Cina murka setelah sekelompok mahasiswa nasionalis Filipina menduduki sebuah pulau yang diklaim kedua negara di Laut Cina Selatan. Beijing kembali menekankan klaim kedaulatannya atas seluruh Kepulauan Spratly.
Iklan
Sekitar 50 orang mahasiswa menduduki Pulau Thitu atau Pagasa di gugus kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan, Sabtu silam. Mereka mengklaim Beijing telah menginvasi Zona Ekonomi Ekslusif Filipina dengan mengklaim pulau tersebut.
Laut Cina Selatan sejak lama menjadi sumber petaka di Asia Tenggara karena tumpang tindih klaim wilayah. Selain Cina dan Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Malaysia dan Taiwan juga ikut terlibat.
Kawasan perairan di utara Indonesia itu diyakini mengandung cadangan minyak dan gas yang sangat besar. Selain itu Laut Cina Selatan juga merupakan salah satu jalur dagang paling sibuk, dengan nilai perdagangan sekitar 5 trilyun US Dollar.
Ihwal insiden di Pulau Thitu pemerintah di Beijing menyatakan pihaknya "sangat tidak puas" terhadap apa yang dilakukan Filipina, kata Jurubicara Kementrian Luar Negeri Cina, Lu Kang. "Sekali lagi kami menganjurkan agar Filipina menarik mundur semua personal dan infrastruktur dari pulau yang mereka duduki secara ilegal."
Lu mendesak Manila agar tidak melakukan "tindakan yang bisa merusak perdamaian dan stabilitas regional, serta membebani hubungan Cina dan Filipina."
Sebaliknya kelompok mahasiswa Filipina yang dipimpin oleh bekas kapten angkatan laut itu menyebut tindakan mereka sebagai sebuah "perjalanan patriotik." Mereka berencana menginap di pulau tersebut selama tiga hari.
Pemerintah dan militer Filipina sebenarnya telah mencoba menggagalkan perjalanan mahasiswa itu dengan alasan keamanan. Manila juga khawatir terhadap reaksi Cina. Hubungan kedua negara makin tegang setelah Beijing membangun tujuh pulau buatan di kepulauan Spratly untuk keperluan militer.
Filipina juga sudah mengajukan gugatan terkait klaim wilayah Cina di Laut Cina Selatan ke Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda. Tapi Cina menolak mengakui eksistensi pengadilan tersebut.
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.