Pada Hari Bhayangkara tahun ini, institusi kepolisian memperoleh hadiah teramat istimewa, dengan ditetapkannya Komjen Pol Tito Karnavian sebagai Kapolri baru. Bagaimana sepak terjangnya? Ikuti ulasan Aris Santoso.
Iklan
Sejak namanya diusulkan oleh Presiden Jokowi sebagai Kapolri, pemberitaan tentang figur Komjen Pol Tito Karnavian (Akpol 1987) tiada habisnya. Tito menjadi bintang baru (media darling) dalam peta elit di Jakarta. Publik pun dihinggapi euforia dengan diangkatnya Tito, dengan begitu menggugurkan kandidat lain yang kurang dikehendaki.
Berbicara tentang kepolisian, saya sendiri memiliki catatan atas dua peristiwa yang saya saksikan sendiri. Meskipun pengalaman ini sangat personal, namun saya kira, dua peristiwa tersebut bisa dijadikan jendela untuk memahami kompleksnya problem yang dihadapi institusi kepolisian.
Peristiwa pertama adalah bentrokan antara Satuan Brimob Polda Sumut dengan anggota Yonif Linud 100/Prajurit Setia (kini Yonif 100/Raiders), di kawasan Binjai (dekat Medan) pada Oktober 2002.
Peristiwa kedua adalah kasus yang kemudian dikenal sebagai “bom buku” di kompleks Komunitas Utan Kayu (KUK, Jakarta Timur), pertengahan Maret 2011. Saya yang saat itu bekerja sebagai staf rendahan di KUK, merasa beruntung berada di TKP (tempat kejadian perkara).
Kekuasaan dan Kesejahteraan
Bentrokan di Binjai tersebut merupakan sinyal, bahwa konflik antara polisi dan militer (khususnya Angkatan Darat) merupakan konflik laten, yang akan terus berulang, tanpa kita pernah tahu kapan ketegangan ini akan berakhir.
Potensi konflik tentu saja sangat dimengerti oleh pimpinan masing-masing pihak. Itu sebabnya, pada derajat tertentu bentrokan di lapangan bisa ditolerir pihak atasan.
Dalam kasus di Binjai misalnya, memang ada tindakan terhadap komandan satuan. Satuan tersebut sempat dilikuidasi untuk sementara waktu, namun langsung diaktifkan kembali dengan nama baru. Kemudian Danyon (dengan pangkat saat itu) May.Inf. Madsuni (Akmil 1988A), dicopot dari jabatannya. Selang beberapa waktu kemudian karirnya kembali mengalir. Saat tulisan ini dibuat, nama Madsuni baru saja ditetapkan sebagai Wadanjen Kopassus.
Secara singkat, konflik berkepanjangan ini terkait dua perkara: kekuasaan dan kesejahteraan. Antara polisi dan militer memiliki respons yang berlainan saat menghadapi kekuasaan dan kesejahteraan.
Polisi selalu inferior
Berdasarkan pengamatan empirik, militer cenderung lebih dekat dengan kekuasaan. Sementara perilaku polisi, mengingat posisinya selalu inferior dibanding militer, secara alamiah menjadi lebih dekat dengan kesejahteraan. Kira-kira logika yang berlaku di militer adalah, kekuasaan dipegang lebih dahulu, kesejahteraan dengan sendirinya menyusul.
Fenomena ini juga merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa kita hari ini. Bahwa dalam sektor kehidupan apapun, ikhtiar memburu kekuasaan dan kesejahteraan menjadi peristiwa biasa. Bila kita melihat politisi sipil, realitasnya jauh lebih mengerikan, mereka ingin menggapai kekuasaan dan kesejahteraan dalam satu tarikan nafas.
Asal sumber kesejahteraan tetap dijaga?
Faktor kesejahteraan ini pula yang justru akan meringankan langkah Tito Karnavian dalam berkoodinasi dengan para seniornya di Polri. Saya kira para senior Tito akan langsung menyesuaikan dan menerima Tito, asal sumber kesejahteraan mereka tetap dijaga. Kesenjangan generasi bukan masalah benar di Polri.
Kesenjangan generasi di militer sungguh tidak tidak terbayangkan. Toleransinya hanya selang satu atau dua generasi, tapi kalau sampai lima generasi, sebagaimana yang kini terjadi di Polri, mustahil terjadi.
Formasi kepemimpinan di TNI AD juga seperti itu. KSAD Jenderal Mulyono (Akmil 1983) lebih yunior dibanding Wakil KSAD (Letjen Erwin Syafitri, lulusan terbaik Akmil 1982).
Hal itu bisa terjadi, karena di militer masih ada soliditas atas nama korps, kecabangan, kesatuan sebelumnya, serta angkatan saat di Akademi Militer. Soliditas ikatan seperti itu tidak ditemukan di kepolisian, semata-mata karena faktor kesejahteraan pula.
Berharap Pada Tito
Selanjutnya peristiwa “bom buku” di KUK, bisa dibaca sebagai secercah harapan bagi Polri di masa depan. Pada peristiwa itu saya melihat langsung dua perwira muda polri (dengan pangkat dan posisi saat itu) di TKP, masing-masing adalah Kompol Dodi Rahmawan (Kasatserse Polres Jaktim, Akpol 1995), dan Kompol Deoniju de Fatima (Komandan Jihandak Brimob Polda Metro Jaya, Akpol 1996).
Keduanya bekerja di TKP dengan penuh integritas, dan mungkin begitulah yang disebut profesional. Meski tangan kiri Kompol Dodi cedera dalam peristiwa tersebut, namun saya ikut lega, ketika mendengar karirnya berjalan normal, dan saat ini tercatat sebagai Kapolres Aceh Tengah (dengan pangkat AKBP). Sementara AKBP Deoniju de Fatima kini masih bertugas di lingkungan Satuan Brimob Polda Metro Jaya, dan sedang mengikuti pendidikan di Sespim Polri.
Tentu saja AKBP Dodi dan AKBP Deoniju hanyalah sekadar contoh kecil, masih banyak perwira muda Polri lain yang memiliki kompetensi dan kualifikasi sebagaimana ditunjukkan oleh keduanya.
Dari pengamatan media sempat muncul nama AKBP Hengki Haryadi (kini Wadirkrimsus Polda Metro Jaya, Akpol 1996), yang saat masih menjabat Kasatserse Polres Jaktim, berhasil “menundukkan” tokoh preman Hercules. Selama ini ada mitos yang berkembang, bahwa Hercules seolah tak tersentuh, bahkan oleh aparat kepolisian sekalipun. Adalah AKBP Hengki Haryadi yang meruntuhkan mitos tersebut.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
Bila perwira muda Polri seperti itu adanya, keberadaan mereka adalah berkah, bukan hanya bagi institusi Polri, namun juga bagi bangsa ini. Dengan perwira-perwira muda seperti itu, langkah Tito untuk menata kembali internal Polri, utamanya membongkar mentalitas korup, akan jauh lebih mudah. Perwira-perwira semacam itu bisa menjadi andalan Tito untuk perbaikan Polri di masa depan, sembari berharap mereka tidak cepat silau oleh simbol kesejahteraan, semisal mobil sekelas jeep Rubicon, Toyota Alphard, Lexus, dan seterusnya.
Sudah tepat Presiden Jokowi memilih Tito, yang salah satu pertimbangan Presiden karena Tito merupakan lulusan terbaik di Akpol 1987 (peraih Adi Makayasa). Meski sejatinya ini pertimbangan yang sumir. Dalam promosi seorang perwira, sebaiknya lebih melihat prestasinya di lapangan, sementara status sebagai peraih Adi Makayasa sekadar modalitas awal. Mengingat ada pengalaman, seorang peraih Adi Makayasa perjalanan karirnya biasa-biasa saja, sebagaimana dialami lulusan terbaik Akmil 1988A.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai staf administrasi di Kontras. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Garuda di Belantara Konflik Dunia
Acap dikritik di dalam negeri lantaran kasus HAM, TNI malah aktif menjaga damai dan melindungi warga sipil di berbagai kawasan konflik di dunia. Hingga kini sebanyak 30.000 prajurit pernah dilibatkan dalam misi damai PBB
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Terimakasih Pada Dunia
Kontingen Garuda awalnya adalah sebuah tanda terimakasih Soekarno terhadap dunia internasional yang telah mendukung kemerdekaan Indonesia. Sejak pertamakali bertugas tahun 1957 untuk menjaga perbatasan Mesir, TNI hingga kini telah bertugas di setidaknya 70 misi perdamaian PBB.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
11 Kontingen di Libanon
Salah satu operasi terbesar TNI di luar negeri adalah mengawal perdamaian di Libanon pasca serangan Israel tahun 2006 silam (UNIFIL). Untuk misi pelik tersebut TNI menurunkan hingga 11 kontingen yang menggabungkan kekuatan udara, laut dan darat.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Srikandi TNI
Untuk misi di Libanon TNI tidak segan membawa prajurit perempuan. Tampak dalam gambar adalah Sri Sulistyowati yang ditugaskan sebagai perawat di klinik milik UNIFIL di kota Taibe. Seluruhnya TNI menugaskan 13 perempuan untuk mengawal masa damai di Libanon.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Taring Laut
Pasukan Garuda yang paling spektakuler adalah kontingen 28H. Dalam misi tersebut TNI AL mengirimkan 107 prajurit beserta kapal fregat jenis terbaru milik TNI, KRI Bung Tomo-357, untuk mengawasi perairan Libanon.
Foto: UN Photo
Pasukan Lintas Negara
Sebelum mengirimkan KRI Bung Tomo, TNI juga pernah menempatkan kapal korvet kelas Sigma buatan Belanda, KRI Sultan Iskandar Muda, di Libanon. Di sana TNI bergabung bersama angkatan laut negara lain dari Jerman, Brazil dan Turki untuk mencegah penyelundupan senjata oleh kelompok Hizbullah di Libanon Selatan.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Keberatan Israel
Israel sempat mengutarakan keberatan ketika PBB berniat menunjuk Indonesia sebagai komandan baru angkatan laut UNIFIL buat menggantikan Italia. Pemerintah negeri Yahudi itu berdalih, sikap Indoensia yang menolak mengakui kedaulatan Israel bisa mempersulit kerjasama antara pasukan kedua negara di lapangan.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Damai di Tanah Darah
Misi besar lain TNI adalah mengawal damai di kawasan Sudan yang remuk dilanda perang, Darfur (UNAMID). Hingga setengah juta orang kehilangan nyawa dalam perang antara pemerintah dan pasukan pemberontak. Militer Sudan berulangkali melanggar resolusi PBB dengan melancarkan serangan udara yang kebanyakan menewaskan warga sipil.
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Pasukan Spesial
Di Sudan TNI/Polri bertugas mengawal bantuan kemanusiaan dan melindungi warga sipil dari pertempuran. Awal 2015 silam Indonesia mengirimkan sekitar 800 pasukan yang dilengkapi dengan 24 Panser ANOA, 30 truk angkut dan 34 kendaraan ringan. Kontingen tersebut terhitung spesial karena dididik khusus untuk mengemban misi damai di Darfur.
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Bahaya Maut Mengintai
Prajurit TNI dan anggota Polri tidak cuma ditugaskan mengawal pengiriman bantuan kemanusiaan, tetapi juga ikut turun ke lapangan untuk membangun fasilitas kesehatan dan pendidikan. Bertugas di Darfur bukan tanpa bahaya. Sejak pertama kali diterjunkan, sudah sebanyak 192 prajurit UNAMID yang tewas saat bertugas.
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Kenyang Menjaga Damai
Kontingen Garuda termasuk yang paling rajin ditugaskan dalam misi damai PBB. Selain Darfur, TNI pernah mengirimkan kontingen besar ke Mesir, Kongo dan Kamboja. Secara keseluruhan hampir 30.000 prajurit TNI pernah terlibat dalam misi menjaga perdamaian di seluruh dunia.