1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Berebut Minta Saham di Partai Golkar

Hendra Pasuhuk17 Mei 2016

Puluhan tahun Golkar menguasai legislatif Indonesia bukan sebagai 'partai politik', tapi sebagai asosiasi kekaryaan. Tak heran, kalau kekuatan utamanya adalah uang, jabatan dan pragmatisme. Oleh Hendra Pasuhuk.

Indonesien Wahlkampf 2014 Golongan Karya
Foto: Getty Images

Politisi dan pengamat luar negeri sering terkecoh dengan Golkar, yang menurut narasi Orde Baru tidak masuk dalam kategori 'partai politik'. Golkar sengaja dibentuk sebagai functional group. Karena bukan partai politik, Golkar menikmati berbagai hak-hak istimewa, termasuk hak-hak menggunakan aset negara.

Tidak hanya Partai Sosialdemokrat SPD di Jerman selama bertahun-tahun salah kaprah, ketika mengira Golongan Karya adalah semacam partai buruh (labour party) dan menjadikan golongan ini sebagai mitra utama dalam berbagai proyek mereka. Ironisnya, Gokar justru kemudian berkembang menjadi partainya para pengusaha, sekaligus mesin pencari uang yang paling produktif.

Suharto dan para jendral militernya sengaja mengerdilkan sektor pembangunan politik, dengan retorika 'massa mengambang'. Perdebatan ideologi sama sekali ditutup. Pembangunan kebangsaan menjadi isu mekanis tanpa pertarungan ideologi. Bagi para politisi, pengusaha dan birokrat kala itu, Golkar menjadi penjamin uang dan jabatan, ke sanalah mereka ramai-ramai berkumpul.

Hendra PasuhukFoto: DW/H. Pasuhuk

Sampai kini, ciri khas itulah yang paling menonjol dari Partai Golkar. Mereka adalah kekuatan politik yang punya struktur dan mekanisme paling lengkap dengan derajat organisasi paling efektif. Sekalipun tidak selalu mampu meraih suara terbanyak, tidak ada kebijakan politik besar yang bisa diambil tanpa keterlibatan Golkar.

Hal ini juga yang sekarang mengemuka dalam pertarungan 'perebutan saham' di Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar, antara kubu pengusaha dan kubu birokrat. Kedua kubu sama-sama tidak punya visi politik atau pijakan ideologi. Keduanya sama-sama berorientasi pragmatis. Keduanya tidak ingin berada di luar pemerintahan. Semuanya ingin cari selamat.

Akhirnya, seorang pengusaha memenangkan kompetisi yang secara prosedural cukup demokratis ini, dan mengalahkan lawannya yang didukung oleh seorang pengusaha lain. Kedua kubu bertarung dengan semangat pragmatisme. Tidak ada perdebatan ideologi di sana. Yang ada praktis hanya pertarungan bagi-bagi saham.

Era pengusaha Aburizal Bakrie di Golkar berakhir setelah kegagalan beruntunFoto: picture-alliance/dpa

Bagi pemerintahan Jokowi, sendirinya mantan pengusaha, ini situasi ideal. Setya Novanto punya segudang masalah, termasuk masalah hukum, sehingga dia tidak akan "menuntut ini itu" untuk masuk koalisi pemerintahan. Di lain pihak, Setya sudah cukup tua, sehingga kemungkinan besar hanya akan sibuk melakukan langkah untuk menyelamatkan diri sendiri, dan tidak fokus untuk membangun kubu politik demi merebut kekuasaan di masa depan.

Jadi, apa artinya perkembangan ini bagi dunia politik di Indonesia ? Satu hal pasti, semuanya akan jadi lebih pragmatis ketimbang ideologis. Ini bukan perkembangan buruk dalam pertarungan menyelamatkan reformasi dan demokrasi saat ini.

Sebab beberapa bulan terakhir, berbagai manuver makin kencang sengaja dilancarkan kubu-kubu yang beorientasi "militeristik-otoritarian". Mereka memainkan isu ideologis untuk memancing konflik dalam masyarakat, buat pada saat yang tepat merengkuh kekuasaan. Bermacam isu ditebar, berbagai aksi provokatif yang bisa menyulut konflik horisontal dimunculkan. 'Testing the water with psywar' kata orang intelijen: melepas isu-isu provokatif dan melihat reaksi masyarakat, lalu menentukan langkah dan strategi selanjutnya.

Untuk saat ini, para jendral di belakang kompleks militeristik otoritarian ini tidak bisa mengandalkan Golkar bagi kepentingan mereka. Dalam situasi dan posisi pragmatis non ideologis inilah, peluang terbuka bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil, untuk terus mendesak pemerintah dan Gokar agar berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan segelintir pengusaha atau oknum-oknum militan yang ingin memukul mundur reformasi dan demokrasi.