian yang amat menghamburkan ini tak sia-sia belaka. Anjungan Belanda, yang acap mendatangkan elu-elu media massa, toh, dipuji karena arsitekturnya yang memadukan secara padan pusparagam kebudayaan negeri jajahannya. Ia dianggap merupakan cerminan kecakapan luar biasa negeri Holland yang kecil menjaga keutuhan politis bentangan kepulauan yang dimukimi puluhan juta penduduk dari etnis, tradisi, keyakinan yang beragam.
Penguasa tak memedulikan kemajemukan itu sendiri
Penjajah merupakan penjaga kemajemukan dan kesatuan bangsa. Inilah yang sedari awal digagasnya pameran kolonial Paris 1931, gigih ingin mereka sampaikan. Terdengar aneh? Tujuh dasawarsa selepas Indonesia merdeka, tentu saja ia terdengar aneh.
Persoalannya, kita sadar, penguasa bersangkutan tak pernah sejatinya memedulikan kemajemukan itu sendiri. Ketika anjungan Belanda disabot dan Bonaficius Cornelis de Jonge, Gubernur Jenderal Hindia Belanda meresmikan anjungan baru pada bulan Agustus 1931, ekspresi tersebut mengemuka tanpa tedeng aling-aling. Tampak geram dengan kekuatan nasionalis dan komunis yang mulai bertumbuh di Hindia, ia menegaskan bahwa kekuasaan Belanda di Nusantara merupakan sebuah tanggung jawab moral. "Belanda mesti mempertahankan pengaruh dan kekuatannya di Hindia,” ujarnya, "demi masyarakat pribumi, demi Belanda, dan selaku kewajiban kita kepada dunia.”
Inilah motif penjajah mengemban kewajiban menjadi penjaga kemajemukan negeri jajahannya. "Demi Belanda." Demi penguasa. Kemajemukan menjadi tak lebih dari yel-yel tidak masuk akal yang mengimbuhkan, Anda, rakyat, membutuhkan penguasa untuk menjaga Anda dari diri Anda sendiri, ketika pada kenyataannya di balik kemajemukan tersebut bersemayam rasisme jahat dan sistematis yang memungkinkan segelintir kelompok yang diunggulkan menghisap dari kesengsaraan kelompok yang dinistakan.
Berselang tiga puluh tahun dari kemerdekaannya, lucunya, pemerintah Indonesia dengan prakarsa Ibu Tien Suharto mendirikan Taman Mini Indonesia Indah. Meski Ibu Tien mengaku terinspirasi Disneyland, konsepnya tak seberbeda itu dengan expo kolonial. Kemajemukan kebudayaan Indonesia dipajang melalui anjungan-anjungan, dan orang-orang dapat menjumpai betapa kayanya Nusantara cukup dengan mengunjunginya.
Mentawai: Dalam Hening Memburu Kebebasan
Di lepas pantai barat Sumatera, warga mentawai berlindung dari hiruk pikuk kota besar. Suku kuno ini pandai meramu, berburu dan piawai dalam menato tubuh. Berpuluh tahun lamanya mereka tertekan beragam pemaksaan.
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Hidup tenang di pedalaman
Generasi tua Mentawai hidup secara tradisional jauh di dalam hutan di pulau terpencil Siberut. Sesuai tradisi seluruh tubuh dihiasi tato. Selama beberapa dekade menolak kebijakan pemerintah Indonesia yang mendesak pribumi di pedalaman meninggalkan kebiasaan lama, menerima agama yang diakui pemerintah dan pindah ke desa-desa pemerintah.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/G. Charles
Terisolasi dari dunia luar
Suku asli Mentawai, memiliki budaya langka yang tidak dipengaruhi agama Hindu, Budha atau Islam selama dua milenium terakhir. Tradisi dan keyakinan mereka sangat mirip dengan pemukim Austronesia yang datang ke kawasan ini sekitar 4.000 tahun silam. Sejak bermukim di Pulau Siberut dua ribu tahun lalu, warga Mentawai hidup terisolir dari dunia luar.
Foto: picture-alliance/dpa/Zulkifli
Menghadapi paksaan
Ketika Indonesia merdeka 1945, para pemimpin negara berusaha mengubah mereka menjadi bangsa dengan bahasa dan budaya yang sama. Semua warga Indonesia harus menerima salah satu agama di Indonesia yang diakui secara resmi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu atau Budha. Tapi Mentawai, seperti banyak suku-suku asli animisme Indonesia lainnya, tidak mau mengadopsi agama yang diakui oleh negara.
Foto: picture-alliance/dpa/Zulkifli
Diultimatum pemerintah
Tahun 1954, polisi Indonesia dan pejabat negara lainnya tiba di Siberut untuk memberikan ultimatum: Orang Mentawai memiliki waktu 3 bulan untuk memilih Kristen atau Islam sebagai agama mereka dan berhenti mempraktikkan ritus tradisional mereka, yang dianggap kafir. Kebanyakan warga Mentawai memilih Kristen. Mereka pun sempat dilarang bertato dan meruncingkan gigi yang merupakan bagian dari adat
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Ritual asli dihabisi
Selama beberapa dekade berikutnya, polisi Indonesia bekerja sama dengan pejabat negara dan tokoh agama rutin mengunjungi desa-desa Mentawai untuk membakar hiasan tradisional dan simbol yang biasa dipakai untuk ritual keagamaan. Kaumtua melarikan diri lebih dalam ke hutan untuk menghindari tekanan aparat negara.
Foto: picture-alliance/maxppp/D. Pissondes
Rentan ideologi komunisme?
Reimar Schefold, antropolog Belanda yang tinggal di Mentawai pada akhir 1960-an, menceritakan Kepada New York Times, bagimana warisan kuno dihancurkan: "Ketika mereka gelar ritual, polisi datang, membakar peralatan tradisional mereka –yang dianggap berhala,” Pemerintahan di era Soeharto juga khawatir bahwa mereka yang tidak memeluk agama yang ditetapkan negara- rentan terhadap pengaruh komunis.
Foto: Imago/ZUMA Press
Hidupkan kembali tradisi
Sekarang hanya sekitar 2.000 warga Mentawai yang masih laksanakan ritual tradisional mereka. Demikian antropolog Juniator Tulius, Upaya hidupkan kembali tradisi Mentawa dimulai, namun masih terseok. Saat Indonesia menuju demokrasi pada tahun 1998, budaya Mentawai ditambahkan ke kurikulum sekolah dasar lokal. Warga Mentawai juga bisa beribadah dan berpakaian sebagaimana yang mereka inginkan.
Foto: picture-alliance/Godong
Melestarikan adat istiadat
Ini Aman Lau lau, ia disebut Sikerei atau dukun. Dapat dikatakan, ia adalah perantara yang bertugas menjaga kelancaran arus komunikasi antara manusia dengan alam atau roh. Dia punya perean sosial sebagai penyembuh atau menari, menghibur dan menyemarakkan pesta-pesta rakyat Mentawai. Editor: ap/as(nytimes/berbagai sumber)
Foto: imago/ZUMA Press
8 foto1 | 8
Namun, yang paling ironis, ia tidak pula seberbeda itu dengan expo kolonial dalam hal keduanya menjadi monumen yang memoles kekuasaan dengan citra arif tak terperi. Kita seharusnya masih ingat, pada masa Orde Baru, tanah penduduk diserobot, uang negara dikutil lewat berbagai megaproyek tak jelas, sumber daya dan komoditas bahkan dikuasai dengan modus yang digunakan penjajah seabad silam. Semua itu tak tersentuh berkat penekanan-penekanan, NKRI harga mati. Indonesia adalah kesatuan indah yang harus dijaga apa pun pertaruhannya.
Hari-hari ini, kita mungkin lebih mengenal kemajemukan dengan sebutan kebhinekaan. Saya hanya bisa berharap, kebhinekaan yang riuh kita bicarakan itu bukan sekadar perkakas untuk menjaga ketertiban saat penguasa memerlukannya.
Kita perlu berbhinneka, saya sadar. Namun bukan berbhinneka hanya bila perlu.
Penulis:
Geger Riyanto
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Pasola: Darah yang Tumpah Menyambut Panen
Pasola digelar setiap tahun di Sumba, merupakan salah satu tradisi paling berdarah. Masyarakat meyakini, darah yang tumpah dari pertempuran menjamin baiknya hasil panen mendatang. Mohammad Fadli mengabadikan ritual itu
Foto: Muhammad Fadli
Terpencil
Di Sumba barat, warga menggelar permainan Pasola di kampung-kampung terpencil seperti misalnya di Kodi dan Wonokaka. Tradisi turun-temurun ini dilakukan sebagai penghormatan kepada leluhur, yang diyakini akan membawa kesuburan dan kemakmuran bagi lahan pertanian setempat.
Foto: Muhammad Fadli
Tradisi Kuno
Pasola adalah sebuah tradisi kuno dari Sumba. Aktivitas ini dikategorikan sebagai olahraga ekstrim sekaligus budaya ritual. Pasola digelar rutin setiap tahun untuk menyambut musim panen. Di medan perang, prajurit Pasola menunggang kuda dan menggunakan tombak sebagai senjata mereka. Namun, kecelakaan fatal masih sering terjadi.
Foto: Muhammad Fadli
Kuda Sumba
Johanes Ndara Kepala, adalah seorang ksatria kawakan Pasola. Dia memandikan kudanya di Sungai Waiha, dekat desanya Waingapu, Kodi. Sumba adalah salah satu pusat penangkaran kuda yang terbaik di Indonesia.
Foto: Muhammad Fadli
Doa dan Berkat
Sebelum dimulainya pertempuran, kuda harus diberkati oleh Rato (tetua adat spiritual Sumba). Upacara Pasola ini terjadi hanya sekali dalam setahun, pada bulan Februari atau Maret. Tanggal tepatnya diputuskan oleh para pemimpin spiritual yang diumumkan satu atau dua minggu sebelum festival, menjelang musim panen.
Foto: Muhammad Fadli
Mantra dan Tombak Melesat
Seorang ksatria Pasola membedal kudanya sebelum melempar tombak ke arah musuh. Pasola bergerak seiring irama kuno. Diawali dengan mantra. Kemudian berdoa kepada para dewa dan melakukan perembukan hingga akhirnya tombak pun terbang.
Foto: Muhammad Fadli
Hari Suci
Massa berkumpul di sisi arena Pasola di Kodi. Banyak warga di daerah ini percaya pada ritual kuno yang disebut Marapu. Hari-hari di sekitar acara Pasola dianggap sebagai hari suci. Banyak dari mereka berasal dari desa-desa yang jauh dan khusus datang ke Kodi untuk menonton Pasola.
Foto: Muhammad Fadli
Para Ksatria Pemberani
Seorang prajurit Pasola bersiap untuk melemparkan tombaknya ke arah musuh. Pasola berasal dari kata Sola atau Hola berarti semacam lembing yang digunakan dengan cara dilempar ke arah lawan yang juga sama-sama menunggang kuda. Penunggang kuda untuk ritual ini biasanya laki-laki terampil berpakaian adat.
Foto: Muhammad Fadli
Tombak Menghantam Lawan
Seorang prajurit Pasola terkena tombak musuh. Aksi sengit yang amat melelahkan. Jika prajurit tak hati-hati, ia bisa terkena tombak lawan dan terjatuh dari kuda.
Foto: Muhammad Fadli
Pemenang
Seorang ksatria Pasola merayakan kejayaannya. Pasola menjadi perpaduan unik budaya dan olahraga. Suasana sangat meriah – penonton kadang-kadang agresif, suara penonton mengiringi suara kuda dan tombak yang terbang di udara.
Foto: Muhammad Fadli
Menanti Darah Tumpah
Sorak-sorai kerumunan penonton bergemuruh saat jagoan mereka memukul mundur musuh. Meskipun tombak kayu tidak lagi diasah setajam mungkin, terjadinya cedera serius masih menjadi bagian dari pertempuran. Di lain pihak, masyarakat percaya, darah yang jatuh ke bumi dalam acara Pasola merupakan hal penting dalam pembersihan dan pemurnian lahan pertanian.
Foto: Muhammad Fadli
Mengorbankan Mata
Kuda berderap dengan kecepatan penuh dan ksatria melemparkan tombak sekuat tenaga. Pasola cukup berbahaya bagi pesertanya. Foto ini adalah contohnya: salah seorang prajurit Pasola yang mata kirinya hampir buta karena pertempuran. Tapi, tidak akan ada balas dendam antara peserta setelah Pasola berakhir.
Foto: Muhammad Fadli
Generasi Berikutnya
Dua calon ksatria muda Pasola dari Tosi, Kodi mulai berlatih. Tradisi rakyat terus berlanjut. Mereka mengatakan tidak takut mati. Karena mereka percaya, kematian adalah pintu gerbang ke sebuah kerajaan yang kekal, di mana nenek moyang mereka tinggal.