1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanIndonesia

Berburu Gelar Mentereng tapi Bermasalah, Buat Apa?

Levie Mulia Wardana
29 November 2024

Banyak pejabat tidak menempuh proses pendidikan tinggi yang baik, tiba-tiba diwisuda menjadi bergelar master atau doktor, ujar seorang profesor. Kenapa banyak yang lakukan apa pun untuk gelar mentereng?

Tiga orang perempuan memakai toga
Ilustrasi pendidikan tinggiFoto: Chris Ison/PA Wire/empics/picture alliance

Menempuh pendidikan tinggi tidak terlepas dari ekspektasi untuk meningkatkan penghasilan dan jabatan. Meski fenomena ini sudah ada sejak lama. Gelar dan pendidikan tinggi seseorang selalu dikaitkan dengan anggapan memiliki kewibawaan, karakter, hingga ilmu pengetahuan melebihi orang di sekitarnya.

Seiring berjalannya waktu, mereka yang menyandang gelar tersebut mendapatkan peluang untuk memperoleh jabatan tertentu di tengah masyarakat. Peluang besar itu juga dimanfaatkan sebagian kalangan, termasuk politisi di berbagai negara, untuk berlomba memiliki gelar tinggi.

Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Sunyoto Usman mengatakan kepada DW Indonesia, ada peran-peran penting yang diberikan kepada para pejabat atau politisi yang bergelar tinggi. Hal itu diberikan berdasarkan kemampuan akademik, meski kinerja mereka belum tentu terbukti.

"Pada umumnya, peran-peran yang penting itu diberikan kepada mereka yang punya gelar. Diasumsikan mereka telah menempuh jenjang yang lebih tinggi. Makanya mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan gelar tinggi tersebut. Dari kalangan akademisi menjadi lebih sadar bahwa kinerja mereka sebetulnya tidak sesuai dengan gelar yang disandang," kata Profesor Sunyoto.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Kontroversi 'pemburuan' gelar

Namun faktanya, 'pemburuan' gelar tidak sedikit memicu kontroversi. Seperti yang baru-baru ini terjadi pada gelar doktor yang disandang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia.

Saat ini, gelar tersebut telah ditangguhkan oleh Universitas Indonesia (UI). Penangguhan gelar doktor tersebut adalah buntut dari protes yang dilakukan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) kepada UI atas pencatutan nama organisasi mereka, dalam disertasi yang disusun oleh Bahlil.

Jatam mengaku terkejut saat tahu nama organasi mereka dicantumkan sebagai informan utama disertasi Bahlil untuk menyelesaikan studi di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI.

Periset Jatam, Dini Pramita, menjelaskan kepada DW Indonesia bahwa Jatam tidak pernah diwawancarai oleh Bahlil. Dia menduga kuat, ada praktik perjokian karya ilmiah demi kepentingan disertasi tersebut untuk bisa meraih gelar doktor. 

"Kapan kami diwawancara Bahlil? Yang membuat kami keberatan adalah ada etik yang dilanggar dari Bahlil, kemudian Kakak Ismi (peneliti) itu sendiri. Dia (Ismi) tidak menjelaskan secara transparan dan secara tepat untuk siapa dia melakukan penelitian itu," kata dia kepada DW Indonesia.

Gelar doktor yang disandang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, tengah disorot.Foto: World Economic Forum/Ciaran McCrickard/Avalon/picture-alliance

Gelar bermasalah, bukan yang pertama

Kasus lain terkait ijazah dan gelar bermasalah terjadi pada Lalu Nursai, seorang anggota DPRD Lombok Tengah dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Mengutip detik.com pada 15 Oktober 2024, Lalu Nursai diduga menggunakan ijazah paket C palsu pada Pemilihan Legislatif 2019 dan 2024. Ia pun dikenakan Pasal 266 ayat (2) KUHP juncto Pasal 266 Ayat (2) dengan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Kasus dugaan pemalsuan ijazah juga sempat terjadi pada dua periode pemerintahan sebelumya. Yakni pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo setidaknya sempat terjadi kasus dugaan pemalsuan ijazah yang melibatkan 22 orang anggota DPRD Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur pada tahun 2015.

Sementara pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seorang Wakil Ketua DPRD Mojokerto sekaligus politikus partai Golkar dipenjara akibat dugaan pemalsuan ijazah pada tahun 2012. 

"Banyak pejabat yang tidak menempuh proses pendidikan tinggi yang baik, tiba-tiba diwisuda menjadi bergelar master, atau bergelar doktor. Kredibilitas perguruan tinggi mulai dipertanyakan. Ini ada prosedur apa? Orang lalu menaruh curiga, kadang-kadang itu kaitannya dengan transaksi pejabat itu," kata Sunyoto kepada DW Indonesia.

Kontroversi ijazah dan gelar juga terjadi di Jerman

Kasus serupa tidak hanya terjadi Indonesia. Di Jerman, gelar doktor Menteri Pendidikan, Annette Schavan dicopot setelah ia dinyatakan terbukti menjiplak karya orang lain dalam disertasinya pada tahun 2013. Schavan pun mundur dari jabatannya sebagai menteri.

Schavan adalah orang kedua dalam kabinet Kanselir Angela Merkel yang dituding plagiat. Sebelumnya, tuduhan plagiatisme juga mengakhiri karir politik Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodor zu Guttenberg tahun 2011. Ia pun mundur pada tahun yang sama.

Masyarakat lihat kinerja, bukan gelar mentereng

Adanya fenomena politisi dan pejabat yang mendapatkan gelar mentereng pun tak luput dari perhatian masyarakat. Para pejabat dan politisi itu diragukan kinerja dan kredibilitasnya saat mengatur waktu untuk mengikuti perkuliahan dan menyelesaikan tugas akhir, dengan tetap bekerja sebagai pejabat publik yang sejatinya bekerja melayani masyarakat. 

"Tidak baik ya. Karena ijazahnya palsu dan gelarnya juga bermasalah, jadi bagaimana masyarakat mau percaya sama mereka (pejabat publik). Menurut saya pemerintah harus menindak tegas ya, karena sayang aja kalau negara ini dipimpin sama pejabat publik yang tidak kredibel," kata Indi seorang mahasiswa kepada DW Indonesia.

"Terlepas itu bermasalah atau tidak, kita lihat dulu kinerjanya bagus apa enggak. Kalau kinerjanya bagus tidak ada masalah," kata Yusuf seorang wiraswasta.

"Itu 'kan tugasnya Kementerian Pendidikan, mungkin bisa ditindaklanjuti oleh kampus-kampus atau dibuat undang-undang masalah perjokian di dalam ijazah ini," itu menurut Putra, seorang karyawan di Jakarta, kepada DW Indonesia.

Editor: Arti Ekawati

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait